Share

Lamaran Calon Madu

"Menikahlah dengan Mas Farhan!"

Begitulah kalimat pertama yang Nayla ucapkan ketika aku baru saja duduk di seberang mejanya di Kafe Summer. Begitu ringan ia berucap, seolah nama yang baru saja disebutkannya bukanlah nama sang suami. Tidak tahukah jika lawan bicaranya ini adalah mantan kekasih suaminya yang pernah tak sengaja melakukan dosa sebulan lalu?

Entah apa motifnya, tapi harus kuakui jika Nayla unik sekaligus gila. Bisa-bisanya dia melamar perempuan lain untuk suaminya. Padahal aku tahu yakin mereka sangat mencintai satu sama lain meski bulan lalu Farhan sempat menawarkan pernikahan padaku.

"Mbak Nayla lagi ngelindur?" tanyaku tak percaya, sebisa mungkin menunjukkan sikap biasa bagai kecelakaan yang menimpaku dan Farhan tak pernah terjadi.

"Kalau begitu kuulang sekali lagi supaya Mbak Zahira lebih jelas. Menikahlah dengan Mas Farhan, suamiku!"

Kutatap lekat-lekat perempuan yang usianya terpaut dua tahun di bawahku. Tentu dia masih muda, karena aku sendiri pun masih berusia dua puluh tujuh tahun. Kupanggil Mbak juga sebagai bentuk sopan-santun semata. Dari fisiknya, ia cantik, seksi, dan elegan. Sepintas lalu kudengar jika Nayla juga pintar, berasal dari keluarga terpandang, dan memiliki karir cemerlang. 

Lalu apa yang membuatnya merasa kurang, hingga harus mengoperkan suaminya pada perempuan lain? Jika bukan gila, aku tak menemukan jawaban lain. Setidaknya untuk saat ini.

"Tak pernah sekali pun aku bercita-cita menjadi madu. Jadi, kutolak permintaan Mbak Nayla," sahutku tanpa ragu. "Lucu sekali permintaanmu," gumamku tak habis pikir.

"Kalau begitu, bercinta dengan suami wanita lain adalah cita-citamu, Mbak Zahira!"

Kalimat itu seketika membuatku tercekat. Senyum yang sejak tadi menghiasi wajahku pun luntur, berganti dengan dentuman keras di dalam dada. Kugenggam erat tanganku yang terasa dingin dan gemetaran.

Tak mungkin Farhan yang bercerita, ia sudah berjanji untuk menutup mulut. Lagipula, mana mungkin ia mau menghancurkan mahligai rumah tangganya yang indah dan mampu membuat siapa pun iri tersebut?

"Tak perlu bingung bagaimana aku bisa tahu, yang pasti kalian sudah menghancurkan duniaku dan sangat melukaiku," ujar wanita bergaun midi warna putih itu.

"Mm-Mbak." Aku hanya bisa tergagap, tak mampu memberikan tanggapan apa pun.

Dalam pandangan orang lain, mungkin saat ini wajahku sudah terlihat pasi. Mungkin juga orang-orang akan mencibir dan mengataiku setelah mengetahui perbuatan amoral itu. Namun, semua tak seperti yang orang pikirkan.

“Mas Farhan dan keluarga kami sudah setuju, segeralah menikah!” pinta Nayla yang sekali lagi membuatku tak bisa menebak apa jalan pikirannya.

“Mbak, maafkan aku, tapi aku tidak bermaksud menjadi benalu dalam rumah tangga kalian. Aku akan pergi jauh dari kota ini, tak lagi menampakkan diri, supaya rumah tangga kalian tetap bahagia,” usulku memberikan solusi. “Kupastikan juga jika kejadian itu tidak membuahkan hasil. Meski kami melakukannya tanpa pengaman, tapi aku sudah mengkonsumsi obat darurat pencegah kehamilan. Mbak Nayla bisa tenang.”

Wanita itu tersenyum kecil sembari menyesap teh dari cangkir porselen dengan kelingking yang terangkat. Sikapnya begitu elegan dan terhormat. Tak mungkin aku bersedia menghancurkan hidupnya lebih jauh lagi. Aku bukanlah hama yang mengganggu rumah tangga orang.

“Syukurlah kalau begitu. Dan usulmu menarik juga, Mbak,” timpal Nayla kemudian yang sejenak membuatku lega. 

Sayangnya, kalimat Nayla setelah itu justru membuatku semakin tercekat.

“Mbak Zahira silakan pergi, tapi nanti setelah melahirkan anakku dan Mas Farhan,” ujarnya tanpa beban.

Petir menggelegar seperti baru saja terdengar menyapa ruang rungu ini. Kegilaan apalagi yang sedang perempuan ini pikirkan? Aku membutuhkan lebih banyak oksigen supaya otakku mampu bekerja dan mengimbangi jalan pikirannya yang semakin tak tertebak.

“Maksud Mbak Nayla?” tanyaku ragu.

“Anggap saja ini kompensasi setelah luka yang Mbak Zahira torehkan, meski sampai kapan pun tak akan pernah hilang bekasnya,” ujar Nayla sambil menepuk dada kirinya beberapa kali, mengisyaratkan luka yang disebabkan oleh ketidaksengajaanku dan suaminya.

“Mbak, sungguh kami tidak sengaja, kami dijebak!” seruku mempertahankan harga diri.

“Aku tidak peduli,” sanggahnya tak acuh. “Yang kutahu hanya kalian pernah berzina dan menghancurkan hatiku. Jadi, Mbak Zahira harus membayar perbuatan itu dengan mengabulkan keinginanku. Atau kalau tidak, akan kusebarkan rekaman dashcam mobil Mas Farhan tanpa menunjukkan wajah suamiku, lalu akan kukirim pula rekamannya pada orang tua Mbak. Kira-kira, bagaimana reaksi ayah Mbak Zahira yang punya riwayat penyakit jantung itu setelah mengetahui betapa liar putri kesayangannya?”

Aku bergeming, tetapi rahangku mengetat dan jemari ini mengepal erat. Sikap elegan Nayla ternyata mengandung racun. Bukankah seharusnya kepergianku dari hidup mereka sudah cukup? Lalu, mengapa ia malah menambah penyakit dengan memasukkanku dalam hidupnya? Namun, aku juga bukan perempuan lemah yang mudah untuk digertak.

“Silakan kirimkan! Aku juga bisa melaporkan Mbak menggunakan UU ITE karena menyebarkan video tanpa persetujuan,” timpalku tak ingin kalah.

“Mbak lebih memilih masuk hotel prodeo?” kekeh wanita seksi itu. “Oke, aku bisa terjerat UU ITE, tapi apa Mbak gak berpikir kalau Mbak juga bisa terjerat UU pornografi?”

Sial, satu pukulan telak kembali menghantamku. Perempuan ini cukup tangguh. Pintar juga Farhan mencari penggantiku. Sepertinya memang wajar jika dia lebih memilih Nayla daripada aku. 

Ah, aku mengatakan ini bukan karena masih menyimpan rasa pada manager pemasaran itu. Tidak sama sekali. Rasaku padanya telah terkikis habis setelah kami putus bertahun-tahun lalu.

“Jadi, pilih mana, Mbak?” desak Nayla.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status