Semua Bab FIRST NIGHT WITH THE DEMON: Bab 11 - Bab 20
26 Bab
Bab 1 1 Langit Biru
"Tidak mungkin Kara pemiliknya. Dia tidak pernah kuliah atau ...." Perkataan Bu Zunaira berjeda. "Sekolah fashion. Dia hanya buruh pabrik." "Iya, Ma. Tidak mungkin," timpal Nita bersungut-sungut. "Sebaiknya kita pergi saja, cari butik lain." "Aku tidak mau, sudah jauh-jauh ke sini. Satu jam perjalanan. Melelahkan. Sebenarnya kalian ada masalah apa dengan pemilik butik?" Perempuan berambut lurus itu menolak. "Mbak Rosana, kami--" Nita sepertinya kesulitan menjelaskan situasi yang pernah terjadi. Aku menikmati kebingungan yang tampak terlihat di wajah Bu Zunaira dan Nita. Sementara Pram meletakkan sikunya dimeja, menopang dagunya dengan tangan, dia juga mengamati tiga perempuan di hadapan kami. "Aku tetap ingin beli baju buatan Miss Kara." Rosana ngeyel. Aku hampir tertawa mendengar sebutan Miss. "Andreas tidak akan suka, Ros. Suamimu bisa ma
Baca selengkapnya
Bab 12 Malam yang Hitam
"Maaf, ya, Dora, Hesti. Kalian pulang terlambat," ucapku. Dua hari lagi aku ikut event fashion show terbesar. Untuk meningkatkan omset penjualan dan merupakan media yang efektif bagi labelku. Jadi, memerlukan persiapan yang matang."Saya permisi. Aku duluan, ya, Dora." Hesti keluar butik sementara Dora masih membereskan berkas-berkas.Aku kemudian mengecek Langit lewat panggilan video--yang dalam pengasuhan Bu Hayu. Perempuan itu menjaga Langit ketika aku bekerja pada siang hari. Kadang aku membawa Langit ke butik. Bayi berusia dua bulan itu membuat hatiku berbunga tiap hari."Langit sedang tidur." Bu Hayu memberitahu. Dia mengarahkan ponsel pada boks bayi. Terlihat Langit terlelap."Baiklah." Aku menutup panggilan video."Pak Pram datang, Mbak Kara," ujar Dora.Aku mendongak, dari kaca jendela butik aku melihat Pram turun dari taksi. Dia menyandang tas gitar pada bahu. Me
Baca selengkapnya
Bab 13 Mawar dan Lili
Aku memandangi korek lalu pada Pram. "Ba-bagaimana kalau ada orang di dalam rumah Andreas? Aku tidak ingin membunuh orang, Pram."Walaupun aku ingin sekali Andreas mati, namun tangan ini tidak ingin berlumuran darah. Ada Langit yang telah menjadi muara hidup. Akan tetapi aku akan membuat mereka menderita. Sangat menderita."Tidak ada orang di dalam rumah," sahut Pram sembari memasukkan kedua tangannya di saku jaket. "Semua cctv sudah dirusak."Seorang lelaki berseragam satpam, muncul dari balik pagar rumah. "Pak Pram, sudah aman. Dua orang pembantu sudah saya suruh keluar tadi sore," ucapnya."Datanglah kalian ke alamat yang aku kirim lewat pesan. Kalian bisa mendapatkan pekerjaan di sana," kata Pram. "Dan kamu, jika tidak bisa tutup mulut. Kamu tahu akibatnya, kan?""Saya tahu, Pak Pram. Saya tidak mungkin mengkhianati Anda." Lelaki itu kemudian berlalu pergi dengan motor."Semenjak menikah Andreas tinggal di rumah istrinya. Ay
Baca selengkapnya
Bab 14 Bersimpuh
Nita tampak biasa setelah kejadian tiga hari yang lalu. Aku tidak tahu apa kebakaran itu mempengaruhinya atau tidak. Setelah memesan kopi, Nita keluar dari kafe."Selamat siang, Mbak Kara." Seorang perempuan berambut pendek menyapaku. Dia duduk di kursi seberang. "Saya Laura dari majalah Woman. Senang bertemu dengan Anda."Laura mengeluarkan buku kecil, pulpen, dan alat perekam. Sebuah kamera dia letakkan di atas meja."Mau pesan kopi dulu?" tawarku."Boleh, Mbak. Latte," sahut Laura."Aku kopi hitam tanpa gula."Aku dan Laura sama-sama melihat ke sumber suara. "Pak Rein, silakan duduk. Mbak Kara, beliau pemilik majalah. Ingin melihat secara langsung wawancara dengan Mbak Kara," jelas Laura.Rein duduk di samping Laura. Melepas kacamata hitamnya. "Kita berjumpa lagi, Kara."Aku tersenyum. "Iya." Hanya itu yang keluar dari bibirku."Jadwal sesi pemotretan minggu depan," ucap Rein. "Bagaimana? Karena kamu soso
Baca selengkapnya
Bab 15 Perasaan
"Aku mohon, Kara." Bu Zunaira menggosok-gosok kedua telapak tangannya. "Tolong.""Baiklah." Aku meraih ponselku. "Cepat katakan pada warga aku bukan perempuan murahan! Dan, kau Andreas segera buat klarifikasi dan permintaan maaf."Bu Zunaira tergopoh-gopoh keluar balai desa."Kamu ikuti Bu Zunaira, biar aku yang mengawasi Andreas," suruh Pram.Aku lantas berlari menyusul Bu Zunaira. Perempuan itu berdiri di beranda balai desa."Selamat sore, Bapak Ibu." Bu Zunaira mengambil napas dalam-dalam. "Saya ingin mengatakan kalau saya dan Andreas telah memfitnah Kara. Kara tidak pernah buat status open BO. Andreas yang membuat status. Kara perempuan baik-baik. Kara tidak pernah selingkuh. Saya minta maaf atas kesalahan saya.""Enak saja minta maaf. Gara-gara kamu, kami hampir membunuh Kara! Dasar iblis bermuka malaikat!" teriak Pak Gito."Cabein saja mulutnya!" ser
Baca selengkapnya
Bab 16 Gelisah
Rachel. Gadis berparas manis itu, mematut diri di depan cermin besar. Berputar beberapa kali. Dia sepertinya sangat bahagia. Kali pertama aku mendesain gaun untuk tunangan."Ah, suka sekali. Terima kasih, Mbak Kara," ucapnya. "Sempurna."Gaun tulle biru muda dengan bordir bunga berwarna merah cocok dengan kulit Rachel yang putih dan pucat. Mata ini berpindah pada jam tangan. Aku ada jadwal pemotretan dengan majalah Woman.Dari kemarin siang aku tidak melihat Pram. Mungkin dia masih tidur. Padahal nanti sore dia berjanji akan menemani aku melepas Nita. Kenapa aku jadi bergantung padanya? Kalau dia tidak bisa, aku bisa mengurus Nita sendiri."Dora, aku harus berangkat sekarang. Tolong kamu yang urus butik," ucapku."Baik, Mbak Kara," sahut Dora."Mbak Kara, Sayang!" Miranda masuk butik dengan sapaan yang menurutku lebay."Kesasar?" tanyaku, bercanda
Baca selengkapnya
Bab 17 Lupa Menghirup Udara
Pada pagi hari, aku mengetuk pintu apartemen Pram. Dua puluh menit terlewati, dia tidak muncul. Ponselnya pun sudah tidak aktif sedari subuh tadi.Keningku menempel pada pintu. "Pram ...." Aku mengetuk pelan. "Jangan bercanda.""Sepertinya si Pram belum pulang," ujar Bu Janti--tetangga yang apartemennya berhadapan dengan Pram. "Coba cek motornya di tempat parkir." Perempuan itu meneruskan lebih kakinya.Seumur hidup aku belum pernah segelisah ini. Berdentam-dentam rasa tidak berdaya. Aku menarik napas panjang, lalu mengembuskan perlahan. Belum satu hari Pram tanpa kabar. Aku harus tenang.Aku berlalu dari depan pintu apartemen Pram."Aciieee, yang tadi malam, makan bersama. Uhuk," komentar Miranda.Aku memutar badan. Gadis itu sudah rapi dengan setelan kemeja kebesaran warna merah muda dan celana panjang cokelat. "Maksudnya? Makan malam? Kamu dengan Ryan, anak pemilik mini
Baca selengkapnya
Bab 18 Angkasa
POV Angkasa.________________Aku membuka pintu bercat hitam, seorang pria yang berbaring di kasur usang langsung bangun. Rambut dan brewoknya tumbuh tidak beraturan. Tubuh yang dulu kekar, berubah kurus. Dia berdiri dengan kedua tangan bertautan, wajah tertunduk."Aku akan membebaskanmu jika aku sudah menikah dengan Kara," ucapku. "Seandainya aku tidak bisa mendapatkan Kara, maka kau akan membusuk di sini selamanya.""Saya hanya ingin Tuan mendapatkan perempuan yang setara dengan Tuan. Maafkan, saya.""Kamu tidak berhak mengatur hidupku, Burhan. Aku mempercayaimu bukan berarti kamu bisa seenaknya." Aku menepuk bahu Burhan. Tidak yakin dengan alasannya. Tidak bisa dipercaya. Ada orang dibalik Burhan. Bahkan setelah aku siksa, dia masih mengutarakan alasan yang sama."Bagaimana dengan istri anak saya? Mereka pasti mencari saya. Tolong, bebaskan saya. Saya janji tidak akan menggangu Kar
Baca selengkapnya
Bab 19 Benci dan Cinta
"Kara?"Mendengar suaranya, ada lega yang menyeruak. Dia sudah sadar.Tubuhku melorot, bersandar pada langkan balkon. Menahan air mata yang tidak bisa dibendung, terisak pelan. Ada ribuan kata yang ingin aku ucapkan, tetapi tidak bisa keluar. Aku mengembuskan napas perlahan, lalu mematikan ponsel.Aku tidak bisa mendengar suaranya lagi. Ada penolakan, ada gelisah, dan rasa khawatir. Juga rindu yang teramat besar. Rindu pada siapa? Pram atau Angkasa?Kerlipan bintang dan lampu kota yang semarak tidak membuat hati kunjung membaik. Bagaimana kondisinya? Apa dia terluka parah? Lumpuh? Cacat?Aku bangkit, mengusap air mata dengan ujung lengan. Melangkah masuk, mengambil tas dan jaket. Aku ingin melihat kondisinya di rumah sakit."Bu Retno, tolong jaga Langit. Aku ada perlu," ujarku seraya memakai sepatu flat."Bagaimana kalau Andreas masih di sekitar sini, Kara
Baca selengkapnya
Bab 20 Crux
"Bukan benar-benar cinta, tapi benar-benar benci." Aku meralat ucapan Angkasa."Jarak antara cinta dan benci itu tipis, Kara." Angkasa mendekatkan wajahnya. "Seperti jarak kita sekarang."Aku mendorong tubuh Angkasa, lalu keluar mobil. Memegang dada yang terasa panas dan berdebar. Sikapnya mirip Pram. Ah, mereka memang satu tubuh dan pikiran.Angkasa pun turun dari mobil. "Ayo, masuk. Kasihan perutmu, minta diisi."Kami memilih duduk di bagian teras belakang restoran. Cuaca lumayan cerah, karena langit tidak menggila hitam. Ada bintang yang terlukis.Angkasa memesan espresso dingin dan stik saus blackpepper. Aku memilih es lemon tea, kwetiau goreng, pancake dengan topping coklat stroberi."Habis?" tanya Angkasa."Pasti habis." Aku kembali melihat langit. Menghindari tatapan Angkasa, seolah menyerang tanpa henti."Rasi bintang crux ...."
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123
DMCA.com Protection Status