"Lancang sekali kamu mulai berani mengatur kami! Memangnya kamu itu siapa, hah?" Pak moko berteriak, wajah sangarnya menatap nyalang ke arah Cakra. Membuat semua orang turut terkesiap, seketika menghentikan aktivitas memakannya.
Begitupun Cakra. Ia pikir dengan bertambahnya gelar sebagai pegawai dengan bayaran tetap setiap bulan, akan mengubah cara pandang mertuanya. Namun, masih saja salah. Lalu dengan cara apalagi agar bisa dimanusiakan oleh mereka? Ia membatin. Karena menurutnya, ia menghargai orang lain dengan banyak atau tidak uang yang di punya.
"Kamu masih tetap seperti sebelumnya, mengerjakan semuanya!" Teriak pak moko menyudahi makannya, meletakkan sendok ke atas piring dengan keras. Hingga menimbulkan suara dentingan yang membuat pendengaran berdenging.
Setelah itu, pak moko menghentakkan kaki. Meninggalkan meja makan dengan langkah cepat, menuju kamarnya. Begitupun bu moko, setelah mendengus lirih sambil menatap sinis k
Tiba di tempat parkir khusus untuk motor, ia turun. Dengan disambut guru lain yang juga baru turun dari motornya."Guru baru, pak?" Orang itu menyapa sambil menyalaminya."Benar, pak," Cakra menjawab, sosok di depannya nampak mengernyit. Seperti teringat akan sesuatu."Bapak, yang tadi sama mahasiswi itu, ya?"Cakra pun mengernyit dengan pertanyaan itu, otaknya berputar. Berusaha mengingat, dimana mereka pernah bertemu? Mengapa orang itu tau, bahwa dirinya tadi bersama seorang mahasiswi? Benaknya kini dipenuhi kalimat tanya."Ah, iya Pak. Itu tadi adik saya," Jawab Cakra berkilah. Harapannya, agar yang bertanya itu segera ber oh. Lalu mengajaknya menuju ruangan yang ia sendiri belum tahu tempatnya.Namun, perkiraannya meleset. Orang di depannya masih mengerutkan dahi. Mungkin belum puas dengan jawaban yang ia berikan tadi."Adik. Kok kelihatannya mesra sekali, malah saya pikir, mahasiswi
Awalnya, pak Waluyo mengernyit dengan sikap kaget Cakra. Namun, ia segera menyadari dan berusaha menguasi diri."Menjadi donatur tetap?" Tanya Cakra menyakinkan."Iya. Mendiang pak Sanjaya itu berteman baik dengan saya sejak kami duduk di bangku SMA," Terangnya, yang kemudian membuat Cakra semakin tak percaya."Kenapa, pak? Apa bapak pernah kenal dengan pak Sanjaya?"Cakra sekali lagi terkesiap, tak menyangka dunia akan sesempit ini. Selalu dipertemukan dengan orang-orang yang berhubungan dengan keluarganya."Ah, tidak pak. Saya tidak pernah mengenalinya," Cakra bersuara ragu. Ada getar dari nada suara itu. Namun, untungnya pak Waluyo tidak menangkap hal itu, karena suasana masih riuh oleh para guru yang belum kembali ke ruangannya."Pak Cakra pasti memang belum mengenalnya. Karena, ia dan istrinya telah lama meninggal. Mereka meninggalkan seorang anak kecil belum genap dua tahun,"Men
"Siapa, ya?" Mega bergumam."Nggak tau. Kamu di sini saja, biar aku yang lihat ke sana," Pinta Cakra yang segera di setujui oleh istrinya.Ia segera keluar rumah, melihat dua orang turun dari atas motor besar. Lintang baru pulang, ia diantar laki-laki muda, yang membeliak ketika melihat siapa yang menyambut.Begitu pula Cakra, ia tak habis pikir mengapa pemuda itu bisa kenal dengan Lintang."Anggara?" Ia bergumam, ketika menatap pemuda yang juga tengah menatapnya heran. Tak lama, sosok yang berjalan berdampingan dengan Lintang itu segera mengalahkan pandangan ke sekeliling."Angga, kamu kenal dengan Lintang?" Ia bertanya lagi, ketika mereka telah berada di depannya. Mungkin hendak di ajak masuk ke dalam rumah."Seperti yang mas Cakra lihat. Memangnya kenapa? Aku tidak boleh kenal sama adikmu?" Angga menjawab ketus seperti biasanya.Cakra mendengus, bukan karena tidak boleh kenal dengan
Seseorang berteriak. Membuat semua yang ada di ruang tamu itu serentak menoleh. Bu moko dan putri sulungnya sudah pulang. Mereka pasti sangat terkejut dengan keributan itu. Angga mendengus, tanpa permisi langsung pergi meninggalkan rumah mewah itu. Begitu juga Lintang, ia memilih segera mundur. Karena tau apa yang akan terjadi."Cakra mau membuat ulah, buk," Bima berkata, sungguh di luar dugaan. Sontak saja yang merasa disebut namanya mendongak sambil memelototkan mata."Apa maksudmu, mas?""Diam. Biarkan Bima bicara!" Sanggahan yang diberikan Cakra tadi tak berarti apapun, karena bu moko dengan cepat menyela ucapannya. Lelaki yang masih berseragam itu memilih diam, ia menjadi penasaran dengan apa yang akan di ceritakan oleh Bima.Sementara, Bima. Merasa jadi pemenangnya, ia lantas menyunggingkan senyuman miring ke arah Cakra."Saya tadi bermaksud melerai mereka. Cakra sepertinya kurang suka, jika sepupun
L"Apa hukuman dari bapak?" Tanya Mega."Aku harus di dalam rumah selama satu minggu, mengerjakan pekerjaan rumah layaknya pembantu rumah tangga,"Ia hendak melanjutkan kalimatnya, tetapi batal karena ada notifikasi pesan masuk di aplikasi Whatsapp-nya.Undangan rapat di hari esok, jam delapan pagi. Ada tambahan dengan menggunakan huruf capslock di bawahnya, mengingat pentingnya acara ini, mohon bapak bisa hadir dan tepat waktu. Begitulah isi pesan dari pak Waluyo, kepala sekolah yang baru saja dikenalnya tadi pagi.Cakra tak membalas pesan itu, sebelah tangannya lagi-lagi memijat pelipis. Dengan menyadarkan kepala di sofa."Ada apa, mas?"Ia merasakan tangan Mega meraih lembut bahunya yang kali ini melorot ke bawah. Tak setegap biasanya, yang sering dijadikan tempat bersandar oleh Mega. Kala mereka hanya berdua saja di dalam kamar.Cakra tak menjawab, ia hanya menyodorkan gawai ke depan sang
Hening. Tak ada yang menyahut, baik mentari ataupun yang lain. Entah semua itu telah direncanakan atau tidak. Malam ini mereka seperti bersatu untuk saling memojokkan Cakra."Jawab, Mbak! Kenapa cuma diam?"Wanita itu terlihat melirik sekilas ke arah Cakra, dari sorot matanya mulai menampakan keraguan. Cakra berhembus lirih, penuh kelegaan. Setelah ini ia akan melanjutkan kalimatnya untuk membantai Bima yang sombong itu.Bima tersenyum sinis, ia kembali berkata, "bapak lihat sendiri, kan? Siapa sebenarnya yang memutar balikkan fakta?" Tanyanya diarahkan pada pak moko yang masih bingung menentukan sikap itu.Cakra sekali lagi mendengus kesal. Tak menyangka, sepintar itu Bima memainkan ucapan. Pantas saja jika selama ini dialah yang menjadi menantu kesayangan di rumah sebesar ini. Pantas saja, orang macam Cakra, yang lugu dan apa adanya itu selalu dipandang sebelah mata."Sudah, sudah!" Pak moko melerai.&nb
Ia tiba di rumah, suasananya masih sangat sepi. Belum ada siapapun yang pulang, karena rumah akan kembali riuh ketika hari menjelang senja.Cakra tiba di dalam kamar, di sana Mega berbaring diatas ranjang. Meringkuk memeluk guling membelakangi pintu. Ia berfikir istrinya itu tertidur, langkahnya berlanjut menuju tempat tas dan jaket untuk melepasnya. Setelah berganti pakaian dengan yang lebih santai, ia baru mendekati Mega di sana.Ia meraih lembut bahu ramping itu, matanya menyipit ketika merasa yang dipegang itu bergetar."Mega?""Kamu jahat!"Lirih Mega tanpa bergerak, membuat Cakra semakin menyipit, mendengar suara parau itu."Kamu mimpi?" Tanyanya lagi tanpa rasa bersalah. Memang ia tidak tau apapun, kan? Namun, bukannya menjawab, getaran di bahu itu semakin kencang. Hingga terdengar deru nafas tak beraturan."Kamu jahat, mas!" Suaranya lagi."Hey, kamu kenapa, sih?"
"Bagaimana rasanya di sini?" Cakra membelah kesunyian di pantai sore itu."Agak lebih baik," Kata perempuan itu, duduk memeluk lutut. Mengarahkan pandangannya ke depan sana, ke arah surya yang semakin rendah saja. Seperti hendak menuju ke dalam air laut.Cakra tersenyum, ia mulai mengerti bagaimana memperlakukan perempuan sedang dilanda emosi. Kedua tangannya lantas melingkari pinggang Mega dari belakang. Menyandarkan ragu di atas pundak sang istri. Awalnya Mega terlihat menolak, tapi ia diam saja."Kalau seperti ini, bagaimana?" Sengaja Cakra menggosokkan pelan pada pundak yang masih bergeming itu."Mega, aku cinta sama kamu," Bisiknya, tepat di depan telinga Mega. Perlahan, ia mengurai pelukan, lalu bergerak ke depan wajah sang istri. Membingkai sepasang pipi yang sudah bersemu merah, entah sejak kapan."Kamu mau kan, memaafkan aku?"Perempuan itu masih bergeming dan menundukkan wajah. "Mau