Semua Bab My Dearest Cahaya: Bab 131 - Bab 140
160 Bab
Merindukanmu
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, namun Yasa belum juga menjejakkan kakinya di rumah, sejak pria itu meninggalkan Aya dengan tangisan siang tadi. Telepon yang dilayangkan olehnya pun tidak diangkat oleh Yasa. Aya tahu kalau suaminya tengah online pada salah satu aplikasi chat yang dimilikinya, tapi, pria itu tidak kunjung membuka rentetan pesan dari Aya. Dengan dada yang terhunus sesak, Aya memutuskan keluar dari kamar untuk menunggu suaminya di ruang tengah. Dan sungguh terkejut, Aya mendapati Yasa sudah duduk lelah dengan kepala menengadah menatap langit-langit, di sofa seorang diri. “Kamu sudah pulang?” tanya Aya menghampiri Yasa. Berdiri di hadapannya dengan wajah sedikit kesal. “Aku telpon dari tadi kenapa gak diangkat.” “Aku sibuk.” Yasa melongos, bangkit dan beranjak dari ruang tengah tanpa melihat wajah istrinya sama sekali. Entah mengapa, rasa sakit di hatinya masih saja tertinggal dan tidak mudah untuk dienyahkan. Giliran h
Baca selengkapnya
Terkuak
Yasa menarik napasdalam-dalam dan membuangnya dengan perlahan. Hari ini adalah hari ulang tahun istrinya dan seharusnya, kemarin mereka akan merayakannya di Bandung. Yasa sudah mengatur semua kejutan yang telah dirancangnya untuk sang istri, tapi semua batal. Rasa sakit karena telah dibohongi masih saja menggerogoti hatinya. Entah bagaimana nanti dirinya akan bersikap ketika makan malam keluarga. Tidak mungkin Yasa akan menghindar, dan kembali pulang larut, ketika Sinar sudah memintanya untuk pulang cepat. Merayakan ulang tahun Aya serta Asa dengan makan malam sederhana. Yasa membuka pintu mobilnya, melempar tas kerja begitu saja pada kursi penumpang di samping kemudi. Lagi-lagi, ia berangkat kerja lebih pagi, untuk menghindari berada satu meja makan untuk sarapan dengan keluarga. Rendra bahkan masih terlihat santai di dalam rumah, belum mengenakan seragam sekolahnya. Tepat ketika tubuhnya sudah duduk sempurna di belakang kemudi, ponselnya berdering singkat.
Baca selengkapnya
Hilang Arah
Langkah kakinya berjalan gontai. Memasuki koridor demi koridor tanpa arah tujuan. Sesekali terdengar kekehan yang keluar dari bibir polos yang masih saja tampak sensual meski tanpa balutan apapun. Aya hanya ingin mencari jalan keluar. Dalam kebingungan yang mendera otaknya yang tengah kosong, langkahnya sudah berputar entah beberapa kali di tempat yang sama. Sampai akhirnya ia melihat seorang yang pernah dikenalnya. Memakai jas putih dengan sebuah stetoskop yang baru saja dilepas dari lehernya. Aya mengikuti orang tersebut, yang ternyata keluar menuju parkiran. “Hey, kamu!” Yang dipanggil menoleh, menautkan alis melihat gadis yang pernah dilihatnya namun kali nampak kacau. Masih memakai piyama tidur, serta sandal boneka rumahan berwarna putih kebas, karena sudah terkena debu. “Saya?” orang itu menunjuk wajahnya sendiri dan memakai bahasa formal karena masih berada di lingkungan kerjanya. “Iya kamu.” Aya mendekat, sedikit mendongak keti
Baca selengkapnya
Keputusasaan
Bak orang linglung, Aya berjalan tanpa tujuan. Terus saja melangkah, diteriknya matahari yang siang ini begitu terasa menyengat. Sesekali kakinya berhenti di sebuah halte, untuk sekedar mengistirahatkan tubuh lelahnya. Setelah itu, ia kembali melangkah kemanapun hatinya menginginkan. Sesekali bibirnya bersenandung, seolah tidak ada beban yang tengah menghimpit hidupnya. Berbicara sendiri dan tertawa sesuka hati. Aya hanya ingin melupakan semuanya, melupakan dirinya, melupakan apa yang pernah terjadi di dalam hidupnya. Sesaat tubuhnya terpaku, menatap restoran cepat saji yang kini tepat berada di depannya. Matanya berbinar melihat spanduk yang terpajang di depan restoran. Tumpukan roti, patty beserta keju yang tampak tebal itu, sangat menggugah selera. Aya seolah lupa, kapan terakhir kali ia menyantapnya. Tanpa ragu kakinya melangkah ke dalam restoran, tidak peduli dengan sindiran ataupun tatapan aneh saat melihat penampilannya. Berdiri di depan mesin kiosk
Baca selengkapnya
Tidak Ada Kesempatan
Bintang meraup wajahnya berulang-ulang, sangat frustasi saat mendengar penjelasan Elo. Sedangkan Sinar, sudah sesegukan dan bolak-balik mengusap wajahnya dengan tisu. Elo menjelaskan kalau dirinya telah menemui Tara, dokter yang sempat tertangkap CCTV sedang berbicara dengan Aya di lapangan parkir rumah sakit. Tara menjelaskan, bahwa Aya tengah menanyakan mengenai tempat aborsi kepadanya. Entah apa yang menjadi alasan gadis itu hendak menggugurkan bayi yang ada di dalam kandungannya. “Yasa! mana Yasa!” Sinar beranjak dari duduknya dengan menarik tangan Asa. “Antarin Bunda ke rumah sakit! ini semua pasti karena Yasa! kalau sampai ada apa-apa sama Aya dan calon cucuku, Bunda akan bikin perusahaannya jungkir balik dengan cara apapun!” Sinar menjerit dengan mata yang sudah memerah. Keluar rumah dengan terburu dan menggandeng erat tangan Asa. Bintang dan Elo tidak bisa berbuat apapun untuk mencegah. Karena keduanya pun punya pemikiran yang sama dengan Sina
Baca selengkapnya
Menunggu
Seorang wanita paruh baya sibuk mondar mandir di depan kamarnya. Bergidik iba, ketika mendengar suara gadis yang terkadang tertawa, dan berbicara sendiri di dalam kamarnya. Merasa cemas sembari menunggu sang suami keluar dari kamar mandi. Decakan kecil kemudian terdengar dari mulut wanita itu, ketika melihat sang suami keluar dari arah dapur dan sudah terlihat segar. “Abah! aduuh, kenapa malah dibawa ke sini? harusnya bawa ke rumah sakit, apa kantor polisi aja sekalian.” Wanita paruh baya yang bernama Isti itu, melayangkan protes pada suaminya. Sang sopir taksi yang seharian ini bersama Aya itu pun, menengok ke dalam kamar. Mengintip dari celah pintu yang hanya terbuka sekitar 10 senti. Menatap iba tapi belum bisa mengambil keputusan apapun. Sepanjang jalan, Aya menceritakan semua kisah hidupnya kepada Rei. Meluapkan semua hal sesak yang selama ini dipendam di dalam dada. Entah gadis itu sadar atau tidak, tapi … Aya mengisahkan semuanya dengan santai.
Baca selengkapnya
Bersembunyi Sejenak
Rintihan demi rintihan berbisik semakin jelas. Begitupula dengan suara deritan tempat tidur kayu, akibat pergerakan gelisah yang juga ketara. Isti membalikkan tubuhnya kemudian bangkit. Pendaran lampu jalan yang menerpa wajah gadis yang tidur di sampingnya, menunjukkan peluh, dengan mata memejam gelisah. Isti beranjak dari tempat tidurnya untuk menyalakan lampu yang terletak di samping pintu kamar. Menghampiri Aya dan menempelkan telapak tangannya pada wajah cantik yang nampak mengernyit menahan nyeri. Seketika itu juga maniknya membola lebar. Bergegas keluar kamar dan menyalakan lampu. Kemudian membangunkan sang suami yang tidur di sofa, ruang tamu. “Abah!” seruan berkali-kali itu dilontarkan seraya mengguncang tubuh Rei agar segera membuka kelopak matanya. “Si mbak Cahaya, demam tinggi! Abah!” Rei menggumam sejenak. Mengerjab pelan untuk menyesuaikan bias lampu yang masuk ke dalam netra. “Demam?” Isti mengangguk seraya menarik tangan
Baca selengkapnya
Kamu ... Siapa?
Rei dan Isti sempat pulang ke rumah mereka terlebih dahulu, setelah melihat kondisi Aya yang stabil. Setelah berbenah dan membersihkan diri, keduanya pun kembali lagi ke rumah Tara.Sepasang suami istri itu bisa saja lepas tangan mengenai masalah Aya. Hanya saja, saat melihat gadis itu, keduanya kembali mengingat dengan mendiang putri mereka yang telah tiada karena sebuah kecelakaan. Jika masih hidup, kemungkinan usianya akan sama seperti Aya.“Terima kasih.” Ucap Tara.Isti baru saja meletakkan secangkir kopi susu di meja makan, untuk Tara yang tengah membaca surat kabar. Zaman memang sudah semakin canggih, semua hal bisa langsung dicari dalam benda pipih dengan berjuta informasi. Tapi Tara, masih saja setia berlangganan koran setiap harinya.Pria itu baru saja selesai menyantap sarapan, berupa roti bakar dengan tumpukan sosis serta keju ditengahnya. Buatan sendiri, karena asisten rumah tangga yang bekerja di rumahnya hanya bertugas untuk ber
Baca selengkapnya
Permainan Takdir
Gadis itu hanya terdiam, cukup lama. Memandang satu-persatu setiap wajah yang melihatnya, yang menunjukkan berbagai ekspresi dengan seksama sembari berpikir. Sudut pikiran yang masih berputar, membuatnya sedikit kesusahan untuk memaksa kinerja otaknya, untuk berpikir lebih keras.“Kamu … siapa?” tanyanya pada Tara dengan kerjaban pelan seraya memegangi kepala bagian belakangnya yang terasa berat.Kedua alis Tara hampir menyatu. Matanya pun sedikit memicing, menatap curiga. Tara masih ingat, saat ia memeriksa keadaan Aya di rumah sakit kapan lalu, dokter jaga sempat merujuk gadis itu untuk melakukan CT scan pada kepalanya. Hanya saja, Tara menolak dengan alasan Aya tengah mengandung. Ia akhirnya menyarankan, agar Aya berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter kandungannya.“Aku Tara? Teman suamimu? Kamu gak ingat?” kalau dugaannya benar, gadis itu pasti memiliki masalah pada otaknya.“Suami?” Aya mengeleng skepti
Baca selengkapnya
Hidup Baru
Udara yang dihirup Aya dalam-dalam kini begitu menyegarkan dan menenangkan. Hamparan hijaunya pemandangan, hingga di ujung batas puncak gunung, membuat ia betah berlama-lama menghabiskan waktunya dengan duduk santai di teras balkon.Hidupnya, benar-benar tanpa beban. Meskipun sepi, namun lima bulan terkahir ini, Aya dapat merasakan sebuah rasa tenang di dalam jiwa.“Bukannya aku sudah bilang, untuk gak naik ke lantai dua, Ay!” Aya menyambut seruan bernada ketus itu dengan senyuman manis. Kemudian ia menggigit bibir, merasa bersalah karena kembali melanggar peraturan yang sudah ditetapkan oleh Tara.Aya lalu berdiri, menuju sudut balkon. Menumpukan tangan kanannya di atas pagar, dan tangan kirinya secara naluriah mengusap perut yang sudah sangat membola. Dan jika sesuai dengan prediksi kakak Tara yang ternyata adalah seorang dokter kandungan, maka Aya akan melahirkan sekitar dua minggu lagi.“Kalau di bawah, aku gak bakal dapet pemandanga
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
111213141516
DMCA.com Protection Status