All Chapters of BEHIND: Chapter 51 - Chapter 60
78 Chapters
Bukan Inginku!
"Jadi, sejak awal bukan Jonathan yang dia incar?" Aku menghela napas panjang saat Hard melipat tangan sembari menatapku lekat. Bahkan, pemburu iblis dengan jam terbang tinggi pun mampu dikelabui. "Tunggu! Bolehkah aku bertanya sesuatu?" Kini, Jonathan mulai buka suara setelah membeberkan fakta yang mencengangkan. "Apa?" tanya Hard. Agensiku sekarang beralih pada Jonathan. "Kenapa setelah aku mati, Grace juga akan mati? Bukankah seharusnya Grace dulu yang harus mati agar dia bisa membunuhku?" Pria bermata cokelat madu itu mengernyit, glabela pun berkerut mengikuti gestur wajah yang diperam tanya. "Mengenai itu, lebih baik kau tanyakan pada Grace. Aku pergi dulu." "Mau ke mana, Hard?" "Bicarakan saja empat mata." Aku terdiam bersama Jonathan yang terus menuntut jawab. Enggan ras
Read more
Bola Cahaya
Aku sedang berjalan-jalan setelah sebelumnya berlari cukup kencang demi menghindari kejaran Jonathan. Untuk saya ini, aku tak ingin melihatnya meski sepuluh hari yang lalu diri ini bersikeras menyelamatkannya. Setidaknya, sekarang Jonathan tahu kebenaran mengenai makhluk sepertiku yang telah jatuh ke dalam parit bernama cinta. Bukan lagi kebahagiaan, melainkan kesakitan, penderitaan yang mungkin akan kualami mengingat pria itu sama sekali tak berempati. Aku tahu pasti, yang ada dalam pikirannya hanya tentang Jean.  Aku yang baru mengenalnya hampir dua bulan yang lalu saja sudah tergila-gila pada Jonathan. Apalagi ia yang telah lama mengenal Jean? Kususut air mata yang berderai dan meninggalkan jejak basah pada kedua pipi. Lantas, meraupnya kasar walau tanpa air. Jalanan yang kulewati tampak begitu lengang. Padahal ini adalah jalur dengan perhentian khusus para pengemudi truk. Apa karena terlalu
Read more
Welcome Home
Kutatap langit yang membentang luas tanpa noda. Baru kusadari, betapa indahnya hari saat angin meniup ribuan awan menjelajahi angkasa. Kututup kedua mata menikmati embusan angin yang menerpa wajah. Setidaknya, aku ingin hidup tenang dan damai meski sebentar. Ya, andai aku manusia biasa dengan segala kejemuan karena letih bekerja. "Kau tak boleh terus berdiam diri, Grace. Kita harus segera bergegas." Tanpa membuka mata, aku tahu ini suara Hard. Masih pada posisi awal, kuhirup napas dalam-dalam berharap segala keluh nan kesah turut luntur saat kuembuskan karbondioksida secara perlahan. "Bukankah Nathalie sudah dihukum, Hard? Apa lagi yang harus kita khawatirkan?" Terdengar langkah kaki yang kian mendekat. Tak lama, ia turut duduk di sebelah dan menggenggam bahuku dengan erat. "Apa lagi katamu? Kau lupa bahwa kau adalah gadis yang ditakdirkan? Kau lupa bahwa Nat
Read more
Rasa yang Dipaksa
"Aku mendukung semua rencana kalian sebagaimana kalian ingin menyelamatkanku dan Jonathan." Ucapan Jean membuatku tercengang seketika. Aku dan Hard bahkan belum mengatakan sepatah kata pun sejak tiba di apartemen, sedangkan Jonathan tampak menahan tawa sembari menatap ke arah luar jendela. Aku memicing, mencoba menelisik apa yang sebenarnya terjadi. "Kau tak apa? Kami bahkan belum mengatakan apa pun, Jean." Aku mengangguk, membenarkan ucapan Hard. Kami bertiga memang pulang ke apartemenku, tapi aku dan Hard harus pergi ke suatu tempat lebih dulu. Kemungkinannya, Jonathan yang sampai lebih cepat telah menceritakan semua masalahnya. "Bisakah kita bicara empat mata saja, Grace?" Aku menatap Hard yang juga diperam tanya. Juga menuntut jawab pada Jonathan. Sayangnya, ia bahkan seolah-olah tak mengenali sikap Jean barusan. "Kenapa rasanya kau bukan seperti kawanku
Read more
Janji Suci
Bagai dalam mimpi saat kupatut diri dalam cermin di ruangan tak jauh dari pintu gereja utama. Gaun pengantin dengan warna mint membalut tubuhku dengan sempurna, memperlihatkan tiap lekuk tubuhku pada khalayak ramai. Jean sebagai bridesmaid hanya mengulas senyum sembari mengangkat jempolnya tinggi. Wanita ini, bagaimana ia bisa begitu tulus mendukung rencana ini padahal ia juga mencintai Jonathan. "Jangan pikirkan aku, Grace. Aku baik-baik saja. Fokus pada tujuanmu setelah ini." Ucapannya kian membuatku tak mengerti ke mana arah berpikir Jean selama ini. Aku baru tahu rasanya sakit hati saat Jonathan benar-benar menjauh pergi dan enggan mempercayai. Namun, kini harus kusaksikan Jean menyungging senyum melihatku dan Jonathan hendak mengucap janji suci. "Aku merasa tak nyaman, Jean. Maafkan aku." Kututup wajah yang telah dirias oleh Jean beberapa saat yang lalu. Mataku terasa panas
Read more
Drama Kissing?
"Maka, berjanjilah bersama," perintah sang pemimpin pernikahan. Jonathan memandangku lekat sebelum akhirnya mengangguk. Mungkin, untuk kedua kalinya ia menikah dengan orang yang sama, yang tak dicinta, berat baginya. Kukatupkan bibir rapat, sebeluk akhirnya jemari kekar itu menggenggamku erat. Sontak, aku tergagap mengikuti janji yang dipandu oleh sang pastor dari samping. "Aku berjanji, akan mendampinginya dalam sakit dan sehat, dalam duka dan suka, serta selalu membersamai hingga rambut memutih." Sekonyong-konyong, Jean dan Hard bersorak. Mata keduanya tampak berkaca-kaca. Tiba-tiba, lengan kekar Jo telah menyentuh pipiku lembut. Aku baru sadar, bukankah biasanya mereka yang menikah akan langsung berciuman setelah janji suci? Kukedip-kedipkan mata berulang saat tatapan kami saling mengunci. Aku berdeham, lantas memberanikan diri untuk sekadar buka suara meski tergagap. "K-kau t
Read more
Balas Budi?
Entah apa yang membuat Jonathan tampak berbeda dari sebelumnya. Ia yang sejak awal bersikeras menolak rencana pernikahan, malah berubah amat manis setelah janji suci. Aku bahkan merasa bahwa ia bukan Jonathan. Oh, tidak! "Jangan berpikir macam-macam, Grace!" Suara Hard membuyarkan ketakutanku yang tak berdasar. Ya, untungnya ia datang di waktu yang tepat. "Harusnya kau tak datang kemari setelah pernikahan usai, Hard," ujar Jonathan sembari mengenyakkan bokong. "Hei! Aku ini ayah mertuamu! Jaga bicaramu!" Kuraih kardigan rajut dari kapstok gantung dan segera menyusul Jonathan ke luar kamar. Benar saja, Hard tampak amburadul saat ini. "Kau minum-minum? Sama siapa?" Hard tersenyum, lalu menoleh seolah-olah mencari sosok lain yang harusnya bersama. Aku mengernyit, lantas segera ke pintu utama. Benar saja. Jean yang duduk
Read more
No, Please!
Hari sudah hampir pagi saat kulihat Jonathan yang masih bergeming dalam buaian mimpi di sofa dudukan tiga. Ia bersikeras tidur di sana walau sudah kuberi kesempatan untuk berbagi ranjang dengan banyak kesepakatan. "Aku takut kau akan berubah pikiran dan membunuhku tepat saat aku terpejam, Grace. Jadi, lebih baik aku cari aman dengan tidur di sofa. Kunci pintumu dan jangan pernah mendekatiku!" Mendengar ocehan Jonathan overprotektif terhadap dirinya sendiri membuatku sedikit geli. Tak ingatkah ia yang begitu rakus menciumku tadi? "Kau membuatku malu telah menikahimu, Jo." "Ya, tidurlah. Aku enggan bicara setelah membersihkan seluruh badan mertuaku karena muntah. Beruntung muntahannya tak mengenai sofa." "Harusnya Hard memuntahkan semuanya padamu. Itu akan lebih baik." "Hei, Nona! Kau istriku sekarang! Jangan mengatakan hal yang tidak-tidak!" 
Read more
Apa yang?
Aku mengernyit saat mendapati seberkas cahaya mentari merangsek masuk dari celah tirai yang menutupi ruang tamu. Warna abu yang mendominasi, seketika membuatku terbangun. Kondisi rumah sudah jauh dari kata tapi. Berbagai vas dan isinya telah berserah di lantai. Banyak bulu angsa yang juga memenuhi ruangan. Seolah-olah menyihir rumahku menjadi padang salju penuh sampah. Aku mengernyit heran kala mendapati tubuh Jonathan tergeletak bertelanjang dada. Sontak saja, aku membeliak. Ingatan tadi kembali memenuhi ruang. Apa aku? Kulihat jam dinding telah berada di angka sebelas. Tak ada lapar yang mendera. Atau sekadar haus yang menyiksa. Aku beranjak menuju kamar, lalu memperhatikan seluruh tubuh dengan seksama di cermin meja rias. Tak ada yang berubah. Lalu, kekuatan apa yang dimaksud Hard? Dari dalam terdengar Jonathan yang menggeliat. Karena malu, lekas kuderap l
Read more
Menyatu
Nathalie menjerit, lalu menatap nyalang pada Jonathan. Dalma sekali kedip, ia mencekik Jo hingga tersudut di dinding. Tak ingin kalah, aku pun melesat, mencoba menghalau Nathalie untuk menggagalkan percobaan membunuhnya. Hebatnya, aku merasa lebih ceapt dari biasanya.  Kudorong Nathalie tanpa menghabiskan tenaga, lantas menggenggam Jo dan berlalu lebih jauh dari jangkauan Nathalie hanya dalam sekejap mata. Tubuh Nathalie membentur dinding hingga retak. Benturan terdengar cukup keras, bahkan sempat sedikit bergetar. Sejenak, hening. Tak terdengar apa pun selain deru napas dan degup jantung yang iramanya tak stabil. Kemudian, tawa Nathalie terdengar tiba-tiba. Aku dan Jonathan saling berpandangan, lalu kembali melihat pada tiitk di mana Nathalie berada. Debu-debu tak segera turun, membuat pandanganku mengabur. Tapi sedetik kemudian, bayangan Nathalie mulai mendekat.&nb
Read more
PREV
1
...
345678
DMCA.com Protection Status