“Maaf,” ujar pria di sampingku yang terus mengalihkan pandangan, menatap ke luar melalui kaca jendela mobil.
Tak kuhiraukan kata-kata yang mungkin sudah puluhan kali ia ucapkan sejak belasan menit lalu. Aku masih sibuk menyusut air mata sambil terisak serta kembali memakai pakaian yang sempat dilepas paksa.
“Maaf, Ra, aku gak sadar,” lagi ia mengucapkan alasannya, tetapi aku tetap bergeming.
Aku pun tidak sadar telah menyerahkan diri padanya. Namun, tetap saja hati ini menyangkal kejadian barusan yang berakhir pada terenggutnya kesucianku.
“Bagaimana bisa?” cicitku lirih dengan lengan yang memeluk tubuhku sendiri.
Pria itu menggeleng seraya menjambak rambutnya sendiri. “Sepertinya ada orang yang membubuhkan obat ke minumanku,” ungkapnya.
Pikiranku menerawang, mengingat kejadian satu jam lalu. Harusnya kami membahas pekerjaan di restoran ini, tetapi setelah mengonsumsi setengah gelas teh tubuhku rasanya seperti terbakar. Ada rasa menggelitik di bawah sana dan saat kami bersentuhan aku seperti ingin dia terus menjelajahi setiap jengkal kulitku.
Aku tidak tahu jika ternyata dia juga merasa seperti itu, hingga akhirnya tanpa sadar perbuatan tercela ini terjadi begitu saja, di jok belakang mobilnya yang terparkir di pelataran restoran dengan disinari teriknya matahari tengah hari.
“Maaf, Ra, aku akan bertanggung jawab,” gumam pria itu yang masih begitu jelas terdengar di telinga.
“Caranya?”
“Aku akan menikahimu,” ungkapnya yang seketika mampu menarik perhatianku.
“Kamu gila?” pekikku dengan kelopak mata yang terbuka lebar. “Ingat istrimu, Han!” seruku mengingatkan dan membuatnya semakin menjambak rambut frustrasi.
“Terus gimana, Ra? Aku pun sudah menghancurkan masa depanmu,” keluhnya seraya menatapku dengan pandangan nanar.
Kuhela napas kasar dan kembali menghindari tatapannya. Bayangan kejadian panas kami tadi segera menghantui kala mata kami saling bersirobok. Bagaimana cara mengenyahkan memori itu?
“Kita sudah salah, gak perlu menambah kesalahan lain,” gumamku terus mengeratkan belitan lengan pada tubuh ini.
“Tidak ada solusi lain, Ra! Aku akan terus merasa bersalah sudah merenggut kesucianmu,” timpal pria itu membujuk.
“Ada.”
“Apa?”
“Lupakan! Anggap tak pernah terjadi,” ujarku memberikan solusi meski aku sendiri tak yakin akan mampu melupakan dosa kami.
“Bagaimana bisa? Aku bahkan gak pakai pengaman dan Kamu juga baru pertama, Ra! Bagaimana kalau Kamu sampai,-”
“Aku akan baik-baik saja,” selaku memotong kalimatnya. “Apotek masih menyediakan kontrasepsi darurat, belum terlambat kalau aku mengonsumsinya. Aku juga akan mundur dari proyek ini supaya kita tak perlu bertemu lagi.”
“Zahira,” panggilnya lemah, terdengar keberatan.
“Aku tidak ingin menghancurkan pernikahanmu, Han. Rasa bersalahmu juga pasti akan lebih besar kalau sampai kita menikah, tetapi menyakiti perasaan istrimu. Jadi, ini yang terbaik. Kita tak perlu bertemu lagi dan kupastikan benihmu tidak akan tumbuh di rahimku,” paparku memberikan keputusan akhir.
“Maafkan aku,” sesal pria itu sekali lagi.
“Aku juga minta maaf,” timpalku seraya mengusap sisa air mata yang baru saja menetes. Bagaimanapun aku juga ikut bersalah dalam kejadian penuh dosa ini. “Jangan sampai ada orang yang tahu!”
Pria itu mengangguk dan terus menundukkan kepala tanpa menimpali kalimatku.
“Lupakan aku dan semua yang terjadi hari ini. Berbahagialah dengan istrimu,” pesanku yang sekali lagi dianggukinya.
“Semoga Kamu juga bahagia dan menemukan laki-laki yang bersedia menerimamu apa adanya. Maafkan aku sudah merenggut masa depanmu,” balas pria itu sambil menatapku dalam.
Kalimat itu hanya kuangguki dan aku segera keluar dari mobilnya, meninggalkan serta berusaha melupakan kejadian yang dampak nyerinya di antara kaki masih belum reda sama sekali.
Tak kupedulikan tatapan aneh orang yang berpapasan karena penampilanku yang berantakan. Wajar saja, aku mengenakan pakaian secara asal, rambut tanpa disisir kembali, serta air mata yang masih terus membasahi pipi.
“Obat ini bekerja maksimal jika dikonsumsi dalam waktu kurang dari tujuh puluh dua jam pasca berhubungan, Bu,” ujar petugas apotek saat aku meminta kontrasepsi darurat.
Untung saja aku langsung mampir ke apotek. Semoga memang tidak terjadi pembuahan. Lagipula aku juga tidak sedang subur.
Kini yang perlu kulakukan adalah mundur dari proyek kerjasama kami lalu menghilang dari radar pria itu. Kupikir tidak akan sulit, karena lima tahun ini aku berhasil bersembunyi darinya. Jika bukan karena pekerjaan, kami tak akan pernah bertemu lagi.
Namun, rencana itu hanya tinggal rencana saat sebulan kemudian sebuah pesan anonim datang ke ponselku dan membuat jantung ini rasanya ingin jatuh ke perut.
[Temui aku di Kafe Summer saat jam makan siang jika tidak ingin rahasiamu tersebar luas. – Nayla, istri Farhan]
Dukung cerita ini dengan vote atau komen ya, Dears! Terima kasih ^.^ Buat yang mau lihat visual karakter, bisa main ke IGku @atavyastory
"Menikahlah dengan Mas Farhan!"Begitulah kalimat pertama yang Nayla ucapkan ketika aku baru saja duduk di seberang mejanya di Kafe Summer. Begitu ringan ia berucap, seolah nama yang baru saja disebutkannya bukanlah nama sang suami. Tidak tahukah jika lawan bicaranya ini adalah mantan kekasih suaminya yang pernah tak sengaja melakukan dosa sebulan lalu?Entah apa motifnya, tapi harus kuakui jika Nayla unik sekaligus gila. Bisa-bisanya dia melamar perempuan lain untuk suaminya. Padahal aku tahu yakin mereka sangat mencintai satu sama lain meski bulan lalu Farhan sempat menawarkan pernikahan padaku."Mbak Nayla lagi ngelindur?" tanyaku tak percaya, sebisa mungkin menunjukkan sikap biasa bagai kecelakaan yang menimpaku dan Farhan tak pernah terjadi."Kalau begitu kuulang sekali lagi supaya Mbak Zahira lebih jelas. Menikahlah dengan Mas Farhan, suamiku!"Kutatap lekat-lekat perempuan yang usianya terpaut dua tahun di bawahku. Tentu dia masih muda, karena aku sendiri pun masih berusia dua
Kuhela napas kasar. Oksigen ekstra sangat kuperlukan saat ini, setidaknya supaya otakku bisa bekerja lebih lancar. Namun, memang tak banyak yang bisa kulakukan.“Baik, kalau begitu, jelaskan dulu bagaimana skenarionya? Ah, bukan berarti aku akan setuju, aku hanya ingin tahu apa yang Mbak Nayla inginkan,” tantangku.Wanita itu membuka tas tangannya, meraih sebuah dokumen dalam map bening yang langsung diberikannya padaku. Dagunya mengedik, memintaku membuka dokumen itu untuk mempelajarinya. Bagai kerbau dicucuk hidungnya, aku melakukan perintah tersebut sembari dia menjelaskan secara lisan.“Aku akan menandatangani izin untuk kalian menikah lagi, sehingga pernikahan kalian akan sah secara agama dan negara. Tapi, bukan berarti Mbak dan mas Farhan bisa berhubungan suami istri seperti pernikahan pada umumnya,”“Bahkan tak pernah sekali pun aku ingin mengulangi hal itu, Mbak!” selaku menegaskan posisi.“Baguslah kalau begitu. Jangan menuntut lagi setelah kalian resmi nanti,” timpal Nayla d
Selepas menandatangani dokumen, saatnya kami meminta restu pada orang tua kedua belah pihak. Orang tuaku berderai air mata, menyaksikan putrinya melepas masa lajang. Entah terharu atau sedih karena harus merelakan putri kesayangannya menjadi istri kedua. Mungkin juga malu pada para kerabat.“Maafkan aku, Bu, Yah, aku telah membuat kalian malu,” ujarku sambil bersimpuh di hadapannya.“Tidak, Za! Kamu tetap putri kebanggaan Ayah dan Ibu. Iya ‘kan, Bu?” Ayah melempar pertanyaan.“Benar, apa pun keadaanmu, kami selalu bangga padamu, Zahira. Tetaplah tegak, tetaplah menjadi Zahira kami yang selalu tangguh. Ikhlaskan hatimu dan niatkan pernikahan ini untuk mencari rida ilahi. Lapangkan hatimu dan berusahalah menerima kalau Farhan bukan milikmu satu-satunya. Anak Ibu hebat, berani menyetujui pernikahan ini, berarti berani menanggung segala risikonya. Ibu percaya padamu, Za,” timpal ibu yang seketika membuatku terharu.Ah, ibu, kata-katamu membuat air mata ini kembali luruh. Untung saja riasa
Kelopak mata ini mengerjap saat sayup-sayup terdengar suara azan dari surau terdekat. Kukumpulkan semua kesadaran sebelum beranjak dari atas ranjang. Namun, bibirku lekas mencebik sesaat setelah earphone yang terpasang di telinga terlepas. Suara aiueo manja dari kamar sebelah masih terdengar. “Apa mereka tidak tidur sepanjang malam? Hebat sekali,” cibirku seraya menyibak selimut dan beranjak. Aku tak peduli meski mereka melakukan hal itu sepanjang malam, sepanjang hari, atau kapan pun dan di mana pun selama mataku tak terkontaminasi. Saat ini, kewajiban dua rakaatku lebih utama. Hanya saja, supaya ibadah tidak terganggu, lebih baik aku menunggu mereka selesai sembari membersihkan diri. Syukurlah kamar mandi ini memiliki water heater, sehingga aku tak perlu menggigil kedinginan. Dua puluh menit kemudian, aku kembali masuk ke dalam kamar. Tepat seperti dugaan, suara pertempuran Subuh itu sudah tak lagi terdengar. Segera kuambil mukena serta sajadah dan memulai ibadah pagi ini tanpa m
“Jadi gimana? Ambil proyek ini lagi ya, Za!” pinta Bu Shasa sekali lagi.Kuhela napas panjang lalu mengangguk. “Iya, Bu.”Lagi-lagi tak bisa menolak permintaan, terutama permintaan seorang yang sudah sangat berjasa untukku. Terpaksa aku kembali menerima proyek yang sudah sempat kutinggalkan tersebut."Apa gunanya menghindar dalam pekerjaan jika akhirnya tetap bertemu di rumah?" desahku lemah.Rasanya aku ingin mendekam di kantor ini hingga larut malam saja. Bila perlu malah tinggal di sini atau di mana pun selama tidak bersama dengan suami dan maduku. Menurutku itu bukan rumah, melainkan indekos saja. Engganku berada di sana bukan karena cemburu apalagi terganggu oleh nyanyian merdu pasangan itu saat malam hari, hanya saja sendirian memang terasa jauh lebih nyaman. Aku juga tak perlu khawatir ada orang yang memandang buruk pada kami bertiga.“Mana mungkin Nayla mengizinkan?” gerutuku mengeluh.Berpisah atap artinya Nayla akan semakin kesulitan memantauku dan juga Farhan. Meski kami t
Keesokan paginya kuawali dengan hal yang serupa seperti kemarin. Tetap dengan disambut suara aduhai dari kamar sebelah tepat saat membuka mata.Ralat, semalam aku juga sempat terbangun saat mendengar suara serupa dan harus kembali mengenakan earphone supaya bisa tidur lebih nyaman tanpa gangguan.“Kapan mereka tidurnya?” gumamku sambil menggelengkan kepala tak habis pikir.Hebat sekali suami dan maduku. Pernikahan mereka sudah berjalan hampir empat tahun, tetapi intensitas hubungan suami istri mereka masih tinggi.Tiba-tiba aku jadi penasaran, vitamin apa yang mereka konsumsi sampai bisa sekuat itu? Olahraga apa yang mampu menjaga tubuh keduanya tetap bugar. Mungkin olahraga malam itulah jawabannya.“Semoga ada keajaiban, usaha keras mereka membuahkan hasil dan rahim Nayla kuat, supaya aku bisa lepas dari hubungan segitiga aneh ini,” doaku tulus.Sudahlah, kenapa pula memikirkan hal itu. Lebih baik aku bergegas dan mengabaikan suara-suara indah mereka. Hari ini sudah ada rencana yang
Sudah sekitar satu minggu aku berhasil kucing-kucingan dengan Farhan yang kukuh ingin mengantar jemput.Salah satu alasan yang membuatku selalu enggan selain takut semakin terikat padanya adalah Nayla. Wanita itu selalu memberikan tatapan tidak menyenangkan, jika Farhan mulai mendesakku.Karena kesulitan menolak, satu-satunya yang kubisa hanya menghindar. Sayangnya, usaha itu seperti sia-sia di minggu ke dua.Bagaimanapun aku dan Farhan memiliki kerjasama yang harus diselesaikan. Aku tak mampu berkelit lagi, karena meeting dijadwalkan pagi ini di kantorku.Mau tak mau kami berangkat bertiga dengan terlebih dahulu mengantarkan Nayla ke butiknya. Wanita itu adalah seorang desainer dan pemilik butik ready to wear.“Awas ya kalau macem-macem!” ancam Nayla saat hendak turun dari mobil.“Macam-macam juga sama istri, Dek,” sahut Farhan seolah tanpa beban.“Maaas!” Nayla menegur dengan nada manjanya. Wajah pun ditekuk dan bibirnya mengerucut.Kubuang pandangan ke samping, pura-pura tak menden
“Nanti sore gak perlu jemput. Aku malas macet-macetan begini,” ujarku beberapa saat kemudian saat laju kendaraan tak sampai tiga puluh kilometer per jam. “Kenapa sih kamu gak mau banget aku antar jemput, sampai harus mengarang alasan supaya bisa menghindar?” tanya Farhan tanpa menyetujui permintaanku. “Males macet,” jawabku singkat dan konsisten. “Pasti gak cuma itu,” tebak pria yang sesekali menengok dan menatapku. “Kamu takut sama Nayla?” Tanpa perlu aku bersuara, harusnya dia sudah bisa memperkirakan jawaban yang akan terlontar dari bibirku. “Sebentar lagi dia pasti bisa ikhlas, bagaimanapun Nayla sendiri yang membawamu dalam pernikahan kami. Terima ataupun tidak, kalian sama-sama istriku dan kewajibanku adalah adil pada kalian. Ya meskipun aku tahu yang namanya adil itu sulit,” ungkap Farhan diakhiri dengan senyuman lembut. “Aku sedang berusaha semampuku. Jadi, maaf kalau masih banyak kekurangan.” “Tidak perlu berusaha terlalu kera