All Chapters of Runaway Bridesmaids: Chapter 41 - Chapter 50
87 Chapters
Terjadi Sesuatu ?
Dokter sudah membebat kaki yang terkilir sekaligus meresepkan obat pereda nyeri. Setelah berbincang sejenak, dokter berpamitan dan diantar keluar bersama Bram dan Baga. Aku meraih ponsel yang ada di nakas untuk mengaktifkannya. Bertubi-tubi pesan masuk, membuatku kelabakan. Aku menunggu sampai bunyi notifikasi berhenti. Setelah ponsel berhenti membunyikan notifikasi, aku menekan tombol nomor Papi. Satu kali panggilan tak terjawab. "Apa Papi sedang di luar kota?" Aku mengetukkan jari ke ponsel. Aku mencoba kembali. Nada sambung sudah terdengar. "Ya, Sweetheart. Maaf, tadi Papi gak denger ada telepon masuk." "Papi, jadwal Aline pulang kayaknya bakalan lebih lama." "Kenapa? Kamu ... baik-baik aja, kan?" "Aline tadi jatuh, Pi. Terperosok ke pinggir sawah. Naik sepedanya gak fokus." "Ya ampun. Trus gimana? Apanya yang sakit?" "Keseleo dikit, Pi. Udah dibebat kakinya sama dokter barusan. Tapi Aline belum bisa balik se
Read more
Be Mine, Forever
Bram tampak fokus pada layar laptop. Aku hanya bisa memandangi wajah seriusnya. Kami tidak jadi pergi kencan ke pantai karena cedera yang aku alami.Aku masih belum ingin mengaktifkan ponsel. Kerjaan pasti menumpuk, belum lagi omelan tajam dari Mami. Aku memang sengaja menghindar dari semua akses. Kalau Papi mencari, beliau sudah menyimpan nomor ponsel Bram."Honey." Aku merengek.Bram menoleh. "Kenapa? Denyut lagi kakinya?""Gak. Kan tadi udah minum obat pereda nyeri."Bram menggeser posisi duduk. "Terus?""Kamu sibuk banget. Aku jadi berasa dicuekin."Bram menutup laptop, bergeser lebih dekat lalu memelukku. "Rencananya, besok aku pulang cepat. Jam makan siang aku udah sampai di sini, biar bisa ngurusin kamu. Jadi aku cek ulang dokumen sekarang.""Aku pengen ke pantai. Kencan sama kamu." Aku menengadah.Bram langsung mengecup bibirku. "Kaki kamu masih sakit, Cantik. Tunggu sembuh dulu, oke?"Aku mendengkus. Mera
Read more
Pesan dari Zanna
Aku bosan berbaring di ranjang. Pelan-pelan aku mencoba turun. Tertatih-tatih berjalan ketika aku mencoba keluar dari kamar.  Villa yang disewa oleh Bram ini lumayan luas. Ada empat kamar sebenarnya, tetapi yang terpakai hanya tiga. Baga adalah utusan dari pemilik untuk menjaga sekaligus membersihkan villa. Namun Baga tidak menetap karena rumahnya hanya berjarak sekitar dua ratus meter dari villa ini.  "Bli," panggilku ramah.  "Loh, Mbak. Kok malah jalan-jalan? Nanti kakinya malah gak sembuh." Baga meletakkan gunting rumput.  "Saya bosan di kamar terus, Bli. Memang, ini rasanya capek banget. Padahal baru jalan dari kamar ke depan doang." Aku tertawa.  "Karena kakinya Mbak masih nyeri itu. Kalau dipaksa, malah bahaya, Mbak." Baga tampak cemas.  "Saya nunggu di sini aja, Bli. Pemandangan dan wangi bunganya jauh lebih baik daripada
Read more
Bad Mood
Satu minggu penuh cinta sudah dilewati. Entah kenapa rasanya waktu berlalu begitu cepat. Aku masih punya waktu beberapa hari lagi sebelum kembali ke Jakarta. "Hon, kaki aku udah sembuh. Kamu gak pengen ngajak aku ke mana, gitu?" Aku merapatkan tubuh pada Bram yang sedang fokus pada ponsel. "Boleh. Mau ke mana? Pantai? Belanja?" Bram langsung meletakkan ponsel. Satu hal yang aku suka dari lelaki ini. Setiap bersamaku, jika bukan urusan penting, tidak akan ada ponsel yang jadi pihak ketiga. Apalagi ketika akhir pekan, Bram benar-benar tidak menyentuh ponsel.  "Aku hanya ingin menikmati kebersamaan kita, Beib. Akhir pekan itu waktunya istirahat. Quality time dengan pacar, keluarga, atau malah diri sendiri."  Itu jawaban ketika aku menanyakan kenapa dia meletakkan ponsel begitu saja di atas nakas. Berbeda denganku yang seperti kecanduan gadget. Makanya sejak melarikan diri
Read more
Tentang Keinginan
Bram memilih privat villa yang berada tak jauh dari Pantai Berawa, sekitar satu setengah kilometer saja. Aku sengaja meminta kamar untuk bulan madu. Layaknya fasilitas villa, ada peralatan masak yang pastinya tidak akan terpakai karena bakat minusku di dapur. Ada layanan televisi kabel. Hal yang paling aku sukai adalah letak kamar mandi yang memiliki pintu kaca, jika dibuka akan langsung menuju ke bathtub juga kolam renang privat.Aku bisa berendam di bathtub sementara Bram berenang. Aku sudah berniat untuk berganti pakaian renang, Bram malah langsung mengempaskan badan ke ranjang. “Kenapa? Capek?” Aku duduk di tepi ranjang.“Ngantuk. Boleh tidur sebentar?” Bram membentangkan tangannya.“Ini mau tidur atau mau peluk?”“Dua-duanya. Kamu ‘kan guling cantik kesayangan aku. Sini,” panggil Bram.Aku pura-pura jengkel dengan menjulurkan lidah. “Jangan modus, ya!”
Read more
Terpancing Emosi
Dua hari yang aku lalui bersama Bram benar-benar berlumur madu. Tidak ada perdebatan karena masalah apa pun. Kami menghabiskan malam romantis di pinggir pantai. Mampir ke kelab, lalu melanjutkan malam panas di ranjang.Ketika kami kembali ke villa, tidak ada Laurence dan Nadhira. Aku ingin bertanya pada Baga, tetapi urung karena tidak ingin mengubah mood Bram. Lelaki tersayangku sepertinya akan berubah menjadi monster ketika membahas tentang mantan.Pagi ini, aku dan Bram sarapan berdua saja. Setelah selesai menandaskan isi dalam cangkir kopinya, Bram mengecup keningku untuk berpamitan. Aku langsung mengekori langkahnya untuk mengantar sampai depan pintu mobil.Momen syahdu ini mulai memantik sisi lembutku. Aku menyiapkan pakaian, memakaikan dasi, membawakan tas lalu memberi kecupan sebagai pengantar suami pergi bekerja.Selepas kepergian Bram, aku kembali ke meja makan untuk membereskan semua peralatan yang dipakai. Sedang asyik mencuci piring, Baga data
Read more
Jakarta, I'm home
“Ikut aku pulang, please.” Aku menyusup dalam pelukan Bram. Bram mendekapku erat. “Aku pasti pulang, Babe. Tapi belum sekarang, ya. Kamu tau ‘kan kondisi saat ini gimana.” Aku tahu dia enggan menyebutkan nama Nadhira. “Apa gak bisa dihandle sementara sama Lau aja?” “Lau juga lagi banyak kerjaan, Babe. Please, mengerti kondisi kita.” Bram mengelus punggungku yang berkeringat setelah beraktivitas menuntaskan hasrat. Aku mendengkus. Siang atau sore nanti aku pasti akan mengalami hari yang buruk di kantor. Tega sekali dia membiarkan aku sendiri menghadapi semua kekacauan ini. Bram tiba-tiba bergerak keluar dari selimut untuk menggendongku. “Kita mandi, yuk. Sebelum kamu ke Jakarta harusnya bisa kita manfaatkan satu kali lagi, di kamar mandi.” Aku meronta. “Gak. Aku gak mau. Kamu egois banget, sih. Gak peduli sama aku. Kamu gak ngerti gimana tertekannya aku tentang hari ini.” Tatapan Bram mengunciku. “Aku gak tinggal diam, Baby. Aku
Read more
Hari Pertama di Jakarta
"Hai, Vira. Kangen banget sama kamu," sapaku ketika kaki sudah berada di kantor."Ibu Aline. Maaf, saya mengganggu dengan segala chat dan telepon." "Gak apa-apa, Vira. Toh, gak terbalas juga semua. Jadi, gimana perkembangan kantor? Banyak dokumen penting di meja saya?" "Hanya beberapa dokumen pengajuan pengadaan barang yang baru deal tiga hari belakangan, Bu. Sisanya sudah ditangani oleh Ibu Lia." "Great. Saya tinggal, ya." Aku berjalan beberapa langkah, mendadak teringat sesuatu. "Vir, Mami mana?" "Saya di sini." Astaga, ternyata sosok perempuan yang coba aku hindari sudah sampai terlebih dahulu di kantor. Aku tersenyum kikuk. "Mami. Maaf, Aline pergi gak pamitan." Mami melangkah ke arahku, tatapannya tajam dan jauh dari kata ramah. Ibarat harimau yang sedang mengunci target buruannya. "Vira, jangan biarkan siapa pun mengganggu kami!" titah Mami yang dibalas segera oleh Vi
Read more
Lelaki Egois
"Itu lelucon yang sama sekali gak lucu." Aku bersedekap. "Kamu 'kan tau, aku jarang melucu. Aku hanya merayu wanita spesial. Kamu." Senyum terlukis sempurna di wajah tanpa cela itu."Udah? Gak ada hal penting lain, kan? Aku balik kerja, ya. Bye." Jeremy mencekal lenganku. "Aku udah nahan rindu sekian lama, kamu malah seketus ini. Gak adil banget." "Lepas!" Aku menyentak lengannya. "Apa aku harus melapor pada Bunda tentang tingkahmu yang melampaui batas?" "Lakukan saja. Aku gak peduli. Selagi kalian belum menggelar resepsi pernikahan, aku masih punya peluang untuk merebut kamu kembali." "Oh, really? So sorry, aku gak tertarik! For your information, aku lagi hamil. Kamu gak malu mengejar mantan yang sudah lama move on, bahkan sedang bahagia karena berbadan dua?" Wajah Jeremy berubah. "Kamu ... hamil? Anak Bram?" "Oh my God, kamu pikir aku perempuan seperti apa? Aku ini kakak ipar kamu. Te
Read more
Tak Mau Menyerah
Moodku berubah menjadi jelek. Tidak mungkin membahas tentang pernikahan dengan kondisi wajah ditekuk parah. Setelah meninggalkan Jeremy sendirian, aku melangkah menuju ruang makan. Tampak Bunda sedang menemani Ayah makan, sambil sesekali bertukar cerita."Bunda, Ayah, Aline pamit, ya. Takut kemalaman di jalan." "Gak jadi nginap?" tanya Bunda."Besok aja Aline mampir lagi. Gak apa-apa ya, Bunda?" Bunda tersenyum. "Iya. Bunda anterin kamu sampe depan, ya?" "Eh, gak usah, Bunda. Aline bisa, kok. Pamit ya, Ayah." Ayah mengangguk. Aku sebenarnya ingin bercerita tentang Jeremy, tetapi takut menyinggung perasaan mereka. "Kamu mau ke mana?" Jeremy mencegatku di depan ruang tamu."Mau pulang. Aku capek. Malas berdebat sama lelaki egois kayak kamu." "Aku anterin, ya? Aku takut kamu kenapa-kenapa." Aku mendengkus. "Jangan berlagak peduli! Apa kamu lupa, siapa yang sering
Read more
PREV
1
...
34567
...
9
DMCA.com Protection Status