Semua Bab Antara Cinta dan Takdir: Bab 11 - Bab 20
41 Bab
Bab 11: Perhatian
Di waktu jam istirahat pertama aku memilih berdiam diri di dalam perpustakaan. Bukan untuk membaca buku, melainkan untuk menjauh dari kerumunan para murid. Tapi beberapa orang yang berada di sini juga tetap berbisik buruk tentang diriku mereka seakan tidak peduli bagaimana perasaanku yang mendengarkannya. Tanganku memegang satu buku, tapi tatapanku justru kosong menatap hamparan buku yang tertata rapi di rak. Kenapa kehidupan sekolahku sangat pahit seperti ini, aku pikir selama ini sudah menjadi murid yang baik. Aku juga tidak berbuat semena-mena pada murid lain.  Namun, kenapa semua orang membenciku hanya karena ibuku seorang pelacur.  Ya, pekerjaan itu memang tidak baik, tapi apa pantas mereka ikut menghakimi aku yang statusnya anak pelacur. Itu pekerjaan ibuku, bukan aku yang melakukannya. Tapi kenapa aku juga ikut dibenci.  Kenapa?  Ini menyakitkan. Aku juga manusia biasa yang akan terluka jika dibenci dan dikucilkan s
Baca selengkapnya
Bab 12: Andre, aku kecewa
Alih-alih membantu kakek Ridin, justru malah aku dan Gentara yang dikejar oleh induk ayam. Kami berlarian ke sana kemari menghindari kejaran ayam yang marah. Sesekali aku tertawa terbahak -bahak karena melihat Gentara sangat ketakutan dan terus membuntuti ku. Katanya, dia tidak ingin bertemu dengan ayam lagi.  Dan disinilah aku dan Gentara melepas penat, disebuah kedai ice cream sederhana bernuansa biru laut. Aku mengajak Gentara untuk mencicipi ice cream,  dia pasti suka.  "Ayo! Coba makan," bujukku pada Gentara yang sejak tadi hanya diam. Matanya menjelajahi setiap sudut ice cream. Seolah-olah makanan itu adalah hal asing baginya.  "Wah! Kenapa makanan ini begitu dingin?"  Gentara menyendok satu suapan, tapi dia meniupnya terlebih dahulu sebelum memakannya. Sontak aku tersenyum geli melihatnya, kenapa harus ditiup?  "Kenapa kau meniupnya? Ice cream itu tidak panas," ujarku sambil tertawa.  "Oh, tapi
Baca selengkapnya
Bab 13: Memeluknya
Aku berjalan tanpa tentu arah masih dengan mengandeng tangan Gentara. Dia hanya diam tanpa berbicara sedikitpun, aku lega karena Gentara tidak bertanya yang aneh-aneh. Jika iya, aku tidak tahu harus bersikap bagaimana, karena perasaan ku sendiri sedang tidak baik.  Namun, aku berhenti ketika merasakan adanya pergerakan di tanganku. Gentara seperti memberi kode agar aku berhenti. "Ana, sampai kapan kita akan berputar-putar di tempat yang sama?"  Mendengar itu aku langsung menoleh ke belakang, sejenak terdiam mengamati sekitar. Oh, apa dari tadi aku dan Gentara hanya mengelilingi tempat yang sama? Pasalnya netra mataku menangkap bangunan yang berbentuk lingkaran, sedangkan ditengah-tengahnya terdapat banyak tanaman.  Tanpa mengatakan apapun, aku langsung berjalan menuju bangku kayu yang tampak kotor. Aku tidak peduli dan langsung mendudukinya. Gentara yang peka juga langsung ikut duduk di samping ku.  Aku mengehela nafas bera
Baca selengkapnya
Bab 14: Pengorbanan
Perlahan aku melangkahkan kaki mendekati Gentara,  dia masih menunduk  dengan tatapan kosong.  Aku yang bingung langsung dikejutkan dengan sesuatu yang kini sedang Gentara cengkram.    Apa aku tidak salah lihat?  Salah satu sayap Gentara rontok.     Entah apa sebabnya, tapi dari raut wajahnya Gentara nampak sedih dan kesakitan. Sekarang aku jadi panik apa ini tanda bahaya?    "Gentara,  apa yang terjadi padamu?  Kenapa sayapnya rontok?"    "Sa-sakit .... " lirihnya sambil memegangi bahu.     Aku terdiam sejenak mencoba untuk  mengikis jarak darinya.  Sebenarnya apa yang terjadi, aku jadi tidak tega melihat Gentara kesakitan seperti ini. Pikiranku kembali pada saat pertama kali aku bertemu dengannya, waktu itu Gentara juga sedang kesakitan.    Sekarang aku harus bagaimana, andai sa
Baca selengkapnya
Bab 15: Sebuah Perbedaan
Hangatnya mentari pagi membuat ku menyunggingkan senyum kecil, mungkin alam semesta juga sedang ikut berbahagia karena hari ini aku berangkat ke sekolah  menggunakan sepatu yang diberikan ibuku.   Dua tahun yang lalu ketika aku sedang duduk di teras kamar, ibuku datang dan membawa sepatu ini dengan riang. Dia sangat antusias karena hari esoknya adalah hari ulang tahunku, katanya dia ingin menjadi orang pertama yang memberikanku hadiah. Saat itu aku sangat bahagia dan bersyukur karena memiliki seorang ibu yang penyayang. Dia rela melakukan apapun untuk kebahagiaan ku,  tetapi sekarang semua itu hanyalah kenangan. Ya! seperti yang kita tau kenangan hanya bisa diingat, tapi kita tidak bisa mengulanginya.  Setibanya di sekolah tadi aku langsung beranjak menuju taman, daripada harus bertatap muka dengan teman-temanku lebih baik aku membaca buku.  Membaca buku bagiku tidak cuk
Baca selengkapnya
Bab 16: Kenapa harus aku
"Maaf terlambat," ucap Biru saat sudah berdiri tepat disamping ku.  "Wah! Kau yang akan mewakili kelas XII IPA 1?" tanyanya, dan aku tau pertanyaan itu pasti ditunjukkan padaku.  Mulutku langsung tertutup dengan cepat, karena sebelumnya aku masih tidak percaya jika Biru akan mengikuti acara ini.  "Em ... Iya. Teman-temanku yang memilih agar aku ikut dan menjadi perwakilan kelas." Jawabku sembari menutup botol dengan gugup.  Tanpa sadar aku meremat botol dengan kuat, aku sangat senang karena bisa bertemu dengan Biru lagi. Dan mungkin saja kami akan terus berjumpa karena berada di kegiatan yang sama. Untuk kali ini aku beruntung bisa mengikuti kegiatan sekolah. Sudah sangat lama aku mengagumi Biru, dan sekarang aku bisa melihatnya dari jarak dekat. Oh Tuhan, hatiku seperti ingin loncat rasanya.  "Itu bagus. Aku senang karena kau mengikuti kegia
Baca selengkapnya
Bab 17: Tepta? Siapa dia
HAku terpaku di tempat mendengar penuturan Biru yang terdengar tidak suka pada kelakuan Gema. Dengan raut wajah yang jengkel Gema melepaskan tangannya dari bahu ku.  "Kenapa? Sepertinya kau tidak suka," ujar Gema. "Bukan begitu, hanya saja dia terlihat tidak nyaman dengan posisi tangan mu." Jawab Biru kembali duduk dengan santai.  Gema berdecih pelan, lalu mengiring ku untuk ikut duduk sambil menunggu perwakilan kelas lain yang belum datang. Aku merasa suasana diruangan ini jadi agak canggung, kenapa Biru sepertinya berubah, ya? "Apa kita mulai sekarang saja rapatnya?" tanya seseorang siswa berkacamata. Aku tidak tahu siapa namanya.  "Boleh, jam istirahat juga sebentar lagi habis."Aku tersenyum kecut padahal saat ini perut ku meronta-ronta karena belum terisi apapun dari pagi. Tahu begini lebih baik aku pergi ke kantin dan makan di sini. 
Baca selengkapnya
Bab 18: Seperti Anak Kecil
Aku terdiam saat ikan itu berenang tepat di depan Gentara. Lalu apa tadi? Aku sempat mendengar dia berguman, jika tidak salah dengar Gentara berujar 'tepta'.  Ikan itu mengembungkan pipinya beberapa kali seakan sedang mengatakan sesuatu pada Gentara. Tapi, apa Gentara paham bahasa ikan?  "Kenapa kau ada di sini,  Tepta? Siapa yang menculikmu."  Aku sedikit tersentak karena Gentara mulai bersikap agresif, dia bahkan mulai memukuli kaca pembatas dengan lumayan keras. Sebenarnya siapa ikan itu kenapa Gentara terlihat sangat marah.  "Gentara, tenanglah. Apa yang terjadi padamu? Itu hanya ikan peliharaan biasa, " ujarku padanya. "Tidak! Tepta itu temanku. Kenapa manusia malah menangkapnya,  huh?"  Dari nada bicaranya aku mengerti jika Gentara sedang marah,  berarti ikan bernama Tepta itu bukan ikan biasa? Dia bahkan masih me
Baca selengkapnya
Bab 19: Dia Kembali Lagi
H Salahkah jika kita mempunyai hati yang gampang luluh? Jujur aku benci mengakuinya. Tapi sekarang aku sedang duduk berhadapan dengan seseorang yang sebelumnya aku sebut tidak baik. Ya, karena Andre meminta waktuku sebentar untuk berbicara mau tidak mau aku harus menurutinya. Aku melakukan ini karena rasa kasihan. Ingat! Kasihan, aku sama sekali tidak berniat untuk memaafkannya begitu saja.  "Kau masih marah ternyata," celetuk Andre saat keheningan menyelimuti kami cukup lama.  "Aku tau kau pasti bosan mendengarnya, tapi aku sungguh minta maaf."  "Setelah hari itu aku menyakiti perasaanmu,  aku merasa seperti orang paling bodoh di dunia. Tapi,  apa kau tau? Aku mengatakan itu secara tidak sadar,  aku tidak bermaksud untuk menuduh mu sebagai  .... " "Maaf, pelacur."  Mataku masih enggan menatap Andre, entah mengapa aku sangat membenci kata i
Baca selengkapnya
Bab 20: Pembunuh misterius
Mataku membola saat mengenali siapa pemilik suara tersebut, dengan cepat tangan ku langsung bergerak untuk membuka pintu yang terkunci.  Tak lama pintu terbuka dan tubuh ku serasa beku karena hembusan angin yang menerpa. Tangan ku ikut bergetar kala melihat seseorang itu sedang meringkuk di lantai.  Andre! Apa yang telah terjadi sampai dia terlihat  kesakitan seperti ini, aku langsung berjongkok dan meraih tubuhnya agar duduk.  "Andre! Apa yang terjadi padamu, kenapa kau hujan hujanan seperti ini." Tanyaku sambil menepuk pipinya pelan, dia seperti hampir tidak sadarkan diri.  Tunggu! Samar samar aku mencium bau yang khas dari tubuhnya. Apa ini? Kenapa bau alkohol jangan-jangan Andre mabuk. Ya Tuhan, berani-beraninya dia menyentuh minuman keras tanpa sepengetahuanku. Jika aku tau, aku pasti sudah melarangnya. Melihat Andre yang hanya berguman tidak jelas m
Baca selengkapnya
Sebelumnya
12345
DMCA.com Protection Status