Share

2. Gua

Miaocai membidik dan melepaskan anak panah ke target yang dituju Yuanrang. Anak panah berdesing. Terdengar suara desisan pendek lalu menghilang. Para pendekar remaja ini segera berlari menghampiri target. Sudah mereka duga sebelumnya. Ternyata hanya ular biasa.

            “Jika kita membakar …” kata Miaocai yang mencabut panah dan memasukkan kembali ke tempat.

            “Astaga, jangan lagi, Miaocai,” kata Mengde.

            “Sekarang bagaimana cara kita menemukan gua yang menjadi sarang lipan? Pohon bambu kata bapak pengrajin. Masalahnya kita hidup di daerah dimana pohon bambu sangat endemik” kata Yuanrang.

            “Hei, jangan marah dulu,” kata Mengde, “Kita urai dulu apa yang kita ketahui tentang lipan. Misalnya …”

            Belum selesai berpikir, insting Yuanrang menjerit lagi. Dia memberi kode lagi dan menunjuk ke arah utara. Miaocai memanah lagi dan mengenai sesuatu. Terdengar suara erangan hewan buas dari semak-semak. Erangan itu lumayan membuat hati tiga remaja ini ketakutan. Sedikit berdampak ke mental.  Setelah memulihkan mental lagi, para pendekar langsung berlari menuju target. Namun kini tidak mendapati apapun. Hanya panah Miaocai saja yang tergeletak di tanah. Ada noda darah dan bulu-bulu hitam yang menempel di mata panah.

            “Ada monster lain di sini,” kata Yuanrang, “Bukan hanya lipan raksasa.”

            “Kenapa kau berkata begitu?” tanya Mengde.

            “Mudah saja. Sekuat-kuatnya hewan, tidak mungkin mampu mencabut panah dengan tusukan sedalam ini.”

            Yuanrang menunjuk noda darah yang membasahi batang panah. Noda darah itu membasahi seperempat panjang panah. Mengde dan Miaocai mengangguk-angguk paham. Memang argumen Yuanrang cukup kuat. Tapi dia terlalu jauh menyimpulkan kalau ada monster lain di sini.

            “Jangan buru-buru menyebut monster,” kata Miaocai, “Siapa tahu hewan yang berukuran besar?”

            Yuanrang menggeleng, “Hewan apa? Panda? Serigala? Beruang? Kera? Sudahlah, sepupu. Tidak mungkin hewan-hewan yang kusebut tadi mampu mencabut semua anak panah dan menghilang secepat ini.”

            “Atau mungkin dia memang tidak menghilang dan masih di sini?” kata Mengde yang menatap Yuanrang lalu melirik ke atas.

            “Miaocai!!” kata Yuanrang dengan kode jari yang menunjuk ke atas.

            Secepat mungkin, Miaocai segera membidik ke atas dan melihat sesuatu yang berwujud aneh. Bertubuh kekar dan berbulu hitam. Makhluk itu berdiri di ranting pohon. Hebat juga. Mampu berdiri dalam waktu lama dan tetap hening. Tembakan pertama gagal mengenai target. Makhluk hitam itu melompat ke utara. Tak menyerah Miaocai menembak lagi. Namun kali ini gagal lagi. Yuanrang menggunakan pengendalian logam. Pedang yang dari tadi dia genggam tiba-tiba melayang. Lalu mulai mengejar hewan berbulu. Semua tusukan Yuanrang dan tembakan Miaocai gagal melukai musuh.

            “Berhenti! Kita jauh dari jalan setapak!” kata Mengde.

            Yuanrang dan Miaocai menghentikan pengejaran. Mereka berjalan dan kembali ke tempat Mengde yang saat ini masih berdiri di tempat yang sama. Memang omongan Mengde benar juga. Kalau mereka jauh dari jalan setapak dan terpancing jauh ke dalam hutan, maka bisa berpotensi tersesat. Mereka bertiga memang pernah kemari. Tapi tidak tahu detail daerah ini.

            “Apa sih yang sebenarnya terjadi di hutan ini?” kata Mengde.

            “Lipan, monster berbulu … setelah itu apa? Ikan bertanduk?” kata Yuanrang yang mulai sebal dengan kejutan yang tak terduga.

            Para pendekar remaja ini kembali ke jalan setapak. Mengde mengeluarkan pedang dan mencabik-cabik tubuh ular yang tadi dipanah oleh Miaocai. Kemudian, mereka berjalan lagi mengikuti jalan setapak supaya lebih aman. Sambil menyebarkan darah dan daging ular untuk memancing kedatangan lipan. Siapa tahu lipan akan terpancing datang ketika mencium bau darah dan daging.

            “Boleh juga taktikmu,” kata Yuanrang yang lalu menatap Miaocai, “Kalau memang ada hewan-hewan lagi, sebaiknya kita bunuh.”

            “Ya. Tapi jangan pakai panah Miaocai,” kata Mengde, “Panah Miaocai spesial untuk monster.”

            Memang ide Yuanrang terdengar masuk akal. Secara konsep untuk memancing lipan. Tapi realita berkata lain. Selama menempuh jalan setapak, mereka tidak menemui hewan-hewan lagi seperti ular, kelinci dan yang lain. Yang ada hanya berbagai jenis burung. Seolah, semua hewan berbasis darat sudah habis di sini.

            “Tidak ada hewan darat di sini,” kata Miaocai.

            “Sepertinya sudah habis dimangsa oleh lipan dan monster berbulu,” kata Mengde.

            “Bagaimana jika kita bakar saja hutan ini?” kata Yuanrang, “Gunakan pengendalian apimu, Mengde!”

            Mengde mendengus, “Otakmu mulai berasap?”

            “Masa orang dengan otak cerdas sepertimu tidak paham maksudku? Kalau hutan ini terbakar, lipan terkutuk akan keluar,” jawab Yuanrang.

            “Iya. Aku paham maksudmu,” kata Mengde, “Tapi kasihan penduduk desa. Penduduk desa masih membutuhkan hutan ini untuk mata pencaharian mereka.”

            “Jawaban simpel saja, Mengde,” kata Miaocai, “Kalau kau mau membakar hutan ini, memang kemungkinan besar lipan akan keluar karena tidak kuat dengan asap dan suhu. Tapi tindakan itu juga memancing monster lain keluar, Yuanrang. Yang kita ketahui hanya lipan dan monster berbulu misterius tadi. Belum lagi kemungkinan yang lain. Pertanyaanku, apa kita cukup kuat jika kita harus menghadapi beberapa monster sekaligus?”

            “Ah, brengsek. Logikamu menyebalkan, Miaocai,” kata Yuanrang, “Tapi lebih simpel penjelasan Mengde.”

            “Kan kemungkinan yang akan kita hadapi bisa jadi begitu,” kata Miaocai.

            “Memang begitu. Mungkin bisa kita coba cara lain untuk memancing lipan.”

            “Bagaimana idemu?” tanya Mioacai.

            “Intinya darah, kan?” kata Yuarang sambal mencabut pedang.

            “Sepupuku yang satu ini brutal juga ya,” tawa Mengde, “Ya sudah. Kasih luka kecil saja. Jangan sampai kau kehabisan darah jika lipan atau monster lain muncul. Nanti kau akan lemas.”

            Yuanrang merobek jari telunjuk dengan pedangnya. Luka tidak terlalu dalam. Hanya cukup untuk meneteskan beberapa darah saja. Memang tiga pendekar ini ragu jika darah sekecil ini bisa memancing kedatangan lipan. Meski begitu, mau bagaimana lagi. Mereka tak punya banyak pilihan di sini. Hanya mengandalkan bantuan angin untuk menghantarkan bau darah. Lebih berusaha lagi, Yuanrang sesekali keluar dari jalan setapak untuk menyebarkan darah. Lalu kembali lagi setelah selesai.

            Miaocai menguap, “Tak muncul juga, ya.”

            “Mungkin lipan brengsek sedang tidur atau mengasuh bayi-bayi mereka,” kata Yuanrang.

            Sudah dua puluh menit, usaha Yuanrang tak membuahkan hasil. Untungnya, mereka melihat beberapa pohon dan bambu yang sudah rusak. Mereka bertiga keluar dari jalan setapak dan memeriksa kerusakan tumbuhan besar maupun kecil. Dari pengamatan mereka, kondisi tumbuhan jenis rumput merunduk ke barat laut. Sementara tumbuhan besar seperti pohon dan bambu berantakan ke segala arah entah ke mana.

            “Kita ikuti arah rumput,” kata Mengde, “Miaocai, jangan lupa buat penanda dan jebakan es, ya. Supaya kita bisa segera kembali ke jalan setapak. Kita pancing lipan brengsek keluar!”

            “Hmmm, barat laut, ya?” kata Yuanrang, “Ayo!”

            Para pendekar remaja ini segera bergerak ke barat laut. Mengikuti arah rundukan rumput. Mereka tetap berjalan. Menjaga agar stamina tetap utuh. Akan susah nanti jika mereka malah kelelahan dulu ketika harus memancing dan menghadapi lipan raksasa.

Setelah sepuluh menit berjalan, akhirnya ketemu juga gua yang dimaksud. Ukuran mulut gua cukup besar. Cukup untuk seekor lipan raksasa masuk dan keluar. Mulut gua ini menempel ke kaki jurang yang sangat tinggi dan dikelilingi oleh beberapa formasi pohon bambu yang tinggi. Di area sekitar, juga ditemukan bangkai dan potongan tubuh hewan. Didukung oleh fakta sebanyak ini, jelas ada lipan di dalam gua.

“Bagaimana rencanamu memancing lipan keluar, Mengde?” tanya Yuanrang.

“Kita kumpulkan rumput dan bangkai hewan, masukkan ke dalam gua, kita bakar semuanya dan kita tutup pintunya dengan es buatan Miaocai,” kata Mengde, “Asap akan mengganggu pernafasan mereka.”

“Berapa ketebalan es yang kau butuhkan, Mengde?” tanya Miaocai.

“Tak perlu terlalu tebal,” kata Mengde, “Cukup seukuran jari telunjuk saja.”

Pekerjaan dimulai. Mengde dan Yuanrang mengumpulkan bangkai dan tanaman. Miaocai bermeditasi untuk mengumpulkan energi. Sebagai pengganti atas energi yang dikeluarkan untuk membuat jebakan dan jejak untuk kembali ke jalan setapak. Setelah semua selesai, operasi dimulai. Mereka memasuki gua tapi masih dekat dengan mulut gua. Memang sedikit beda dengan rencana awal supaya tidak memasuki gua sedikit pun. Sambil menunggu Yuanrang dan Mengde menyelesaikan pekerjaan, Miaocai mulai mencicil menyegel mulut gua.

“Sisakan sedikit untuk kami keluar dan untuk aku membakar bahan-bahan ini,” kata Mengde.

“Iya, iya, aku tahu. Bawel,” kata Miaocai.

“Akhirnya selesai juga. Ayo segera keluar,” kata Yuanrang.

“Tunggu, tunggu,” kata Mengde yang menghunuskan pedang, “Biar kutambahkan darah di sini.”

Setelah semua selesai, Yuanrang dan Mengde segera keluar dari gua. Miaocai menyisakan sedikit lubang. Dari lubang di tengah pintu es itulah, Mengde menggunakan pengendalian api untuk membakar semua yang telah mereka kumpulkan. Asap pun sudah mulai muncul. Seiring membesarnya api, maka asap yang dihasilkan juga semakin banyak.

“Semua daun yang kalian kumpulkan dalam kondisi kering kan?” tanya Miaocai.

Yuanrang menggerutu, “Kau pikir kami bodoh.”

Miaocai tertawa, “Kan aku hanya bertanya.”

“Kita mundur dulu,” kata Mengde, “Kita tidak mau lipan raksasa itu mengejutkan kita.”

Para pendekar bersembunyi di balik semak-semak. Tidak butuh waktu lama, terdengar suara gemuruh dari dalam gua. Awalnya terdengar pelan. Namun, lama-lama semakin mendekat. Cukup satu benturan saja, lipan besar itu keluar. Merayap ke atas jurang. Yuanrang tak bisa mengukur pasti berapa panjangnya. Lebar tubuh lipan kira-kira dua sampai tiga kali ukuran kaki manusia. Di sepanjang tubuhnya dihiasai oleh potongan tombak, panah, pedang dan kapak.

“Kalian lihat perhiasan di tubuhnya?” tanya Yuanrang.

“Ya. Cantik juga. Berarti sempat ada perlawanan dari penduduk dan petarung lokal untuk menghabisinya,” kata Mengde, “Miaocai, tolong tembak tepat di kepala.”

Miaocai mengambil busur, anak panah dan mulai membidik. Namun semua terhenti ketika melihat fenomena yang menjijikkan. Bayi-bayi lipan pun keluar dari mulut gua. Entah berapa jumlahnya. Jika yang keluar dari gua saja sudah sebanyak itu, entah ada berapa yang ada di dalam gua. Mereka merayap ke segala arah. Seperti manusia yang kebingungan. Bahkan tiga ekor merayap mendekati para pendekar.

“Menjijikkan!” kata Miaocai.

“Kenapa malah para bayi yang kemari??” kata Yuanrang.

Dengan pengendalian logam, Yuanrang tidak perlu muncul dari semak-semak. Pedang di genggamannya tiba-tiba terbang dan menusuk-nusuk kepala bayi lipan. Mata pedang Yuanrang terus mengincar mata, mulut dan otak bayi lipan berkali-kali hingga mati. Pengendalian logam sangat efektif sehingga mendukung Yuanrang untuk membunuh dua sekaligus.

Lain dengan Mengde yang dari tadi berdiri di dahan pohon. Dengan pengendalian api, dia membakar pedangnya. Kemudian langsung terjun dan menusukkan pedang ke kepala bayi lipan. Tidak cukup hanya mengoyak otak, Mengde langsung mencabik-cabik semua bagian kepalanya. Tiga bayi lipan sudah terbunuh.

“Tembak induknya sekarang!” komando Mengde sambil membakar ujung panah Miaocai.

Panah Miaocai berdesing membelah udara. Memang Miaocailah yang terhebat dalam memanah di antara mereka bertiga. Tembakan Miaocai mengoyak kepala induk lipan raksasa. Meski begitu, lipan masih menempel di dinding jurang. Karena masih belum jatuh juga, Miaocai menembakkan panah lagi. Panah kedua ini berhasil menjatuhkan induk lipan.

“Tembakan yang indah, sepupu!” puji Mengde.

“Ugh!” kata Yuanrang, “Pasti sangat sakit.”

“Jelas,” kata Mengde, “Puluhan senjata di sekujur tubuhnya semakin terbenam.”

Untuk memancing induk lipan, Miaocai menembak lagi dengan panah api. Terus-menerus mentarget kepalanya. Butuh tiga anak panah untuk membuat induk lipan sadar siapa yang menyerang. Induk lipan meraung dan mengejar tiga pendekar remaja. Meninggalkan bayi-bayinya yang lucu dan menjijikkan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status