Semua Bab PENDEKAR TAPAK DEWA: Bab 111 - Bab 120
151 Bab
PART 111
Akan tetapi, ketika ratusan prajurit laut sudah turun ke  sekoci-sekoci di kedua sisi kapal-kapal mereka, tiba-tiba dentuman meriam terdengar menggelegar dan beruntun. Peluru-peluru besar sebesar tempurung kelapa itu langsung menghantam keempat kapal secara bertubi-tubi dan membuat dinding kapal besar yang lumayan besar itu bobol bolong di mana-mana. Tetapi kapal yang tengah yang ditumpangi oleh sang perwira pemimpin tak mendapat serangan.       Seluruh pasukan laut Belanda yang sama sekali tak menduga mendapat sambutan yang seolah-olah tak masuk akal itu, teramat kaget dan panik. Keadaan huru hara pun terjadi. Mereka yang belum melakukan persiapan sama sekali menjadi kalang-kabut. Lebih-lebih serangan meriam itu disusul oleh suara senapan yang bagai petasan renteng. Segenap prajurit laut langsung merunduk di perut sekoci-sekoci yang mereka tumpangi untuk melindungi diri mereka dari terjangan pelor-pelor itu. Sebagian besar langsung menerjunkan
Baca selengkapnya
PART 112
         Peristiwa tertawannya hampir seribu serdadu laut Kerajaan Belanda oleh angkatan perang Tanaru itu menjadi berita yang menggemparkan seantero Kerajaan Bima hingga ke kerajaan-kerajaan lain di sekitarnya.      “Semua itu tentu tak lepas dari kehebatan pemimpin mereka dalam mengatur siasat. Di Tanaru terdapat dua benteng yang sangat kokoh, yaitu Ndai Galara sendiri yang merupakan panglima perangnya dan gurunya yang merupakan mantan jenderal perang sebuah kekaisaran di Dataran Sinae yang menjadi pengatur siasatnya. Latihan perang yang mereka lakukan selama ini akhirnya terlihat hasilnya,”ucap Sangaji Mbojo dengan penuh rasa bangga di hadapan para pembesar kerajaannya. “Aku harap, peristiwa itu menjadi sebuah pelajaran bagi kita selaku sebuah kerajaan untuk tetap waspada dan mempersiapkan diri. Saya ingin, latihan perang angkatan perang kita h
Baca selengkapnya
PART 113
 Galara Mudu sangat haru mendengar kesungguhan hati dari para serdadu tawanan itu, lalu kemudian berkata, “Baiklah, saya menghormati keputusan kalian, seperti saya menghormati kalian selama kalian berada di desa ini. Jika memang kalian ingin bergabung dan melatih pajuri baru, saya persilakan...!”      Para wakil serdadu tawanan tak mampu menutupi rasa gembira di wajah mereka. Mereka ternyata sudah membicarakan tentang predikat pahit yang mereka terima kelak jika mereka menolak untuk kembali ke Celebes. Mereka akan akan dikutuk oleh bangsanya karena dianggap sebagai serdadu-serdadu desertie (pembangkang). Namun bagi mereka, predikat itu jauh lebih baik daripada mereka disebut sebagai penjajah dan membunuh rakyat yang tak berdosa di kemudian hari!       Sepekan kemudian, datang utusan dari Sangaji Mbojo yang memberi kabar, bahwa ada hampir sepuluh kapal dari Celebes dan beberapa
Baca selengkapnya
PART 114
         Tiga hari berselang, datang laporan dari Kerajaan Mbojo bahwa ada sekitar lima kapal perang Kompeni Belanda dari arah Celebes dan dua kapal penyokong dari arah barat. Kemungkin dari wilayah komando Lombok atau Bali.       Mendapat laporan itu, Galara Mudu dan Dato Hongli segera melakukan koordinasi dengan berbagai pimpinan pasukan di berbagai bagian (divisi). Tiap-tiap bagian langsung mengatur posisi mereka masing-masing.      Di luar dugaan, sehari sebelum pasukan penyerbu itu mencapai dataran bagian timur Pulau Sumbawa, pasukan sukarela dari berbagai desa datang dari berbagai desa di wilayah Kerajaan Mbojo berdatangan ke wilayah Tanaru. Jumlah mereka ada ribuan dengan menunggang kuda mereka. Mereka adalah para pemuda dan laki-laki tangguh yang terbiasa dalam berburu, terlihat dengan senjata panah dan tombak yang mereka bawa. 
Baca selengkapnya
PART 115
       Galara Mudu lalu menoleh kepada Kangjian, sang panglima pasukan berbedil. “Tolong panggilkan Markus, Aldert, atau Timo ke mari.”       “Baik, Galara...!”       Tiga nama yang disebutkan oleh Galara Mudu adalah pemimpin tiga serdadu Kompeni Belanda yang ditawan yang menyatakan diri ingin berjuang bersama rakyat Tanaru.       Karena ketiga serdadu tawanan itu hanya tinggal di Uma Naru yang tak jauh dari Uma Na’e, tak lama kemudian mereka sudah muncul.       “Galara memanggil kami?”       “Iya, Aldert, silakan duduk. Bagaimana keadaan kalian?”       “Iya, terima kasih, kami baik-baik saja, Galara,” sahut Aldert sembari meletakkan pantatnya di kursi kayu ukir nyang diikut
Baca selengkapnya
PART 116
       Subuh itu mesjid tampak sepi, karena para laki-laki telah berada di garis depan medan pertempuran dan mereka akan melaksanakan sholat subuh secara bergantian di daerah pengintaian. Sementara kaum wanitanya memang diperintahkan untuk tetap menunggu dan sholat di rumah saja. Yang ada dalam mesjid hanyalah marbot mesjid yang berusia sudah 60-an tahun yang bernama Ama La Sanggiu.      Melihat kehadiran Galara Mudu, Ama La Sanggiu langsung menggelarkan tikar sembahyang yang terbuat dari daun pandan. Ia menunggu sampai sang pemimpinnya itu untuk sholat sunat tahiyatul mesjid baru ia melantunkan iqomah.       Seperti biasa, yang bertindak sebagai imam sholat adalah Galara Mudu. Subuh itu pun sang galara memimpin sholat dengan hanya bermakmumkan Ama La Sanggiu.       Setelah selesai sholat subuh, Galara Mudu alias Pendekar Tapak Dewa tidak langsung bangkit
Baca selengkapnya
PART 117
    Hebatnya lagi, serdadu Kompeni Belanda yang berjumlah lumayan besar itu kemudian tak dianggap sebagai tawanan oleh pemimpin Tanaru, Galara Mudu. Atas nasihat guru sekaligus mertuanya, Dato Hongli, para serdadu itu dianggap sebagai tamu dan diperlakukan sebagai tamu. Hanya saja senjata mereka berupa bedil dan pedang disita dahulu untuk sementara. Kapal-kapal mereka yang dilabuhkan di pelabuhan kecil di pesisir utara pun dipindahkan ke Pelabuhan Wadu Mbolo.        Para serdadu itu sebagian ditempatkan bersama para serdadu tawanan terdahulu di kedua Uma Naru, sebagian lain ditempatkan di beberapa tenda, dan yang luka-luka yang berjumlah hampir seratus orang di rawat di beranda Uma Na’e. Pokoknya mereka seluruhnya dijamin secara baik dan beradab sebagai layaknya tamu.       Hanya saja memang, Kapitan Almos dan Sergeant Ruben mendapat perlakuan agak istimewa oleh
Baca selengkapnya
PART 118
Beberapa hari kemudian, seluruh pasukan penyerbu dari Celebes dan Bali dipulangkan dalam keadaan semuanya baik-baik saja. Bahkan mereka diantar beramai-ramai oleh segenap rakyat Tanaru di Pelabuhan Wadu Mbolo. Yang paling berat meninggalkan Tanaru adalah Kapitan Almos dan Sergeant Ruben. Namun mereka berjanji, suatu saat mereka akan kembali lagi ke Tanaru, dan ingin belajar banyak hal dari Galara Mudu dan Dato Hongli. Bagi kedua tokok kompeni itu, Galara Mudu sudah mereka anggap sebagai dewa penyelamat bagi hidup mereka, dan mereka harus memuliakannya.        Sementara itu, serdadu tawanan yang terdahulu yang berjumlah seratusan orang, hampir separonya menolak untuk kembali ke Celebes, karena sebagian sudah merasa Tanaru dan rakyat Tanaru adalah kampung halaman dan keluarga besarnya.  Bahkan sebagian besar dari mereka sudah memiliki kekasihnya masing-masing, dan mereka sangat mencintai satu sama lainnya. Mereka rela jika bangsanya meng
Baca selengkapnya
PART 119
               Kehadiran mereka berdua dalam warung makan itu langsung menjadi perhatian dari semua pelanggan warung. Antara satu sama lain mendekatkan kepala mereka dan membisikkan sesuatu. Entah apa yang mereka katakan. Namun dari ekspresi wajah yang tampak, mereka sedang merasa aneh. Aneh pada penampilan La Mudu dan laki-laki yang menyertainya, Satra. Satu orang berpenampilan kumal dan seorang lagi berpenampilan seperti laki-laki Jazirah Arab yang bersih dan berwibawa.       Baik La Mudu dan Satra merasakan pandangan heran dari orang-orang itu, tetapi keduanya tetap bersikap tenang dan seolah-olah tak tahu saja. Keduanya mengambil sebuah meja yang agak di pojok kanan depan ruangan.      Seorang laki-laki muda pelayan datang menghampiri dan menanyakan makanan yang hendak dipesan.      “Apa saja lauknya?”
Baca selengkapnya
PART 120
        Rumah Satra berada di sebuah perkampungan yang terletak di pinggiran kota raja Ayutthaya yang bernama Chang Tay. Dilihat dari kondisi rumah-rumah di perkampungan tersebut yang terlihat kumuh, mayoritas penduduk di perkampungan itu tentulah hidup di bawah garis kemiskinan. Penampilan mereka pun terlihat sama kumuhnya dengan kondisi perkampungan mereka. Tak jarang La Mudu dan Satra berpapasan dengan para laki-laki kurus yang memikul air atau yang sedang beristirahat di pinggiran jalan. Menurut Satra, mereka mengambil air untuk keperluan sehari-hari cukup jauh di luar desa. Yaitu di sumur-sumur dangkal yang digali di aliran sungai yang telah mengering.        “Kemarau tiga tahun yang melanda telah membuat sebagian negeri ini mengalami kekeringan parah, Syeh Mudu,” cerita Satra sambil terus melangkah. “Hanya orang-orang yang mampu saja di kota in
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
1011121314
...
16
DMCA.com Protection Status