"Ja—jadi Pia sudah meninggal, Nek?""Sebulan setelah kepindahannya kesini, Nak."Mendadak kakiku lemas mendengarnya. Masih jelas sekali di pikiranku, ketika Pia menelepon kemarin. "Kalian sempat mendengar suara Pia?"Aku mengangguk. "Kemarin kami sempat teleponan, Nek.""Serius, Nak?" Nenek itu ikut berjongkok di sebelahku. Kami sudah ada di dekat kuburan Pia. Aku menatap gundukan tanah itu, mengembuskan napas pelan. "Iya, Nek. Serius sekali, saya berbicara dengan Pia kemarin, juga Angga.""Ah, ada dua kemungkinannya, Nak." "Apa itu, Nek?""Nanti saja. Kamu sejak tadi mau berbicara dengan Pia, kan? Silakan. Kamu juga Angga?"Angga mengangguk, dia mengambil posisi jongkok di sebelahku. Sungguh, aku mengira kalau Pia masih hidup. Ternyata, dia sudah—Ah, lalu kemana lagi kami harus mencari semua informasi ini? Awalnya, aku hanya ingin mengandalkan Pia. "Ayolah, Nak. Fokus sekarang. Pikirkan nanti. Nenek sudah punya sesuatu untuk kamu."Aku menoleh ke Nenek itu, mengernyit. Dia men
"Pia cucu Nenek?" tanya Angga terkejut. "Iya. Pia, sahabat Zifa. Dia yang memegang rahasia Zifa."Ini benar-benar kabar gembira. Aku mengambil foto yang ada di tangan Angga. Berusaha mengingat wajah remaja yang mengobrol denganku tadi. "Jadi, Nak. Serius kamu bertemu dengan Pia tadi? Di sana?""Iya, Nek." Aku mengalihkan pandangan. "Tadi Pia bilang—""Nay, kamu udah hubungi Fahri belum? Dia nelponin aku, nanyain kamu terus."Kami menoleh ke pintu. Ada Putri di sana. Dia menatap kami. Buru-buru aku mendekati Putri, mengambil ponsel yang diberikannya. Padahal, aku sudah mematikan ponsel, agar Mas Fahri tidak bertanya yang aneh-aneh. Kalau menurutku, menghubungi Mas Fahri hanya ketika waktu luang saja. Aduh, jangan sampai Putri bilang yang tidak-tidak. "Masih terhubung itu."Aku berdeham, keluar dari kamar sebentar. "Halo, Mas. Tumben nelepon lewat Putri.""Iyalah. Aku telepon kamu gak aktif nomornya. Siapa lagi yang mau aku telepon selain Putri?" tanyanya ketus. Aduh, dari nadany
"Isi kotaknya apa, Bi?" tanya Angga. Dia mendekat ke arahku. "Kayaknya, lumayan berharga, Ngga."Aku membuka tutup kotak itu hati-hati. Kami menatap sebentar isi di dalamnya. "Coba keluarin, Bi." Hanya sebuah buku. Aku mengangguk, mengeluarkan buku itu dari dalam kotak. Ah, buku ini seperti buku harian, tapi terkunci juga."Yah, kok pakai dikunci segala, sih? Pakai kunci kotak itu bisa gak, Bi?" tanya Angga sambil melirik kotak tadi. Tidak usah dicoba juga tidak akan pas. Lubang kunci ini lebih kecil, tidak cocok untuk kunci yang masih menggelantung di kotak. "Nay, udah belum?""Astaga." Aku menoleh ke pintu. "Sabar, Putri. Sebentar lagi aku pasti keluar, jangan kayak gitu terus bisa gak, sih?" tanyaku kesal. "Biasa aja, Nay. Suami kamu ganggu aku terus. Memangnya enak ditelepon beberapa menit sekali?"Aku menghela napas pelan, memasukkan buku itu kembali ke kotak, menguncinya. Kemudian beranjak. Aku akan membawa kotak ini pulang. Bagaimana pun caranya. "Eh? Memangnya Nenek itu
"Gimana mau bilang, kamu aja gak bisa dihubungi terus. Berulang-ulang kayak gitu. Salah sendiri.""Kok jadi nyalahin aku? Awas aja kalau sampai terjadi sesuatu sama hidup kita.""Aku gak mungkin gak ngikutin kemauan Nay. Kalau dia curiga gimana?"Aku semakin penasaran. Apa yang Mas Fahri dan Putri sembunyikan dariku? Apakah sesuatu itu fatal?"Jangan sampai kamu kayak gitu lagi." Mas Fahri beranjak. Buru-buru aku bersembunyi. Suamiku itu masuk ke dalam. Entah kemana sekarang. "Pasti sesuatu ini besar. Mas Fahri mengincar apa, ya?"***"Pokoknya, sekali lagi kamu pergi, apalagi menyelidiki soal anak itu, aku bakalan marah. Kamu gak patuh banget sama perkataanku.""Iya, Mas." Aku menghela napas pelan. "Ingat, Nay. Aku suami kamu. Kamu gak boleh pergi tanpa persetujuan dari aku. Apa pun itu, kalau gak penting dan menyangkut anak itu, aku gak izinin kamu."Aku berdeham. Malas menjawab perkataan Mas Fahri. Mas Fahri akan kembali ke rumah Mamanya. Dia hanya kembali sebentar dan mengecek
"Eh? Mana ada mirip sama aku.""Serius, Put. Coba, deh." Aku berusaha menyamakan foto itu dengan wajah Putri, tapi dia terus-terusan mengelak. Memang benar, foto itu terlihat lebih kusam, agak buram juga. Kurang terlihat wajahnya. Tapi aku yakin. Itu Mas Fahri dan Putri. Saat aku membalik foto itu, ada tanggal di sana. Beberapa tahun yang lalu. Hm. Aku yakin sekali, ini pasti ada hubungannya dengan Putri dan Mas Fahri. "Kamu pegang ini, Ngga. Biar Bibi yang baca duluan.""Oke, Bi."Angga memberikan buku harian itu padaku. Sedangkan aku memberikan fotonya pada Angga. "Coba aku lihat fotonya." Putri membuka suara.Aku dan Angga saling bertatapan. Akhirnya, Angga menggelengkan kepala. Dia sejak awal sudah merasa curiga dengan Putri. Baiklah. Aku mendukung keputusan Angga. Bagaimana pun juga, kami sedang membongkar misteri kematian Zifa, adiknya Angga. "Nanti aja, Put.""Tapi, Nay—""Bi, coba buka, deh, buku hariannya." Angga mengalihkan pembicaraan. Dia masih memegang buku harian
"Kita masuk sekarang, Bi?" tanya Angga sambil menoleh ke aku. Ragu-ragu, aku mengangguk. Membuka pintu kamar Zifa lebih lebar. Kami masuk ke dalam kamar Zifa. Kamarnya terlihat gelap. Aku menelan ludah, berusaha mencari saklar. "Di sini saklarnya, Bi." Lampu akhirnya menyala. Aku menatap ke sekeliling. "Astaga!"Aku berteriak. Ada sekelebat bayangan lewat barusan. Ya ampun, itu cukup mengerikan. "Kenapa, Bi Nay?" tanya Angga pelan. Dia baru saja memeriksa meja belajar Zifa. "Enggak. Gak papa." Sebenarnya, itu bayangan apa? Kenapa mengerikan sekali? Ah, aku mengusap kening, jangan sampai itu bayangan mengganggu kami. Angga menatapku aneh, tapi dia akhirnya mengangguk. "Bi Nay lihat sesuatu, ya, di sini?" tanya Angga pelan. Aku diam sejenak. Beberapa detik, aku menganggukkan kepala. Memang benar, yang aku lihat tadi bukan sembarang sesuatu yabg lewat. Ah, itu menyeramkan. "Lihat apa, Bi?""Ada bayangan hitam lewat, Ngga."Angga menatapku tidak percaya. "Serius, Bi? Di sini
"Kamu dicariin Fahri sampai neleponin aku berkali-kali, Nay. Aku capek balesin dia.""Udah berapa kali aku bilang, gak usah diladenin. Susah dibilangin, sih."Aku meletakkan kotak makanan yang tadi diberikan Angga. Katanya, ini makanan lumayan enak. Kebetulan aku sedang lapar. "Kamu yang susah dibilangin. Gak ngerti lagi sama kamu, Nay."Pandanganku beralih ke Putri. Kenapa dia yang repot, sih? Lagian, Mas Fahri juga pakai reseh menghalangiku untuk membongkar semuanya. Dia seperti takut sesuatu. "Kamu juga kenapa ngeladenin Mas Fahri, Putri? Kan, nomor dia udah aku hapus, bahkan kartu kamu aku potong. Apa lagi biar ketenangan kamu terjaga?" tanyaku kesal. "Cukup soal Zifa, Nay. Kamu gak bakalan berhenti kalau terus kayak gini.""Apaan, sih? Kok jadi kamu ikutan ngelarang aku bahas Zifa?""Aku cuma mau kamu hidup tenang lagi. Tanpa gangguan apa pun. Selama kamu kenal sama Zifa, kamu sering diganggu, kan? Sering ngerasa melihat sesuatu aneh?"Aku diam sejenak. Memang benar kata Putr
"Kita mau kemana sebenarnya?"Aku menoleh ke belakang. Menatap Putri yang terlihat penasaran. Ah, dia pasti sudah bisa menebak, kalau perjalanan kami kali ini masih ada hubungannya dengan kematian Zifa. Tidak ada yang menjawab pertanyaan Zifa. Baik aku dan Angga sama-sama diam. Aku menghela napas pelan, memalingkan wajah. "Bi, coba lihat alamatnya.""Dari penunjuk jalan sih ke kanan, Ngga."Angga mengangguk. Harusnya, kami sudah sampai di alamat rumah yang dimaksud di buku harian milik Pia. Namun, tidak ada rumah sama sekali. Aku dan Angga berpandangan. Ini hanya lapangan saja. Masa kami harus bertanya pada rumput?"Tanya ke tetangga sana aja, kali, ya, Bi."Mobil menuju ke rumah yang cukup dekat dengan alamat ini. Aku sesekali melirik Putri. Kami keluar dari mobil. Tadi saat pertama kali masuk lokasi ini, asing sekali menurutku. Apalagi kami belum pernah masuk ke kawasan ini. Baik aku atau Angga. Entah Putri. "Maaf, Bu. Kami mau tanya alamat ini. Ibu tahu ada di mana?"Wanita p