All Chapters of Menuju Matahari: Chapter 71 - Chapter 79
79 Chapters
71
Bajul membuka mata. Sebentuk aroma yang sangat enak menyelinap hidung. Dan itu membuat kesadarannya datang jauh lebih cepat daripada seharusnya.“Bangun, bangun! Mau kelinci bakar tidak? Ini enak lho…!”Yang kali pertama menyinggahi matanya adalah cahaya redup dari lentera kecil di sudut sana. Berikutnya ada perasaan keras berbatu yang menyesaki setiap bagian punggungnya. Ia merayap bangkit, mengucek-ucek mata untuk mencermati sekeliling. Hampir gelap pekat, dengan hanya berpenerangan lentera kecil itu.Sempat ia kira ini sudah malam. Begitu mata melihat saksama dinding yang tak berupa tembok bata atau kayu atau anyaman bambu, ia jadi mafhum tempat keberadaannya sekarang ini. Saat masih berdiam di Alas Kalimati, tempat huniannya pun seperti ini, yang gelap gulita setiap saat meski pada tengah hari terik benderang.Tak lain karena ini bagian dalam sebuah gua. Tak selapang gua tempat tinggalnya dulu, tapi tetap enak dijadikan tempat hunia
Read more
72
Blarak bersendawa keras sekali. Khas orang kampung yang belum belajar tata krama masyarakat kalangan atas. Dan baru kemudian ia menyadari bahwa yang lainnya, kecuali Begawan Ripu, sudah tertidur pulas.Suami istri Somanagara tertidur sambil berpelukan. Tadi mereka memang sempat bermesraan panas sesaat setelah makan. Sedang Pangeran Candrakumala tidur meringkuk dan tubuhnya hampir masuk sepenuhnya ke kolong meja. Pemuda itu mengeluarkan suara ngorok keras dari kerongkongannya.“Nah, ada pertanyaan sebelum aku menjelaskan semuanya padamu?”Blarak menoleh. Begawan Ripu duduk bersila agak jauh dari meja, diam dan memejamkan mata. Sepertinya dia bersamadi. Sejak tadi pria itu tak ikut makan. Malah hanya sibuk diam saja.“T-tanya apa?” Blarak malah balik bertanya.“Apa saja. Hal-hal yang membuatmu tidak paham. Ah, kalian wong cilik memang tidak terdidik untuk selalu mau tahu, sehingga bisa menemukan pertanyaan-perta
Read more
73
Wisnumurti dan Rinjani seketika memperlambat laju kuda. Dalam keremangan selepas senja, hanya nyala obor di tepi jalan itu yang membantu penglihatan mereka. Lalu obor dibawa mendekat oleh dua dari enam pria bersenjata yang berjaga tak jauh dari sepasang pohon trembesi raksasa. Ada batang-batang kayu dipasang melintang di sana, dan menyisakan hanya secuil ruang bagi siapapun untuk bisa melintasi jalan dengan lancar.Sepertinya ada penjagaan khusus di Karang Bendan. Jantung Wisnumurti berdegupan.Namun begitu obor tiba, kedua pria itu tertawa.“Woalah! Ternyata kau, Rinjani,” kata salah satunya, yang berjenggot namun tak berkumis. “Lho, ada Wisnumurti juga? Kok kalian bisa barengan?”Wisnumurti kenal dua pria itu. Yang memegang obor dan barusan bicara adalah Jlagra, anggota pengawal Ki Soma yang juga sekaligus berdinas di ketentaraan Karang Bendan. Satunya lagi yang berperut buncit adalah Ki Panyut, prajurit pengawal istana kadipaten
Read more
74
Saat Jaladri membuka mata, yang melintas kali pertama di pelupuk matanya adalah sosok Windyaningrum, dan Sawer, bergantian. Setelah beberapa detik, baru kemudian seluruh panca inderanya bisa berjalan dengan lancar, terutama penglihatannya. Seketika dahinya berkerut tajam. Tak mengerti bagaimana mungkin atap warung sederhana milik Maesa Alit dan Gajah Lemu bisa setinggi itu, dihiasi lampu gantung yang amat mewah pula.Dan ia masih bertanya-tanya, sejak kapan ada warung makan dilengkapi dengan lampu gantung.Jawabannya tentu baru muncul setelah ingatan dan pemahamannya akan keadaan sekeliling terbentuk sempurna. Kepala berputar, mata menatap sekeliling dengan saksama. Meski tubuh lemah, ia tetap bisa beringsut bangkit perlahan-lahan. Wajahnya menyeringai mencermati setiap depa di sekitarnya.Ia tidur, beralas kasur bulu angsa yang tak saja terasa empuk namun juga cair. Tempat tidurnya tak terbuat dari kayu, melainkan besi gelap berkilauan, dan berkelambu. Dinding
Read more
75
Dan untuk kesekian kalinya, kecepatan gerak alami sebagai hasil latihan keras bertahun-tahun kembali menjadi penyelamat.Wisnumurti bangkit luar biasa cepat. Nyaris seperti bukan digerakkan oleh pemikirannya sendiri. Ia sambar kasur sebagai tameng darurat, lalu pada saat bersamaan tenaga dalamnya meledak sehingga benda itu melesak ke depan dan menghantam telak kesepuluh anak panah yang mengincar tubuhnya.Detik itu, banyak hal terjadi beruntun saling susul menyusul.Nyai Gede Nipir mendelik marah dan berteriak gahar.“Bunuh dia! Habisi!”Sepuluh anak panah kembali meluncur, bahkan langsung disusul dengan luncuran-luncuran berikutnya hingga persediaan anak panah masing-masing pengawal habis.Tepat ketika Wisnumurti jumpalitan menghindari sepuluh luncuran pertama, mendadak terdengar suara jeritan kaget dan bunyi bergedebukan keras ketika mereka itu mencelat terdorong dan jatuh terjerembab menimpa lantai.Dan wajah pertama ya
Read more
76
“Cobalah! Rasakan kedahsyatannya!”Blarak menatap ragu pada Begawan Ripu. Lututnya bahkan sudah goyah saat tadi ia kali pertama diajak kemari oleh orang itu.“Ayolah! Kau sudah berhak. Ingat, Somanagara sudah memberimu gelar Kanjeng Tumenggung Wirasuta, dan kau sebentar lagi akan menjadi pelaksana tugas harian di istana ini selama dua hari ke depan. Kau harus mencobanya!”Bibir Blarak bergerak-gerak, tapi gagal mengucapkan satu kata pun. Ia hanya menangguk patuh, lalu mendaki trap-trap lebar menuju puncaknya di mana sebuah batu hitam berbentuk kotak sempurna telah menunggu.“Duduklah di singgasana! Tepat menghadap ke arah Mantri Nalacitra. Nanti semua bawahan dan pejabat tinggi kadipaten akan menghadapmu di sana.”Jantung Blarak seperti berhenti bekerja saat ia tempelkan pantatnya di permukaan batu. Dingin. Ia menggigil. Nyaris tak percaya ia kini duduk di tempat yang hanya boleh digunakan oleh penguasa tertinggi
Read more
77
“Apa ada baju atau kain di situ?”Rinjani membongkar isi peti. “Ada beberapa, tapi baju anak-anak. Ada juga baju kecil. Kau tak akan muat. Ah, ini dia ada satu kain jarik. Kupakai dulu ya. Aku kedinginan.”Ia menarik sehelai kain batik, yang biasa dipakai sebagai pakaian bawahan, baik bagi perempuan maupun pria. Sekaligus ia gunakan itu sebagai handuk untuk mengeringkan tubuh yang basah, sebelum kemudian ia bebatkan kain hingga menutup badan dari dada hingga sedikit di atas lutut.Beres dengan dirinya sendiri, ia melanjutkan pencarian ke peti. Warga jelata memang kerap kali tak memiliki almari atau rak, yang digunakan menyimpan barang sesuai bentuk atau kegunaannya. Semua mereka simpan di peti kayu, yang bisa dipesan dengan harga murah atau bahkan dibuat sendiri. Apa pun lalu masuk ke peti itu, sejak simpanan uang, gabah, pakaian, dan juga alat makan yang terbuat dari tanah liat.“Nah, ini ada satu!” ia melempar sehelai
Read more
78
Jaladri keluar dari kamar tidurnya. Tepat di depan kamar adalah sebuah ruangan yang seluas ruang makan rumahnya di Karang Bendan namun tanpa perabotan apa pun kecuali rak-rak berisi guci hias dan pot-pot tanaman, hiasan ukiran banyak sekali di dinding, dan permadani tebal biru tua yang menutupi hampir seluruh lantai.Kata Senopati Jalanidhi semalam, ruang kecil itu biasa digunakan mendiang Sultan Giriwangsa untuk memanggil para pembantu terpercaya guna diajak membicarakan masalah-masalah penting—atau hanya untuk mengobrol saja. Bila pertemuan resmi kenegaraan diadakan di Bangsal Sitihinggil di depan sana, maka pertemuan yang bersifat kurang resmi, rapat-rapat kecil, atau sekadar berbincang melewatkan waktu, dilakukan di sini.Dan kini, pada pagi selepas fajar ini, Senopati Jalanidhi sudah menunggu di sana bersama dua pria lain. Yang satu adalah Patih Natawirya, perdana menteri dari almarhum Sultan Giriwangsa. Satunya lagi Mantri Wilatikta, petugas kepala rumah ta
Read more
79
Pangeran Wiratmaka terbangun oleh cahaya matahari yang masuk jendela dan tepat menimpa mukanya. Ia tutupi mata dengan lengan tangan kiri, dan sedikit menggeliat untuk merasakan punggungnya berada pada permukaan kasur empuk yang mirip dengan yang ia miliki di istana Paranggelung.Seperti biasa, ingatannya selalu kembali dengan cepat, dan dengan seketika langsung mengenali ini bukan rumah. Baik rumah pertamanya di Pasir maupun kediamannya saat ini di Paranggelung. Lantai kayunya sangat asing, juga dinding dari anyaman bambu merah tua dan kuning emas itu.Ia bangkit, duduk di pembaringan, lalu melihat kanan-kiri. Di mana ini? Hal terakhir yang ia ingat adalah tidur siang satu amben bersama Jaladri di kedai makan milik dua pria aneh itu. Kamar ini jelas berbeda dengan kamar yang itu. Jauh lebing lapang, berangin, dan mewah.“Waaa… Kakang sudah bangun!”Ia menoleh kaget. Ada Pramesti di ambang pintu, mengenakan kemben gelap sebatas dada, den
Read more
PREV
1
...
345678
DMCA.com Protection Status