Lahat ng Kabanata ng Menuju Matahari: Kabanata 41 - Kabanata 50
79 Kabanata
41
Wisnumurti masih terengah saat ia merasa puas menciumi bibir dan pipi Pratiwi. Mata gadis itu menyipit, nampak begitu elok saat rambut dan wajahnya basah kuyup.“Apa aku akan hamil?” tanya Pratiwi, dengan suara rendah.“Mungkin saja.”Gadis itu mendelik. “Mati aku! Kalau begitu, kita harus menikah. Aku bisa dibunuh Bapak kalau tahu-tahu hamil tanpa ada suami!”“Ya, tentu saja. Begitu bertemu ayahmu nanti, aku akan melamarmu.”Pratiwi tertawa. “Lucu ya. Soalnya kita tidak ada rencana mau menikah. Bapak sama Ibu saja belum berusaha mencarikan suami untukku.”“Harusnya memang bisa saja calon suami atau istri kita cari sendiri karena memang betul-betul suka, tidak melulu menunggu dijodohkan orangtua.”“Itu kan cara-cara menyimpang kaummu orang persilatan.”“Memang, tapi itu yang betul, kan? Siapa yang akan menikah memangnya? Kamu apa orangtua?
Magbasa pa
42
Panji Warastra bergegas menghampiri Senopati Natpada yang tengah mengenakan baju kebesaran dibantu tiga orang pembantu. Sang senopati sudah paham, raut wajah bawahan terpercayanya yang seperti itu pasti memerlukan satu percakapan empat mata. Cukup dengan sedikit menggerakkan jari, ketiga pembantu menyingkir serempak tanpa suara.Ia pun harus mengancingkan sendiri baju yang serba berhiaskan batu permata itu, yang akan ia pakai dalam acara pernikahan Pangeran Candrakumala esok pagi.“Gusti Senopati, ada hal penting yang harus saya laporkan,” kata Panji Warastra kemudian.Senopati Natpada masih asyik dengan kancing-kancing bajunya, yang semua terbuat dari emas tulen berkilauan.“Ada apa?”“Mungkin ini agak aneh, tapi saya perlu menyampaikan agar dijadikan bahan pertimbangan. Beberapa pegawai Dalem Kepangeranan dan juga prajurit menyampaikan tentang perbedaan rupa wajah antara Raden Rara Pramesti yang tadi sowan k
Magbasa pa
43
Tempat yang bernama Gedong Putih itu memang luar biasa menawan.Ia terletak di satu puncak bukit, dikelilingi hanya oleh pagar tanaman setinggi pinggang orang dewasa. Tak aneh kita bisa memandang bebas ke sekeliling tanpa hambatan.Dari sini, semua gunung tampak dengan jelas, sebagian tertutup awan yang mengambang. Tepat di lereng pada arah utara, terdapat sebuah telaga yang berair bening luar biasa. Sebuah jalan setapak yang dipercantik dengan batu-batu hitam menghubungkan bukit dengan telaga. Membelok bertrap, dan langsung berbatasan dengan dermaga yang cukup jauh menjorok ke permukaan air telaga.Sebuah perahu dayung berukuran kecil tertambat di sana, menanti para wisatawan untuk berperahu melihat-lihat keindahan danau—atau memancing. Rinjani membayangkan, pada waktu menjelang subuh dan purnama tengah membulat sempurna, kedudukan bulan yang rendah di ufuk pasti akan memunculkan bayangan mirip ruas jalan di permukaan air danau.Sayang ia tak punya
Magbasa pa
44
“Astaga! Jadi sosok yang istimewa itu adalah putri Pangeran Samodra?” desis Pratiwi.Ki Randu Alas mengangguk.“Namanya Rara Marli, putri bungsu sang pangeran. Aku kenal saat ia diajak ibunya, Raden Ayu Kusrini, berkunjung ke Kalibening. Raden Ayu masih berkerabat dengan Rama Guru Samirana, ketua perguruan sebelum aku. Begitu kenal, kami langsung dimabuk sesuatu yang jauh lebih besar daripada kekuatan wajar sebagai manusia. Marli dan aku seketika tahu, kami ditakdirkan untuk bersama. Lalu kami sepakat untuk meminta perjodohan.”“Meminta perjodohan?” Ningrum buka suara.“Ya. Pada zaman ini. perjodohan kan sesuatu yang diatur. Aku berhasil membujuk Marli agar melakukannya dengan cara kaum persilatan. Memilih sendiri, lalu mengajukan satu nama itu pada orangtua agar disetujui.”“Lalu? Berhasil?” tanya Jaladri.Ki Randu Alas tertawa getir. “Tentu saja tidak. Memangnya ini cerita n
Magbasa pa
45
“Siapa?” tanya Ki Soma, mendekat ke arah Rinjani.Gadis itu tak menyahut. Ia mempertajam telinga, dan suara tapak langkah itu makin dekat. Halus, nyaris tanpa suara, menandakan bahwa yang datang bukanlah orang yang tak berkemampuan bela diri kelas atas.Lalu sesosok bayangan muncul dari balik sesemakan. Badannya tegap tinggi, mengenakan busana serba gelap, dan menyandang pedang panjang di punggung. Sejenak kecurigaan Rinjani mereda. Sorot mata dan raut wajah pria itu tak terlihat ganas seperti anggota gerombolan perampok. Kulit wajahnya justru cukup bersih, dan kumis serta janggutnya pendek rapi, menunjukkan bahwa ia terawat. Bukan jenis manusia yang menghabiskan seluruh waktu kehidupannya di tengah hutan.“Maaf, apakah panjenengan bertiga tersesat...?” tanya pria itu dengan nada sopan, tanpa terlihat tanda-tanda ia akan meraih pedangnya lalu menyerang.Rinjani bangkit, tak jadi menghunus pedangnya.“Betul,&rd
Magbasa pa
46
“Apakah dia sudah sampai di tempat ini mendahului kita...?” Ki Demung Banar mendesis, celingukan.“Siapa? Tanpa Aran?” sahut Ki Gagak.Ki Demung mengangguk.“Atau dua manusia sinting dari Margalayu itu,” kata Wiratmaka.Alisnya berkernyit ketika hidungnya mencium kesiur angin yang tak biasa. Anyir sekali. Tahu-tahu melintas melewati hidungnya. Mata sang pangeran bergeser melakukan pencarian.“Jangan takut! Mereka tidak mati. Hanya kusirep agar tidak menggganggu perayaan malam ini.”Keempatnya menoleh. Dalam remang cahaya senja, sesosok bayangan hitam bercaping berdiri dengan kaki kangkang tak jauh dari gapura batu bata yang menjadi penanda awal jalan menanjak menuju puncak Gunung Wijil. Tak perlu bertanya, semua sudah langsung tahu siapa bayangan itu.“Kalian juga mau ikut berpesta?” kata orang itu lagi. “Kau tak sayang nyawa juga rupanya, Pramesti. Di atas sana nanti,
Magbasa pa
47
“Kok sepi ya...? Seperti ada yang tidak beres…”Pratiwi melompat turun dari kuda, yang lain mengikuti. Jaladri mendecak dan menggeleng-geleng.Ki Randu Alas menatap berkeliling. Memang benar, ada yang tidak beres. Ia telah berkali-kali kemari, dan belum pernah menjumpai Wijil Ngisor sesenyap dan segelap ini. Biarpun datang kemalaman sekalipun, tetap akan ada para murid Perguruan Matahari yang melek berjaga-jaga.Magrib ini, barang-barang titipan saja yang ada. Orang-orangnya lah yang tidak ada. Lentera dan obor-obor biasanya sudah menyala.“Coba periksa rumah-rumah penduduk!” katanya. “Aku akan ikat kuda-kuda di tempat penitipan.”Pratiwi membantunya menambatkan kuda. Tiga yang lain memeriksa rumah demi rumah, lalu datang melapor tapi tidak dengan wajah pucat.“Semuanya tertidur,” kata Wisnumurti.“Semua orang pasti disirep, agar tak tahu apa yang nanti akan terjadi di atas
Magbasa pa
48
Pangeran Wiratmaka menghentikan larinya dan mendongak.“Ya, Tuhan! Ada kebakaran!”Pramesti juga ikut melihat ke atas. Langit memang berwarna kemerahan, dan ada asap pekat hitam membubung tinggi.“Masa Tanpa Aran juga bakar rumah?” gumamnya.“Ayo, cepat!”Wiratmaka menarik tangan Pramesti lagi. Mereka menyelesaikan pendakian dengan cepat. Dan kian dekat, suara-suara itu makin terdengar jelas, yang merupakan perpaduan antara teriakan-teriakan kacau, jeritan, dan dencing senjata beradu.Sang pangeran menahan napas. Bunyi-bunyi itu hanya mengingatkannya pada satu hal.“Hah? Perang...?”Jalur pendakian berakhir. Dan semua langsung terpampang nyata begitu keduanya tiba di puncak.Kekacauan. Hanya itu satu-satunya kata yang tepat menggambarkan keadaan di Gunung Wijil. Dan beberapa di antaranya hampir bertabrakan dengan mereka.Puluhan dan bahkan ratusan orang berlari dan m
Magbasa pa
49
Mereka langsung sibuk meneriaki Ki Gede Nipir. Dengan cepat kedua bayangan bergulung ke belakang.“Ada apa?” tanya pria penyerang itu, yang memang Ki Gede Nipir.“Dia bukan penculik,” sahut Pramesti. “Itu Pangeran Wiratmaka.”Ki Gede terperanjat. “Apa?”Pertanyaannya terputus oleh teriakan Pangeran Wiratmaka yang malah menoleh ke arah lain sambil berkernyit dahi.“Dasar tukang telat semua!” hardiknya keras. “Kalian hampir saja ketinggalan pestanya!”Jaladri tertawa senang. “Wah, Wa Nipir ternyata sudah sampai di sini juga. Mencari Memes ya? Tak perlu sebenarnya. Dia kan memang biang masalah sejak dulu!”Ki Gede dengan cepat menoleh ke orang-orang yang muncul di belakang Jaladri.“Kenapa kaubawa dia ke sini?” tanyanya pada Ki Randu Alas. “Nanti dia mengacau. Kelakuannya sering aneh-aneh.”Pratiwi mendelik. Wisnumurt
Magbasa pa
50
Saat mereka tiba, lapangan tepat di depan pendapa kediaman Ki Lembu Narawara bersuasana mirip pada malam takbir Idul Fitri. Seluruh penjuru terang benderang oleh nyala obor dan terdapat begitu banyak orang berkumpul. Berdiri tepat di dekat pendapa adalah para pria bersenjata dalam berbagai rupa dan perawakan. Mereka menyibak saat Ki Gede Nipir dan yang lain-lainnya muncul dari arah telundakan, tahu bahwa para pendatang baru ini adalah tamu-tamu terhormat, dan banyak di antaranya yang telah kenal dengan Ki Gede dan juga Ki Randu Alas.Saat bergegas menapak naik ke pendapa, para pria yang awalnya duduk bersila di sana serempak berdiri. Semua memberi sambutan dengan gembira, terlebih ketika Ki Gede memperkenalkan Putra Mahkota pada mereka. Sayang keadaan sedang tak tepat untuk sekadar berhalal bihalal penuh kegembiraan. Tuan rumah seketika mendekat begitu melihat raut wajah muram Ki Gede Nipir.“Bisa kita bicara di dalam?” tanya Ki Gede.Pria pendek kek
Magbasa pa
PREV
1
...
345678
DMCA.com Protection Status