Semua Bab Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia): Bab 31 - Bab 40
43 Bab
Shabir Mengganggu Haziya
Jam sudah menunjukkan pukul enam petang, Zaweel masih di meja kerja. Dia masih berkutit dengan berkas-berkas dan dokumen penting lainnya. Sesuai rencananya, dia ingin segera membereskan kekacauan di kantor supaya bisa segera kembali ke Serambi Mekkah untuk menjadi pengacara bagi Haziya. Menuntaskan janjinya pada Miska untuk menolong sahabat saudaranya itu. Dan, tentu saja agar bisa makan masakan Haziya. Zaweel bahkan sudah tidak menerima tawaran kasus apa pun, meskipun diiming-imingi dengan banyak fee. Karena jika dia mengambil satu kasus saja, bakal menghabiskan beberapa hari. "Kamu langsung pulang saja, besok lanjutkan lagi. Jangan lupa nanti malam makan malam di rumah Safia."Papanya mengingatkan ketika rapat usai tadi siang. Namun, Zaweel tidak menghiraukan karena dia lebih mementingkan untuk menyelesaikan pekerjaannya dibanding harus bersiap-siap berjam-jam demi makan malam yang membosankan. Apalagi jika dia pasangan orang tua akan
Baca selengkapnya
Menghadiri Makan Malam
Zaweel menunggu balasan dari Haziya, dia menanyakan bagaimana keadaan perempuan itu sekarang. Namun, sejak usai magrib tadi dia mengirimkan pesan belum juga kunjung dibalas. "Makin tampan saja, Nak Zaweel," puji mama Safia menyambut kedatangan mereka bertiga.  Safia juga menyapa mereka, dia sangat senang karena Zaweel menyempatkan diri untuk hadir dan memenuhi undangan makan malam ini. Zaweel hanya tersenyum getir, meski raganya di rumah Safia, tetapi jiwa dan pikirannya melayang ke Haziya. "Makasih, Mas, mau hadir."  "Ayo, masuk!" Mama Safia mempersilakan semuanya memasuki ruang tamu, lalu diajak ke ruang makan karena sudah waktu makan malam. "Langsung ke ruang makan saja, ya, sudah waktu makan malam. Yuk!" Sekar menuntun Monika untuk duduk di kursi. "Safia, ayo duduk di sini!" Sekar menunjuk kursi di sebelah Zaweel. Se
Baca selengkapnya
Panggilan Haziya
Zaweel langsung meminta izin kepada Safia untuk mengangkat panggilan dari Haziya. Sejak petang tadi perasaannya begitu gelisah dan resah. Haziya sangat jarang mengirimkan pesan lebih dulu apalagi menghubunginya. Tentu saja dia langsung mengangkat karena penting.  "Assalamualaikum," sapa Zaweel memberi salam. "Gimana, Ziya? Kamu baik-baik saja?" tanyanya langsung tanpa menunggu penelepon menjawab salam. "Waalaikumsalam, Bang, maaf ini Lidya. Sebentar ya, aku kasih ke Kakak. Sengaja aku hubungi Abang soalnya Kak Ziya mah mana berani telpon langsung." "Iya, boleh Dek. Abang juga ingin bicara sesuatu sama Kak Ziya." Meski bukan Haziya yang menghubunginya, tetapi Lidya memakai nomor Haziya seperti alasan yang dikemukakan barusan, tetap saja Zaweel senang. Setidaknya, dia bisa mendengar langsung Haziya bicara kepadanya.  "Ayo Kak, Abang Zaweel mau bicara juga katanya. Nih!'
Baca selengkapnya
Pertunangan Zaweel?
  Safia tidak langsung menjawab, dia melirik Zaweel yang sejak tadi tidak membantah apa pun apalagi mengiyakan. Apakah lelaki itu menyetujui rencana pertunangan ini?  "Nak, kamu ditanya lho," bisik Sekar.  Sekar selalu berdoa untuk kebahagiaan Safia, apa pun yang terbaik untuk putrinya dia akan berusaha untuk memberikan itu. Termasuk, jika harus menjadi besan Monika. Namun, melihat respon Zaweel yang tidak menaruh ketertarikan kepada Safia sejak dulu membuatnya sedikit kecewa dan sedih.  Safia sangat berharga baginya. Selain jadi Putri tercantik di matanya, Safia juga selalu membanggakan di bidang prestasi sejak sekolah.  Meski Sekar sempat meminta Safia untuk tidak begitu menaruh harap kepada Zaweel, dan meminta untuk membuka hati kepada lelaki lain saja karena banyak yang mengejarnya. Namun, karena Safia gigih mendapatkan hati Zaweel dia ingin mendukung
Baca selengkapnya
Haziya Pulang Bersama Lidya
Haziya sudah berulang kali menyakinkan adiknya kalau dia bisa pulang sendirian saja, tetapi masih tidak diperbolehkan. Lidya bahkan menghubungi kedua orang tua mereka untuk menceritakan masalah Shabir kemarin.  Bu Laela tidak pikir panjang mengatakan akan menjemput Haziya ke Lhokseumawe sekarang juga bersama suaminya. "Mak, enggak usah. Adik gimana?" "Dia biar sama Wawak yang jagain. Sekalian mamak dan ayah mau jalan-jalan juga, kan?" Haziya khawatir jika ibu dan ayahnya harus melakukan perjalanan yang jauh. Namun, jika dia memilih Lidya yang mengantarkannya pulang nanti sang adik harus balik sendiri ke kota ini untuk menuntut ilmu. Serba salah.  Haziya merasa selalu menyusahkan orang lain, padahal usianya sudah dewasa. Karena alasan inilah dia tidak mau memberitahukan dulu kepada ibu dan ayah soal Shabir supaya mereka tidak terlalu cemas, apalagi sampai berencana menje
Baca selengkapnya
Zaweel Dilarang Pulang Ke Aceh
Zaweel membawa pulang kue kesukaan mamanya. Dia tahu kalau Monika masih kecewa karena penolakan pertunangan semalam. Bahkan mamanya tidak menyapanya tadi pagi di meja makan.  "Assalamualaikum, Mama!" salam Zaweel memasuki rumah lalu berjalan mendekati sang mama yang sedang menyiapkan makan malam.  "Waalaikumsalam," jawab mama tanpa menoleh pada putranya. "Ma, ini aku beli kue kesukaan mama." Zaweel menyodorkan sekotak kue terang bulan isi keju dan cokelat manis.  "Letak di sana saja, meja sudah penuh," titah Monika seraya menunjuk pantry. Biasanya Monika akan tersenyum senang menerima pemberian Zaweel, tetapi karena masih marah dia menyembunyikan kegembiraannya.  "Mama masih marah ya? Kalau aku beli sekalian gerobaknya mama mau enggak maafin Zaweel?"  Dengan wajah polos dan dipasang sendu, Zaweel menatap mamanya lekat. 
Baca selengkapnya
Haziya Pulang Tanpa Gangguan Shabir
  Lidya membelok sepeda motor mereka ke salah satu warung di pinggir jalan ketika langit mendung pekat terlihat, bahkan rintik-rintik hujan mulai bertandang. Jika dipaksakan melanjutkan perjalanan maka mereka akan kebasahan, meskipun membawa mantel, tetap saja perjalanan masih jauh akan berbahaya karena jalanan licin. "Kak mau pesan cane durian?" tanya Lidya setelah duduk di salah satu kursi, mereka duduk bersebelahan sedangkan Hanif duduk di meja seberang. Salah satu kuliner di Kota Bireuen terkenal dengan makanan manis bernama cane durian. Warung kopi berjejeran di simpang. "Teh hangat saja," ujar Haziya menyebutkan nama minuman. "Baik. Abang Hanif mau pesan apa?" "Abang samaan saja dengan kalian, biar Abang yang pesanin, kamu duduk saja," kata Hanif memberi isyarat untuk Lidya tidak bangun dari kursi. "Baik, Bang." Haziya bersyukur selama perjalanan tadi tidak ada gangguan dari Shabir. Dia berdoa dalam hati semo
Baca selengkapnya
Tamu Tak Diundang
Lidya terpaksa harus kembali ke Lhokseumawe lagi sehari setelahnya. Haziya tidak ingin adiknya ketinggalan mata kuliah. Dia juga tidak mempermasalahkan jika Lidya tidak bisa hadir di persidangan keputusan nanti. "Doakan saja Kakak, Dik. Kamu belajar yang rajin di sana, ya," pesan Haziya sebelum Lidya berangkat ke Lhokseumawe."Iya, Kak. Kabarin aku ya perkembangannya. Semoga dimudahkan dan Kakak bisa memulai hidup bahagia dengan baik.""Aamiin."Haziya memasukkan baju-baju ke dalam lemari setelah menyetrikanya. Dia berniat untuk istirahat sebentar sebelum masuk waktu shalat ashar.  Namun, baru saja dia memejamkan mata, ponsel di atas nakas berdering yang menunjukkan nomor tak dikenal. Dia ragu mengangkatnya, karena khawatir jika panggilan tersebut dari Shabir, atau Vina.  Haziya tidak mengangkatnya, tetapi penelepon tidak putus asa meskipun telah diabaikan hingga ke dua kali. Pada panggilan ke tiga
Baca selengkapnya
Bu Karni Mengundang Haziya
 Bu Karni memandang mereka dengan senyum menyeringai, begitu juga dengan Vina di sebelahnya.  Mengapa mereka datang ke sini? Suami Bu Laela sedang di luar, sedangkan Adil masih kecil tidak mungkin bisa kuat mengusir keduanya dari rumah. Bu Laela sendiri tidak mau membuat keributan yang menarik perhatian dari tetangga jika dia mengusir mereka. "Ada apa?" ketus Bu Laela di tempatnya.    "Bu, kita duduk dulu yuk!" ajak Haziya. Dia bisa memahami ketidaksukaan Ibunya pada kehadiran Bu Karni, mantan besannya setelah perlakuan mereka terhadap Haziya selama ini. Namun, bagaimanapun mereka harus menghormati dan menghargai tamu. "Ibu, sebentar ya aku ambilkan minum," tawar Haziya seraya membuat air untuk Bu Karni juga Vina. Sebagai tuan rumah dia harus menyajikan setidaknya minuman pada mereka, meskipun tamu tak diundang.&nbs
Baca selengkapnya
Larangan Ayah Haziya
Bu Laela berdiri di depan kompor, suasana hatinya berubah tidak karuan disebabkan kedatangan tamu tadi. Bahkan tadi dia sangat bersemangat untuk memasak rebung kala merah. "Bu, biar aku saja yang masak. Ibu istirahat saja ke kamar!" saran Haziya meminta Bu Laela untuk tidak memaksakan diri memasak dalam keadaan tidak konsentrasi."Enggak apa-apa, Ibu bisa lanjutin. Kamu datang?" tanya Bu Laela seraya membuka penutup panci, memasukkan bumbu yang sudah dihaluskan untuk merebus ayam. "Sekarang aku kembali harus dapat izin dari ayah dan ibu kalau mau ke mana saja, Bu. Jadi, aku bakal patuhi semua kata Ibu. Ibu jangan resah, aku enggak bakal datang tanpa izin dari kalian." Haziya tersenyum hangat memberikan ketenangan pada perempuan yang begitu disayanginya itu."Assalamualaikum, Bu!" Ayah Haziya masuk tergesa-gesa setelah mengucapkan salam. Dia langsung menuju dapur karena mencium aroma harum dari masakan yang sedang dimasak."Waalaikumsala
Baca selengkapnya
Sebelumnya
12345
DMCA.com Protection Status