Share

Lamaran Calon Madu

Author: atavya
last update Last Updated: 2023-01-16 16:36:44

"Menikahlah dengan Mas Farhan!"

Begitulah kalimat pertama yang Nayla ucapkan ketika aku baru saja duduk di seberang mejanya di Kafe Summer. Begitu ringan ia berucap, seolah nama yang baru saja disebutkannya bukanlah nama sang suami. Tidak tahukah jika lawan bicaranya ini adalah mantan kekasih suaminya yang pernah tak sengaja melakukan dosa sebulan lalu?

Entah apa motifnya, tapi harus kuakui jika Nayla unik sekaligus gila. Bisa-bisanya dia melamar perempuan lain untuk suaminya. Padahal aku tahu yakin mereka sangat mencintai satu sama lain meski bulan lalu Farhan sempat menawarkan pernikahan padaku.

"Mbak Nayla lagi ngelindur?" tanyaku tak percaya, sebisa mungkin menunjukkan sikap biasa bagai kecelakaan yang menimpaku dan Farhan tak pernah terjadi.

"Kalau begitu kuulang sekali lagi supaya Mbak Zahira lebih jelas. Menikahlah dengan Mas Farhan, suamiku!"

Kutatap lekat-lekat perempuan yang usianya terpaut dua tahun di bawahku. Tentu dia masih muda, karena aku sendiri pun masih berusia dua puluh tujuh tahun. Kupanggil Mbak juga sebagai bentuk sopan-santun semata. Dari fisiknya, ia cantik, seksi, dan elegan. Sepintas lalu kudengar jika Nayla juga pintar, berasal dari keluarga terpandang, dan memiliki karir cemerlang. 

Lalu apa yang membuatnya merasa kurang, hingga harus mengoperkan suaminya pada perempuan lain? Jika bukan gila, aku tak menemukan jawaban lain. Setidaknya untuk saat ini.

"Tak pernah sekali pun aku bercita-cita menjadi madu. Jadi, kutolak permintaan Mbak Nayla," sahutku tanpa ragu. "Lucu sekali permintaanmu," gumamku tak habis pikir.

"Kalau begitu, bercinta dengan suami wanita lain adalah cita-citamu, Mbak Zahira!"

Kalimat itu seketika membuatku tercekat. Senyum yang sejak tadi menghiasi wajahku pun luntur, berganti dengan dentuman keras di dalam dada. Kugenggam erat tanganku yang terasa dingin dan gemetaran.

Tak mungkin Farhan yang bercerita, ia sudah berjanji untuk menutup mulut. Lagipula, mana mungkin ia mau menghancurkan mahligai rumah tangganya yang indah dan mampu membuat siapa pun iri tersebut?

"Tak perlu bingung bagaimana aku bisa tahu, yang pasti kalian sudah menghancurkan duniaku dan sangat melukaiku," ujar wanita bergaun midi warna putih itu.

"Mm-Mbak." Aku hanya bisa tergagap, tak mampu memberikan tanggapan apa pun.

Dalam pandangan orang lain, mungkin saat ini wajahku sudah terlihat pasi. Mungkin juga orang-orang akan mencibir dan mengataiku setelah mengetahui perbuatan amoral itu. Namun, semua tak seperti yang orang pikirkan.

“Mas Farhan dan keluarga kami sudah setuju, segeralah menikah!” pinta Nayla yang sekali lagi membuatku tak bisa menebak apa jalan pikirannya.

“Mbak, maafkan aku, tapi aku tidak bermaksud menjadi benalu dalam rumah tangga kalian. Aku akan pergi jauh dari kota ini, tak lagi menampakkan diri, supaya rumah tangga kalian tetap bahagia,” usulku memberikan solusi. “Kupastikan juga jika kejadian itu tidak membuahkan hasil. Meski kami melakukannya tanpa pengaman, tapi aku sudah mengkonsumsi obat darurat pencegah kehamilan. Mbak Nayla bisa tenang.”

Wanita itu tersenyum kecil sembari menyesap teh dari cangkir porselen dengan kelingking yang terangkat. Sikapnya begitu elegan dan terhormat. Tak mungkin aku bersedia menghancurkan hidupnya lebih jauh lagi. Aku bukanlah hama yang mengganggu rumah tangga orang.

“Syukurlah kalau begitu. Dan usulmu menarik juga, Mbak,” timpal Nayla kemudian yang sejenak membuatku lega. 

Sayangnya, kalimat Nayla setelah itu justru membuatku semakin tercekat.

“Mbak Zahira silakan pergi, tapi nanti setelah melahirkan anakku dan Mas Farhan,” ujarnya tanpa beban.

Petir menggelegar seperti baru saja terdengar menyapa ruang rungu ini. Kegilaan apalagi yang sedang perempuan ini pikirkan? Aku membutuhkan lebih banyak oksigen supaya otakku mampu bekerja dan mengimbangi jalan pikirannya yang semakin tak tertebak.

“Maksud Mbak Nayla?” tanyaku ragu.

“Anggap saja ini kompensasi setelah luka yang Mbak Zahira torehkan, meski sampai kapan pun tak akan pernah hilang bekasnya,” ujar Nayla sambil menepuk dada kirinya beberapa kali, mengisyaratkan luka yang disebabkan oleh ketidaksengajaanku dan suaminya.

“Mbak, sungguh kami tidak sengaja, kami dijebak!” seruku mempertahankan harga diri.

“Aku tidak peduli,” sanggahnya tak acuh. “Yang kutahu hanya kalian pernah berzina dan menghancurkan hatiku. Jadi, Mbak Zahira harus membayar perbuatan itu dengan mengabulkan keinginanku. Atau kalau tidak, akan kusebarkan rekaman dashcam mobil Mas Farhan tanpa menunjukkan wajah suamiku, lalu akan kukirim pula rekamannya pada orang tua Mbak. Kira-kira, bagaimana reaksi ayah Mbak Zahira yang punya riwayat penyakit jantung itu setelah mengetahui betapa liar putri kesayangannya?”

Aku bergeming, tetapi rahangku mengetat dan jemari ini mengepal erat. Sikap elegan Nayla ternyata mengandung racun. Bukankah seharusnya kepergianku dari hidup mereka sudah cukup? Lalu, mengapa ia malah menambah penyakit dengan memasukkanku dalam hidupnya? Namun, aku juga bukan perempuan lemah yang mudah untuk digertak.

“Silakan kirimkan! Aku juga bisa melaporkan Mbak menggunakan UU ITE karena menyebarkan video tanpa persetujuan,” timpalku tak ingin kalah.

“Mbak lebih memilih masuk hotel prodeo?” kekeh wanita seksi itu. “Oke, aku bisa terjerat UU ITE, tapi apa Mbak gak berpikir kalau Mbak juga bisa terjerat UU pornografi?”

Sial, satu pukulan telak kembali menghantamku. Perempuan ini cukup tangguh. Pintar juga Farhan mencari penggantiku. Sepertinya memang wajar jika dia lebih memilih Nayla daripada aku. 

Ah, aku mengatakan ini bukan karena masih menyimpan rasa pada manager pemasaran itu. Tidak sama sekali. Rasaku padanya telah terkikis habis setelah kami putus bertahun-tahun lalu.

“Jadi, pilih mana, Mbak?” desak Nayla.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Zahira (Bukan Inginku Jadi Madu)   Pengakuan Dosa - SELESAI

    “Nay,” panggil mbak Zahira bernada prihatin. Ia juga mengusap bahuku yang bergetar menahan perih yang sedang kualami. “Ini adalah hukuman untukku setelah begitu jahat pada kalian, Mas, Mbak. Aku minta maaf, aku menyesal,” timpalku yang semakin tidak tahu malu mengucapkan maaf bertubi pada keduanya. “Semua pasti ada hikmahnya,” balas mbak Zahira menenangkanku. “Kenapa kalian baik sekali dan tidak membalasku? Aku malu,” ungkapku kemudian. “Kami tidak membalas bukan berarti tidak pernah marah atau sakit hati padamu, Nay, tapi kami juga bukan Tuhan yang bisa mengadili kesalahan orang lain. Memang berat, tapi kami belajar untuk ikhlas. Dendam hanya membuat hati terbebani,” jelas Mas Farhan dengan tatapan teduhnya. Aku mengangguk setuju, karena memang itulah yang kurasakan saat dulu bertubi-tubi menyakiti mereka dengan dalih sakit hati. Tak ada keuntungan yang kudapat selain gana-gini, itu pun sekarang sudah hilang dicuri orang. “Mas, aku mau membuat pengakuan,” ujarku kemudian sambi

  • Zahira (Bukan Inginku Jadi Madu)   Maaf yang Akhirnya Terucap

    “Ayo masuk! Barusan Nayla dicek sama perawat, Alhamdulillah katanya sudah semakin baik,” ujar papa menyambut dua tamu yang kian mendekat pada brankar. Aku memejamkan mata, pura-pura tidur. Masih belum siap rasanya bertemu dengan mereka. Rasa bersalah dan malu beruntun menghantam bahkan sejak sebelum melihat pasangan itu. “Nay, ini ada Farhan sama Zahira,” ujar papa sambil menepuk bahuku. “Papa tahu Kamu gak tidur, ayo disapa! Bukannya Kamu mau minta maaf sama mereka?” bisiknya tepat di telinga hingga mau tidak mau aku pun membuka kelopak mata. Mereka, dua orang yang sudah sangat kusakiti demi bisa bersatu dengan kak Dion. Tak sanggup rasanya menunjukkan wajah ini. Namun, aku sangat yakin jika mereka datang bukan untuk menambah penderitaanku. Mas Farhan, mbak Zahira, jika aku tidak salah menilai, mereka bukanlah sosok pendendam. Bahkan saat aku bertubi menyakiti, mereka tak pernah membalas. Bisa-bisanya aku menyakiti orang sebaik mereka. “Kami baru tahu semalam kalau Kamu mengalami

  • Zahira (Bukan Inginku Jadi Madu)   Titik Terendah

    “Ayo, sesuap lagi terus obatnya diminum biar cepat pulih!”Papa mengulurkan sendok berisi bubur khas rumah sakit dengan tangan tuanya. Kerutan di kulit itu baru kusadari telah bertambah banyak seiring bertambahnya usia. Betapa abainya aku selama ini pada satu-satunya pria yang benar-benar tulus mencintaiku tanpa syarat. Salah paham bahkan membuatku sempat membenci dan menjauhinya.Selama hampir satu bulan dirawat di rumah sakit pasca kecelakaan di Puncak yang kupikir akan merenggut nyawa ini, papa tak sehari pun absen menjagaku. Bahkan Ibun yang kupikir selalu ada untukku belum tentu setiap hari menjenguk. Datang pun paling hanya satu dua jam, lalu pergi lagi.“Sudah kenyang, Pa, langsung minum obat saja,” tolakku menutup mulut.“Sekali lagi!” desak pria berusia kepala enam dengan sebagian rambut memutih tersebut.Kuhela napas panjang sambil mengerucutkan bibir tanda protes. Namun, papa tidak luluh hingga akhirny

  • Zahira (Bukan Inginku Jadi Madu)   Inikah Akhir Hidupku?

    Tak terasa sehari sudah aku berkutat dengan desain pakaian untuk koleksi terbaru. Pukul delapan malam aku baru sampai rumah yang kak Dion beli sebelum kami menikah. Beberapa lampu sudah tampak menyala memberikan penerangan. Mobil kak Dion juga sudah berada dicarport.Tumben, biasanya aku yang lebih dulu sampai di rumah, karena ia praktik sampai jam sembilan malam.“Kak!” sapaku setelah membuka pintu ruang tamu.Pemandangan tak biasa segera memenuhi mata. Tas, snelli, hingga stetoskop kak Dion berceceran di lantai. Pria itu juga kutemukan tengah mencengkram rambutnya di atas sofa dengan penampilan yang berantakan. Kaleng-kaleng bir bergelimpangan di atas meja, membuat aroma alkohol menguar tajam.“Kakak kenapa?” tanyaku beringsut mendekat padanya dan meraih bahu kak Dion.Saat kepalanya terangkat, kekacauan di wajah tampan itu semakin jelas terlihat. Matanya pun merah, tetapi menatap kosong.“Nay,&rd

  • Zahira (Bukan Inginku Jadi Madu)   Extra II - Nayla POV

    Kuhela napas panjang dengan dengan hati yang diselimuti oleh kekecewaan. Untuk kesekian kalinya gumpalan berwarna merah menunjukkan jejak di celana. Lagi-lagi usaha kami untuk mendapatkan keturunan ternyata harus tertunda. Celana pun segera kuganti dan tak lupa tampon ikut terpasang untuk menampung darah bulanan yang keluar.“Kak, gagal, aku bulanan lagi,” aduku tepat setelah menutup pintu kamar mandi.Di depan cermin rias sana suamiku menghentikan kegiatannya merapikan rambut. Kepalanya menengok dan seperti yang kuduga, wajah tampan itu menunjukkan rasa tidak suka setelah mendengar laporanku.“Kok bisa?” tanyanya tidak masuk akal.“Ya mana aku tahu? Memangnya aku bisa mengontrol kapan haid dan kapan harus hamil?” dengkusku seraya menjatuhkan tubuh di atas peraduan kami.Ia berdecak seraya berkacak pinggang lalu menyuarakan kegundahannya. “Mama pasti bakalan ngomel lagi kalau tahu.”“Teru

  • Zahira (Bukan Inginku Jadi Madu)   Buka Puasa*

    “Kamu mau aku gituin juga?” tanyanya menawari, membuatku mengernyit. Perempuan ini malu-malu, tapi liar juga ternyata. Mengejutkan. “Memangnya bisa?” tanyaku sangsi. “Ajari, Kamu sukanya yang gimana?” balasnya sambil menundukkan kepala, menyembunyikan ekspresinya yang semakin membuatku membuncah. Senyumku tak diberi kesempatan untuk luntur. Mumpung sudah ditawari, tak mungkin kutolak. Jadi, kuurungkan niat membuka sendiri celana dan mendekat pada istriku. “Bukain, setelah itu manjain dia,” ujarku meminta. Walau awalnya ragu, sampai juga tangannya pada celanaku. Diturunkannya perlahan, membuatku menahan napas berkat rasa yang membuncah. Ia sempat terkesiap saat tubuhku pun sama polosnya. Kepalanya mendongak, menatapku seperti kucing yang sedang meminta bantuan. Kuraih tangannya lalu menukar posisi hingga kini akulah yang berada di bawah, tetapi setengah duduk. Setelah itu kuajari Ira cara untuk menyenangkanku. Sentuhannya yang amatir anehnya mampu menerbangkanku ke atas awan. Tak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status