Semua Bab Turun Ranjang: Bab 11 - Bab 20
28 Bab
Bab 11
Aku masih terus menangis. Bang Dion pasti bohong, dia bicara seperti itu agar aku tidak terus bertanya tentang siapa wanita yang dicintainya dan membuat kak sarah menderita. Buku harian kak sarah. Jawabannya pasti ada di sana. Selama ini aku belum selesai membacanya. Segera aku ke kamar dan langsung membuka pintu lemari, mencari buku bersampul merah marun. Lembar demi lembar aku baca buku bertuliskan tulisan tangan Kak Sarah. Kali ini aku lebih teliti mencari nama perempuan yang dicinta oleh Bang Dion. Mataku tertuju pada sebuah kalimat. Dengan jelas namaku tertera di situ. *Aku tahu mas, kamu selalu mencintai Safira, adikku* Tangisanku kembali pecah. Tubuh lunglai dan langsung ambruk ke lantai. Ingin aku berteriak sekencang-kencangnya melepaskan rasa bersalah ini. Selama ini aku adalah orang yang dicintai oleh Bang Dion dan penyebab Kak
Baca selengkapnya
Bab 12
Aku terbangun begitu mendengar suara ayam berkokok. Berada di rumah memang yang paling nyaman setelah beberapa bulan mengurus si kembar. Semalam Haikal mengantarkan aku ke rumah ini. Abah dan umi sedikit bingung karena aku pulang dengan Haikal. Mereka tidak banyak bertanya dan langsung menyuruhku istirahat. "Fir, kamu sudah bangun?" tanya ibu sambil mengetuk pintu. "Sudah, Umi," jawabku. Pintu kamar terbuka dan Umi langsung masuk ke dalam. Beliau langsung menghampiriku yang sedang duduk di tepi ranjang. "Fir, ada apa? Tidak baik seorang istri meninggalkan rumah suaminya karena habis bertengkar." Tangisku kembali tumpah. Aku menceritakan segalanya kepada Umi. Beliau menyuruhku bersabar dan sepertinya Umi sudah tahu hal ini. "Sarah pernah bilang tentang ini, tapi Umi pikir itu hanya perasaannya saja. Ternyata ..
Baca selengkapnya
Bab 13
Di rumah sendirian membuatku bosan. Umi sedang pergi ke rumah temannya yang mengadakan acara syukuran. Sementara Abah, seperti biasa pergi dengan Haikal mengurus ternaknya. Aku hanya bisa bermalas-malasan saja. Menikmati kesendirian ini. Biasanya jika di rumah Kak Sarah, jam segini mengantar si kembar sekolah dan menunggunya. Aku rindu mereka dan rindu Bang Dion. Ah, kubuang jauh-jauh rasa rindu yang tidak tepat itu. Lebih baik memasak saja untuk Abah. Baru saja beranjak dari kamar terdengar suara orang mengucapkan salam. "Assalamualaikum." Suara yang begitu aku rindukan. "Waalaikumsalam," ucapku membuka pintu. Dua orang anak berwajah serupa langsung memelukku. Mereka menangis karena aku yang tidak pulang ke rumah. Aku balik memeluknya erat mencoba menenangkan mereka berdua. "Tante, ayo pulang," ucap Zayn. "Ka
Baca selengkapnya
Bab 14
Berdiri di depan pintu kamar rumah sakit. Berusaha setenang mungkin untuk menemui Bang Dion. Kutarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Semoga saja aku bisa menguasai diri melihat kondisi suami yang baru saja mendapat musibah. Kubuka pintu perlahan dan masuk ke dalam. Bang Dion terbaring di atas ranjang dengan Tangan dan dibalut perban. Wajahnya juga banyak luka. Matanya terpejam. Sepertinya dia tidur. Kupandangi wajah yang penuh luka dan lebam. Entah sebenarnya apa yang terjadi hingga dia bisa kecelakaan. Biasanya Bang Dion orang yang sangat hati-hati. Tiba-tiba saja matanya terbuka dan menatapku. Air mata menetes begitu melihatnya. Seperti biasa dia langsung memalingkan wajahnya. Aku memilih duduk di sofa yang di sediakan. Bersyukur karena Bang Dion baik-baik saja. Jam menunjukkan pukul sebelas malam. Perlahan-lahan mataku terpejam karena mengantuk. Suara benda jatuh membuatku terkeju
Baca selengkapnya
Bab 15
Dingin, bahkan lebih dingin dari sebelumnya. Hubungan rumah tangga macam apa ini. Kami berusaha mesra hanya di depan anak-anak. Selebihnya tidak ada sepatah katapun yang kami ucapkan satu sama lain. Aku akan mengajukan cerai jika tangan Bang Dion telah sembuh. Untuk sekarang berusaha bertahan sebisanya. Seperti biasa setelah mengantar anak-anak ke sekolah aku pulang dan membantu Bang Dion berganti baju. Tangannya masih belum bisa di gerakkan. Dia selalu menolak semua bantuan, tapi sebagai istri yang baik berusaha membantu sebisanya. "Aku bisa sendiri." ucap Bang Dion. "Banyak hal yang tidak bisa dilakukan sendiri bang, apalagi dengan tangan yang seperti itu." "Aku tidak butuh bantuanmu, pergilah." Aku tidak menuruti kata-kata Bang Dion barusan. Tetap membantunya memakai baju. Sepertinya dia bosan terus-terusan mengenakan kemeja. Dia memil
Baca selengkapnya
Haikal Pov
Pov Haikal. Kutatap seorang gadis yang tengah duduk di teras depan rumahnya. Entah aku memanggilnya gadis atau wanita. Sampai detik ini gadis itu masih mengisi hatiku. Dari luar dia terlihat baik-baik saja. Namun, dalam hatinya ada kesedihan. Di wasiatkan oleh sang kakak untuk menikah dengan suaminya setelah meninggal. Mengurus dua orang anak kembar berusia lima tahun bukan tugas yang ringan. Safira, aku menyesal memutuskannya beberapa bulan lalu. Seandainya saja aku mau menuruti keinginannya untuk menikah, mungkin tidak akan seperti ini jadinya. Sekarang aku menyesali keputusanku saat itu. ***** "Mau dibawa kemana hubungan ini?" tanya Safira. "Untuk menikah, jujur saja aku belum siap." "Kenapa?" "Bang Dion." "Ada apa dengan
Baca selengkapnya
Bab 17
Selembar kertas surat dari pengadilan ada di tanganku sekarang. Kuembuskan napas panjang berharap mendapatkan kelegaan dari sana. Haruskah aku datang  untuk sidang perdana perceraianku dengan bang Dion. Atau tidak menghadirinya agar proses ini lebih cepat. "Datanglah," ucap Bang Dion menghampiriku. "Baik." Kami hanya bicara seperlunya. Tidak ada basa-basi atau apapun itu. Bicara singkat dan padat tanpa embel-embel apa-apa. Di hadapan si kembar juga sama saja. Terkadang mereka bertanya kenapa kami. Aku jawab lelah. Ya, lelah dengan hubungan suami istri yang rumit. Setelah menitipkan anak-anak di rumah Umi, aku pergi ke pengadilan agama. Dengan mengendarai taksi online aku menuju lokasi persidangan. Ini yang terbaik untuk kami. Air mata tumpah begitu sampai gedung pengadilan. Haruskah ini berakhir di sini? Tidak ada cara lain untuk mas
Baca selengkapnya
Bab 18
Hari ini aku kembali ke rumah setelah hampir dua Minggu di rumah sakit. Laki-laki tampan tengah menggandeng tanganku sekarang. Sesekali kulirik dia yang selalu peduli padaku. "Hati-hati, Fir. Kamu belum sembuh benar," ucap Bang Dion membantuku berjalan. "Makasih, Bang." Dua orang anak kembar menungguku di pintu masuk. Mereka di larang sang ayah saat ingin memelukku. Tubuhku memang masih sedikit sakit. Aku baru tahu jika waktu menyebrang jalan ke gedung pengadilan tubuh ini tertabrak mobil dan terseret. Dua hari tidak sadarkan diri. Samar aku mengingat hal itu. Aku dan bang Dion memutuskan untuk tidak melanjutkan perceraian kami. Ini adalah akhirnya. Ralat, ini adalah awalnya. Semoga hubungan kami kedepannya jadi lebih baik lagi. Sesuai yang diharapkan oleh Kak Sarah. "Fir, kamu yakin sudah baik-baik saja?" tanya Umi. 
Baca selengkapnya
Bab 19
Entah sudah berapa lama aku tidak liburan. Terakhir ke sini bersama Haikal beberapa bulan lalu. Itupun bukan untuk berlibur. Untuk menumpahkan keluh kesahku. Tadi pagi selepas sarapan kami berkemas untuk berlibur di pantai. Bang Dion menyewa sebuah villa berukuran kecil yang tidak jauh dari pantai. Setibanya di sini sudah sore hari. Maklum perjalanan lumayan jauh dan macet. Suara deburan ombak dan cahaya sinar matahari sore ini membuat indah pemandangan alam. Sebenarnya masih terasa panas karena baru pukul 03: 00, tapi anak-anak sudah berlarian dan bermain pasir. Aku mengejar si kembar untuk memakai tabir surya. Mereka tidak mau menurutiku dan terus berlari. Aku terus mengejar mereka dan tersandung kakiku sendiri. Melihatku yang terjatuh bang Dion dengan sigap membantuku berdiri. Semenjak saat aku tersadar waktu itu dia begitu peduli padaku. Katanya dia tidak ingin aku menjadi Kak Sarah yang ked
Baca selengkapnya
Bab 20
Sinar matahari masuk melalui celah jendela. Aku terlambat bangun karena tidur larut semalam. Tubuhku juga terasa tidak nyaman. Mungkin karena aktivitas yang baru pertama kalinya aku lakukan tadi malam. Kulihat sekeliling tidak tampak Bang Dion. Kemana dia? Kenapa tidak membangunkan aku. Bang Dion keluar dari kamar mandi. Rambutnya basah dan hanya mengenakan handuk yang melilit di pinggang. Kupalingkan wajah darinya yang melihat ke arahku. Canggung rasanya setelah kejadian semalam. "Bunda, ayah, kok belum bangun? Ini udah siang!" teriak Zyan dari balik pintu. "Iya nih, kami jadi kesiangan juga!" teriak Zyona. Bang Dion menyuruhku untuk mandi dan mengajak anak-anak membuat sarapan. Kuturuti perintah bang Dion sambil menahan rasa tidak nyaman pada bagian bawah tubuhku. Teringat hal semalam membuatku tersipu. Selesai mandi aku menghampiri si
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123
DMCA.com Protection Status