Share

Zahira (Bukan Inginku Jadi Madu)
Zahira (Bukan Inginku Jadi Madu)
Penulis: atavya

Kecelakaan

“Maaf,” ujar pria di sampingku yang terus mengalihkan pandangan, menatap ke luar melalui kaca jendela mobil.

Tak kuhiraukan kata-kata yang mungkin sudah puluhan kali ia ucapkan sejak belasan menit lalu. Aku masih sibuk menyusut air mata sambil terisak serta kembali memakai pakaian yang sempat dilepas paksa.

“Maaf, Ra, aku gak sadar,” lagi ia mengucapkan alasannya, tetapi aku tetap bergeming.

Aku pun tidak sadar telah menyerahkan diri padanya. Namun, tetap saja hati ini menyangkal kejadian barusan yang berakhir pada terenggutnya kesucianku.

“Bagaimana bisa?” cicitku lirih dengan lengan yang memeluk tubuhku sendiri.

Pria itu menggeleng seraya menjambak rambutnya sendiri. “Sepertinya ada orang yang membubuhkan obat ke minumanku,” ungkapnya.

Pikiranku menerawang, mengingat kejadian satu jam lalu. Harusnya kami membahas pekerjaan di restoran ini, tetapi setelah mengonsumsi setengah gelas teh tubuhku rasanya seperti terbakar. Ada rasa menggelitik di bawah sana dan saat kami bersentuhan aku seperti ingin dia terus menjelajahi setiap jengkal kulitku.

Aku tidak tahu jika ternyata dia juga merasa seperti itu, hingga akhirnya tanpa sadar perbuatan tercela ini terjadi begitu saja, di jok belakang mobilnya yang terparkir di pelataran restoran dengan disinari teriknya matahari tengah hari.

“Maaf, Ra, aku akan bertanggung jawab,” gumam pria itu yang masih begitu jelas terdengar di telinga.

“Caranya?”

“Aku akan menikahimu,” ungkapnya yang seketika mampu menarik perhatianku.

“Kamu gila?” pekikku dengan kelopak mata yang terbuka lebar. “Ingat istrimu, Han!” seruku mengingatkan dan membuatnya semakin menjambak rambut frustrasi.

“Terus gimana, Ra? Aku pun sudah menghancurkan masa depanmu,” keluhnya seraya menatapku dengan pandangan nanar.

Kuhela napas kasar dan kembali menghindari tatapannya. Bayangan kejadian panas kami tadi segera menghantui kala mata kami saling bersirobok. Bagaimana cara mengenyahkan memori itu?

“Kita sudah salah, gak perlu menambah kesalahan lain,” gumamku terus mengeratkan belitan lengan pada tubuh ini.

“Tidak ada solusi lain, Ra! Aku akan terus merasa bersalah sudah merenggut kesucianmu,” timpal pria itu membujuk.

“Ada.”

“Apa?”

“Lupakan! Anggap tak pernah terjadi,” ujarku memberikan solusi meski aku sendiri tak yakin akan mampu melupakan dosa kami.

“Bagaimana bisa? Aku bahkan gak pakai pengaman dan Kamu juga baru pertama, Ra! Bagaimana kalau Kamu sampai,-”

“Aku akan baik-baik saja,” selaku memotong kalimatnya. “Apotek masih menyediakan kontrasepsi darurat, belum terlambat kalau aku mengonsumsinya. Aku juga akan mundur dari proyek ini supaya kita tak perlu bertemu lagi.”

“Zahira,” panggilnya lemah, terdengar keberatan.

“Aku tidak ingin menghancurkan pernikahanmu, Han. Rasa bersalahmu juga pasti akan lebih besar kalau sampai kita menikah, tetapi menyakiti perasaan istrimu. Jadi, ini yang terbaik. Kita tak perlu bertemu lagi dan kupastikan benihmu tidak akan tumbuh di rahimku,” paparku memberikan keputusan akhir.

“Maafkan aku,” sesal pria itu sekali lagi.

“Aku juga minta maaf,” timpalku seraya mengusap sisa air mata yang baru saja menetes. Bagaimanapun aku juga ikut bersalah dalam kejadian penuh dosa ini. “Jangan sampai ada orang yang tahu!”

Pria itu mengangguk dan terus menundukkan kepala tanpa menimpali kalimatku.

“Lupakan aku dan semua yang terjadi hari ini. Berbahagialah dengan istrimu,” pesanku yang sekali lagi dianggukinya.

“Semoga Kamu juga bahagia dan menemukan laki-laki yang bersedia menerimamu apa adanya. Maafkan aku sudah merenggut masa depanmu,” balas pria itu sambil menatapku dalam.

Kalimat itu hanya kuangguki dan aku segera keluar dari mobilnya, meninggalkan serta berusaha melupakan kejadian yang dampak nyerinya di antara kaki masih belum reda sama sekali.

Tak kupedulikan tatapan aneh orang yang berpapasan karena penampilanku yang berantakan. Wajar saja, aku mengenakan pakaian secara asal, rambut tanpa disisir kembali, serta air mata yang masih terus membasahi pipi.

“Obat ini bekerja maksimal jika dikonsumsi dalam waktu kurang dari tujuh puluh dua jam pasca berhubungan, Bu,” ujar petugas apotek saat aku meminta kontrasepsi darurat.

Untung saja aku langsung mampir ke apotek. Semoga memang tidak terjadi pembuahan. Lagipula aku juga tidak sedang subur.

Kini yang perlu kulakukan adalah mundur dari proyek kerjasama kami lalu menghilang dari radar pria itu. Kupikir tidak akan sulit, karena lima tahun ini aku berhasil bersembunyi darinya. Jika bukan karena pekerjaan, kami tak akan pernah bertemu lagi.

Namun, rencana itu hanya tinggal rencana saat sebulan kemudian sebuah pesan anonim datang ke ponselku dan membuat jantung ini rasanya ingin jatuh ke perut.

[Temui aku di Kafe Summer saat jam makan siang jika tidak ingin rahasiamu tersebar luas. – Nayla, istri Farhan]

atavya

Dukung cerita ini dengan vote atau komen ya, Dears! Terima kasih ^.^ Buat yang mau lihat visual karakter, bisa main ke IGku @atavyastory

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status