Semua Bab Menuju Matahari: Bab 31 - Bab 40
79 Bab
31
“Nanti Kakang bertiga tidurnya di sini,” kata Ni Sanadi. “Nanti Mbah bikinkan nasi goreng yang enak. Nah, khusus untuk Pramesti, kau tidur di dalam. Ayo!”Kembali Pramesti dengan patuh mengikuti sang nenek. Ia diajak masuk ke kamar yang berada tepat di balik amben bambu lebar di ruang depan.“Nanti kau tidur di situ,” Ni Sanadi menunjuk balai-balai bambu di sudut kamar. “Itu sudah ada selimut.”Pramesti meletakkan pantatnya di amben. Enak sekali, setelah menempuh perjalanan panjang dari Karang Bendan sejak subuh tadi. Rasanya ia ingin langsung rebahan.“Mbah sendiri nanti tidur di mana?” tanya dia.“Mbah bisa tidur di rumah tetangga. Kau istirahat dulu. Kalau mau, nanti kau bisa bantu Mbah membuat nasi goreng. Nasinya sudah ada, tinggal membuat bumbu dan menggoreng.”Pramesti mengangguk. “Mau, Mbah. O, ya, ini Ki Dewaningrat Pakulangit di mana?”&ldquo
Baca selengkapnya
32
Jaladri maju dengan langkah berjongkok. Ia menyembah. Pangeran Wiratmaka duduk di batu takhtanya, di sudut ruangan lebar itu, menghadapi sebuah meja rendah dari kayu berukir yang amat indah dan mewah.“Hamba menghadap, Gusti Pangeran.”Pangeran Wiratmaka menoleh. “Tidak usah menyembah! Tak ada yang lihat juga.”Jaladri mengangkat wajahnya.“Beneran?”“Iya. Biasa saja seperti seharian tadi di jalan. Ayo, sini! Ada yang mau kubicarakan denganmu.”“Asiiiik...!”Jaladri melompat ke arah Wiratmaka.“Tapi ya jangan lantas ndeso gitu.”“Peduli setan! Aku sudah pegal sejak tadi sok resmi seperti sedang ada jumenengan.”Jaladri bergegas mendekati meja dan duduk bersila di situ. Wiratmaka kemudian turun dari batu takhta untuk ikut duduk juga di karpet permadani.“Baik. Ini sangat penting. Kau siap mendengarnya?”
Baca selengkapnya
33
Senopati Bantala menutup kembali kedok di wajahnya saat ia mendengar suara derap kaki kuda dari kejauhan. Ia mundur merapat ke batang pohon besar di belakangnya, menyamarkan dirinya dalam kegelapan yang terlindung dedaunan dari sinar bulan yang sangat cerah malam ini.Lalu ia meraba hulu pedang saat kuda itu menapak pelan ke arahnya. Namun saat hidungnya menghidu bau tubuh yang sudah sangat ia hapal itu, seluruh kewaspadaannya seketika terurai. Ia bahkan melangkah maju agar terlihat. Kedok kain ia turunkan kembali.Yang datang memang Rinjani. Perempuan remaja itu juga sama sepertinya, mengenakan busana serba biru gelap untuk membuat diri tak terlihat dalam kegelapan malam.“Bagaimana? Semua lancar?” tanya Senopati Bantala.“Lancar, Senopati. Kami berangkat siang tadi selepas makan siang dengan naik kuda. Begitu masuk Kademangan Larangan Lor, pihak istana Pangeran Candrakumala menyambut dengan menyediakan tandu bagi kami bertiga. Perjalan
Baca selengkapnya
34
Pramesti merapatkan selimutnya. Enak. Hangat sekali. Dan baru sekian saat kemudian ia menyadari sesuatu yang tak biasa. Betul. Ia tak sedang berada di rumah. Rasa dingin yang asing dan tak nyaman itu seketika membangunkannya hingga terlompat bangkit dengan punggung tegak. Ia sibuk melihat sekeliling.“Apa ini?” ia menyingkirkan kain hitam lebar yang tadi ia pikir selimut tempat tidurnya di rumah.Jelas itu bukan sesuatu yang seharusnya dipakai tidur. Baunya aneh.Hal pertama yang ia lihat adalah nyala api unggun tak jauh dari tempatnya tergolek tidur beralaskan kain lain lagi yang juga berukuran lumayan lebar. Sekelilingnya adalah pepohonan dan sesemakan lebat. Lalu telinganya menangkap bunyi gemericik air. Pasti ini di dekat sungai. Masalahnya, ini di tlatah sebelah mana?Semua ingatan kembali dengan cepat. Sungai banjir, Ringin Pitu, Dewaningrat yang gila, lalu kemunculan seorang pria aneh bersenjata pedang yang hanya dengan satu ka
Baca selengkapnya
35
“Sebentar lagi akan ada orang datang, berusaha menculikmu lagi. Waspadalah!”Jaladri mengernyitkan dahi. Matanya mencoba mengenali pria yang duduk di hadapannya, di tengah-tengah keriuhan pasar pagi sekarang ini.“Siapa?”Mereka makan nasi bungkus, duduk di atas los daging. Dan daging lauknya tinggal mencomot yang ada di atas lapak.“Kau akan kenal nanti. Sudah pernah ketemu kok.”Pria di depannya itu mengenakan baju panjang mirip jubah. Mukanya jelas, tapi tak terlihat. Ia sedang memancing di pantai. Jaladri menendang-nendang sesuatu yang berbentuk bulat dan terbuat dari kulit.“Kapan ketemunya?”“Dulu. Yang jelas, untuk membangunkan lintangmu, cukup kenali getaran di dalam dada. Lalu alirkan ke tangan. Pukul saja sekuatmu. Kita lihat hasilnya.”“Lintang apa?”Kini mereka naik kuda melintasi gurun pasir.“Lintang kemukus dini hari, pada
Baca selengkapnya
36
Jaladri berhenti di dekat pemuda itu dengan napas terengah. Ia, dan juga para pengawal, ikut menebar pandang ke mana-mana. Lalu sang pemimpin memerintahkan mereka semua untuk melakukan penyisiran, sedang empat prajurit terbaik tetap di situ mengawal Putra Mahkota.“Masa secepat itu larinya?” tanya Jaladri bingung.“Mereka benar-benar secepat setan! Kemampuan mereka jauh di atas kita. Itukah tadi yang bernama Suwung Saketi?”Jaladri mengangguk. “Ya. Itu orangnya. Kuakui, dia benar-benar pintar bisa menemukanku di sini.”“Lalu siapa yang satunya itu tadi?”“Aku tidak tahu. Belum pernah lihat. Tapi tadi dia mengejar Saketi. Mungkin salah satu musuh besarnya.”“Itu Tanpa Aran, pendekar aneh yang berkulit dan berambut putih.”Para pria serentak menoleh oleh suara lembut yang sangat enak di kuping itu. Dari arah masjid, sesosok bayangan ramping bergegas mendekat. Wajahn
Baca selengkapnya
37
Ki Demung Banar berdoa. Lalu ia mengusap wajah dengan kedua tangan.“Baik. Mari berangkat!”Ia naik ke kuda, disusul Ki Randu Alas, Ki Gagak Panolih, Wisnumurti, dan Pratiwi.Ki Demung berpamitan kepada istri dan anak-anaknya. Dua putra tertuanya sudah memasuki usia remaja, dan ikut pula berlatih bela diri.Ia menggoyang tali kekang untuk menyuruh kudanya mulai melangkah. Medan melandai turun untuk menyeberangi sungai, lalu mulai mendaki di tengah pepohonan cemara menuju Gunung Wijil. Cuaca cerah, tapi mendung tebal menanti di depan. Baru beberapa langkah maju, Ki Demung Banar menghentikan kudanya. Empat yang lain tentu ikut berhenti.“Ada apa?” tanya Ki Gagak Panolih.Alis Ki Demung berkerut.“Burung prenjak berbunyi, nyaring sekali,” katanya.Yang lain ikut memasang telinga. Benar. Memang kicauan prenjak terdengar sangat kenceng, dan bersahut-sahutan.“Kita akan kedatangan tamu
Baca selengkapnya
38
Pangeran Wiratmaka menghentikan kudanya. Jaladri, Ningrum, dan Pramesti juga berhenti. Dan mereka tahu sebabnya.Di depan, jalan bercabang dua. Sama-sama menembus hutan belantara yang luar biasa lebat, namun membingungkan karena tak berupa persimpangan, melainkan hanya seperti jalan yang membelah dalam sudut sempit. Ditilik dari sudut pandang mereka, dua-duanya bisa sama-sama menuju ke Gunung Walang.Masalahnya, yang mana?Dan tak satu pun dari mereka yang pernah berkelana hingga tempat itu. Wiratmaka hanya hapal ruas jalan utama, yang langsung menghubungkan Paranggelung dengan Tirta Mas dan kemudian Kajoran, sebelum membelok ke barat daya menuju Larangan Lor dan kemudian Kotaraja Pasir. Ini tadi mereka masuk ruas jalan yang lebih sempit, yang di paling ujung berakhir di Gunung Wijil, kediaman Ki Lembu Narawara yang sangat disegani kawan dan lawan.“Sepertinya yang kiri,” kata Wiratmaka.“Tahu dari mana?” sahut Jaladri.
Baca selengkapnya
39
“Nah, itu dia!”Wisnumurti dan Pratiwi bergegas menyusul Ki Randu Alas mendaki lereng yang lumayan terjal itu. Mata mereka melebar sejadinya begitu tiba di puncaknya.“Astaga! Luar biasaaaa!”Pratiwi sampai mengucek-ucek matanya.“Surga pasti bentuknya seperti ini...!”Ki Randu Alas tertawa.“Nikmati selagi bisa. Kita tak bisa terlalu lama ada di sini.”Sebab yang ada di hadapan mereka adalah sesuatu yang sangat surgawi. Aliran sungai membentuk kedung yang tenang dan bening, sebegitu bening sehingga batu hingga paling dasar pun terlihat nyata. Lalu, di arah hulunya, pada tebing, adalah dinding air yang jatuh dari puncak setinggi 15 tombak. Warnanya putih berbuih, turun terus tanpa akan ada hentinya, dan menghadirkan suara gemuruh abadi yang memekakkan telinga tapi sekaligus menenangkan dengan cara yang aneh.Dan jika kita melihatnya dari sudut yang tepat, terlihat pelangi pada per
Baca selengkapnya
40
Jaladri berteriak sekuat tenaga.“Pangeran! Pramesti! Woooiii!”Windyaningrum meneriakkan nama-nama yang sama. Sesaat sepi. Hanya ada suara angin. Lalu ada guncangan gempa lagi, namun dengan kekuatan yang tidak sekuat tadi.“Harusnya mereka tidak apa-apa,” gumam Jaladri.Ningrum mengangguk. “Semoga saja begitu.”Sesaat kemudian ada teriakan balasan dari kejauhan sana, dan satu kepala mencuat dari balik tumpukan bebatuan.“Ada yang luka!?” Pangeran Wiratmaka melambaikan tangan.Jaladri menggeleng, balas melambai.“Kami baik-baik saja. Hanya saja kuda-kuda kami minggat entah ke mana! Kalian bagaimana!?”Ada kepala lain muncul di belakang Wiratmaka. Itu Pramesti.“Tidak apa-apa. Dia masih utuh kok!” Wiratmaka nyengir sambil menuding ke arah Pramesti. “Hanya kaget saja.”Jaladri membuang napas. “Oh, syukurlah.”
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234568
DMCA.com Protection Status