Semua Bab Ditolak Sopir Miskin : Bab 21 - Bab 30
45 Bab
Hari yang Bahagia
Aku tersenyum kecil membaca suratnya. Ingin mengirim sms atau menelponnya, tapi aku takut ponselku sudah disadap oleh Oma. Aku tahu betul siapa Oma, jika dia mengatakan tidak maka tidak. Kalau saja ada yang menentang akan ada konsenkuensi yang diterima.Aku mencatut diri di depan cermin. Dres panjang polos berwarna biru muda dengan lengan pendek terlihat pas di tubuhku yang tinggi semampai. Rambut kukepang dua, dengan poni di depannya. Apakah aku sudah mirip seperti gadis desa? Karena Fajar pernah berkata, dia suka gadis desa dengan penampilan seperti ini. Kusemprotkan parfum beraroma lembut di leherku, lalu menyemprotkannya pula di tangan.Selesai. Aku duduk di ujung ranjang. Oma pasti bertanya akan kemana aku hari libur seperti ini. Apa aku katakan saja ingin bermain bersama teman-temanku dulu, tapi siapa? Aku menggigit bibir, berpikir alasan apa yang harus kupakai untuk meyakinkan Oma? Tiba-tiba pintu diketuk oleh seseorang.“Masuk!” teriakku.
Baca selengkapnya
Fajar ...
Fajar membingkai wajahku dengan kedua telapak tangan, kemudian merekatkan dahi kami berdua. Hangat hembusan napasnya menyapu wajah. Aku memejamkan mata, meresapi kebersamaan ini. Perlahan di tariknya kepalaku dalam pelukan. “Saya tidak akan ke mana-mana, Nyonya,” jawabnya. Aku menarik kepalaku dari dada bidang itu, kembali menatap wajahnya lamat-lamat.“Apa Oma melakukan sesuatu?” tanyaku hati-hati.Fajar hanya tertawa, kemudian menggelengkan kepala, menggenggam tanganku erat.“Tidak, Nyonya. Semua baik-baik saja, jangan khawatir.”Aku bisa bernapas lega mendengar itu. Ketika azan magrib berkumandang, kami beranjak dan berlarian berdua meninggalkan pantai. Kami mencari mushola terdekat, kemudian ikut shalat berjamaah bersama masyarakat lainnya.Tepat pukul 20.00 malam, kami memutuskan pulang. Aku dan Fajar duduk di pinggir jalan, menunggu kedatangan Pak Sopian. Fajar terus me
Baca selengkapnya
Selamat Tinggal Fajar
Kutarik napas beberapa kali, kemudian mengembuskannya perlahan. Aku berusaha menahan tangis, dengan mengulum bibir. Setelahnya bangkit, dan duduk di ujung ranjang. Kuhapus air mata kasar. Kupejamkan mata lama, dan wajah Fajar seakan membayang di pelupuk mata. Meringis aku sembari menggelengkan kepala. Aku tergugu sampai bahu terguncang, air mata mengalir deras tanpa kuminta. Tiba-tiba aku ingat kotak biru yang diberikannya di hari ulang tahunku.Tergesa, aku bangkit dan membuka lemari. Semua yang ada dalam lemari kuhamburkan keluar, karena aku tak kunjung menemukan kotak itu. Di mana kotak itu? Itu satu-satunya pemberian Fajar untukku. Setelah semua isi lemari keluar dari tempatnya, terlihat kotak kecil itu ada di bagian sudut lemari. Aku tertegun lama menatapnya, kemudian dengan hati bergemuruh mengambilnya. Aku ambruk terduduk di depan lemari dengan kaki membentuk huruf V.Dengan perasaan tak menentu, kubuka kotak itu dengan sangat hati-hati karena takut merusak isinya. Kaca-kaca di
Baca selengkapnya
Bagaikan Langit dan Bumi
Pov : Fajar SuharjhoSiapakah aku yang mengharapkan langit di atas sana? Selamanya, bumi tidak akan pernah bisa bersatu dengan langit! Aku membuang pandangan ke luar jendela mobil yang aku tumpangi. Tidak ada kendaraan umum yang masuk ke desa ini. Selain jelek, jalannya juga sempit. Ini juga hanya sampai di depan gang, tidak masuk ke dalam. Mobil menepi. Aku turun, dan menyerahkan ongkos pada si sopir. "Makasih, Pak," kataku mengulurkan tangan.Sopir itu hanya tersenyum sembari menerima uang dariku. Setelah mobil itu pergi, aku berjalan melewati jalan setapak menuju ke rumah. Rasanya sudah tidak sabar ingin bertemu Ibu. Jadi teringat Nyonya Ratu, saat ia memberitahuku perihal kecurangan Lestari malam itu. Sepulang dari sana, aku langsung meneleponnya. Terisak-isak, Lestari memohon maaf. "Dik, kamu itu sudah Mas anggap sebagai adik Mas sendiri. Kamu, kok, tega bohongi Mas? Kamu harapan satu-satunya Mas. Sekarang kamu malah menusuk Mas dari belakang. Salah Mas apa, Dik?""Hiks, hiks,
Baca selengkapnya
Bertemu Ibu
Sampai di dapur, aku keluar menuju halaman belakang. Masih begitu banyak semak belukarnya. Ibu duduk di kursi roda sembari memberi makan ayam dengan jagung kering yang ditaburkannya ke sembarang arah. Berlarian ayam mendekat ke arah Ibu, dan mematuk makanannya dengan lahap. "Buk'e," panggilku. Saat aku pergi, keadaan Ibu sungguh memprihatinkan. Jangankan bicara, menangis pun ia kesulitan. Namun sekarang, Ibu sudah duduk di kursi roda. Tubuh kurus itu sudah tegap. Ibu setengah menoleh, kemudian membalikkan kursi rodanya. "Le. Ya Allah, Ibu kangen banget," ucapnya dengan mata berkaca-kaca, dan senyum penuh keharuan. Sedikit berlari aku menghampirinya, dan langsung berjongkok guna menyejajarkan diri dengan Ibu. Kugenggam erat jemari yang sudah keriput ini, sembari menciumnya dengan takzim. "Fajar, pulang Bu," ucapku lirih. Ibu menutup mulut dengan sebelah tangan, menahan isakan. Dibelainya lembut kepala ini, kemudian mencium pucuk kepalaku. "Alhamdulillah, anak Ibu pulang," kata Ibu
Baca selengkapnya
Talak
POV: Fajar SuharjhoSetelah makan malam, kurebahkan tubuh di bawah ranjang Ibu dengan membentang tikar tipis sebagai alas. Selama makan, Lestari masih terlihat takut melihatku. Padahal, banyak yang ingin kukatakan padanya. Bukankah si Priyo—ayah dari Dirga—berjanji akan menikahinya jika aku dan Lestari bercerai?Tengah malam, aku terjaga. Aku beringsut duduk, berdiri, dan duduk lagi di sisi ranjang tempat Ibu terlelap. Kupandangi dengan saksama wajah Ibu yang telah menua. Kulit sudah keriput, rambut memutih, dan badan tampak kurus. Lama sekali aku tak memandang wajah ini. Kugenggam tangan, dan sedikit membungkuk untuk mendaratkan ciuman di keningnya. "Ibu, semoga panjang umur. Maaf, Fajar belum bisa membahagiakan Ibu dengan menjadi anak yang membanggakan untuk Ibu dan mengangkat derajat Ibu." Perlahan, aku mulai memijat kaki Ibu yang kurus tinggal tulang. Dengkuran halusnya menandakan bahwa Ibu sudah berada di alam mimpi. Ya Allah, berikanlah kesehatan, dan limpahkan kebahagiaan unt
Baca selengkapnya
Dirga
Siang itu, setelah salat Zuhur, aku bermain ke rumah Pakde. Niatku datang ke sini untuk meminta pekerjaan, kalau saja ia membutuhkan tenagaku. Pakde mempersilakan kami duduk di marungan bambu yang ada di depan rumahnya. Angin semilir menyapu wajah, kami duduk di bawah pohon beringin yang rindang."Jadi, kamu mau cari kerja, Jar, ini ceritanya?" tanya Pak RT kepadaku. Aku hanya tersenyum dengan wajah menunduk. "Pakde cuma bisa kasih kerja kamu di kebun seperti biasa. Tanah Pakde yang di dekat sungai itu kayaknya udah bisa disadap. Mau kamu ngurusin kebon karetnya Pakde?" tanya Pakde sembari menyeruput kopi yang sudah disiapkan sang istri sejak tadi. "Apa saja, Pakde, yang penting halal," sahutku. Pakde satu-satunya harapanku."Yo wes, mulai minggu depan kerja, ya," ucapnya. "Terima kasih banyak, Pakde. Saya pasti akan bekerja dengan giat," kataku penuh semangat. "Ya, harus begitu. Hidup harus semangat lo, Jar!" Pakde menepuk-nepuk bahuku. Kami mengobrol hingga petang. Setelah itu
Baca selengkapnya
Mengembalikan Lestari
“Kamu sudah siap, Lestari?” tanyaku pada Lestari yang duduk di belakang. Aku meminjam sepeda motor Pakde—Astrea 800—ke desa tetangga, untuk mengantarnya pulang. Sedikit kesusahan, Lestari membawa tas besar berisi baju dan menggendong Dirga. “Siap, Mas,” jawabnya.“Mas jalanin motornya, ya!” “Mas, apa ndak apa-apa aku pulang? Nanti kalau Bapak sama Ibu marah, piye?”“Wes, tenang aja, nanti Mas yang ngomong.”Motor melewati jalan kecil yang di dua sisinya sawah membentang luas. Menuju ke desa tempat Lestari tinggal memang harus melewati pesawahan. Udara sejuk dan angin sepoi-sepoi menerpa tubuh kami. Kadang sepeda motor tak seimbang, dan nyaris terjatuh ke dalam pesawahan. Beruntung, aku bisa kembali membuatnya seimbang. Dulu aku sering melewati jalan ini bersama Kamila. Masih memakai seragam putih abu-abu, kami berboncengan naik sepeda. Bahkan tawa bahagia Kamila masih terdengar jelas di telinga ini.Mungkin, jika suatu saat aku ajak Nyonya ke sini, pasti lucu. Secara, ia tidak perna
Baca selengkapnya
Saling Memaafkan
“Bu, Maafkan Lestari. Maaf, Buk’e.” Lestari beringsut turun, dan memegangi kaki Bu Fitri.“Bu, ndak ada salahnya kasih kesempatan sama Lestari sekali lagi. Maaf sebelumnya, karena sekarang saya menetap di desa ini. Saya putuskan menalak Lestari, Bu. Saya rasa, tanggung jawab saya sampai di sini. Saya sudah memenuhi janji saya pada Kamila. Mohon, Ibu bisa membuka hati Ibu,” kataku sembari menenangkan Dirga yang ikut menangis.“Ya Allah, Nak Fajar! Kenapa tidak dijadikan istri yang sebenarnya saja Lestari ini untukmu, Nak? Insyaallah, bersamamu kami percaya,” pinta Ibu sambil mengusap air matanya dengan punggung tangan.“Maaf, Bu, perasaan saya pada Lestari hanya sebatas adik dan kakak. Saya merasa bertanggung jawab terhadapnya karena ia adiknya Kamila, sahabat dekat saya.” Dirga sedikit tenang, setelah kuberikan kunci sepeda motor sebagai mainan. “Meskipun kami berpisah, Dirga tetaplah anak saya, Bu.” Aku duduk di kursi, meletakkan Dirga di sampingku.Bu Fitri memandang Dirga dengan
Baca selengkapnya
Rindu
POV : Author Malam itu, Fajar duduk di balai yang terletak di depan halaman rumahnya seorang diri. Ibunya sudah tidur, setelah isya tadi. Ia memeluk radio tua pemberian Kamila, ketika mereka masih duduk di bangku SMA. Laki-laki itu lega, karena telah mengembalikan Lestari kepada kedua orang tuanya. Fajar tinggal memikirkan hidup, dan ibu yang harus dirawatnya. Perlahan, diputarnya radio sembari mencari sinyal yang hilang timbul. Bersyukur, ada sinyal yang nyangkut. Fajar memejamkan mata, menikmati dinginnya angin malam yang membelai wajah. Entah mengapa, bayangan Ratu seolah terus membayang di pelupuk matanya. Sebuah lagu yang berjudul Bunga dari Bondan Prakoso terdengar enak di telinga. Dengar resapiUcapkan, dan jangan berhentiKarena semua pertanyaan perlahan menghampiriMendekat, dan merusak sistim kerja otak kiriSetiap detik berdetak, menusuk-nusuk di hatiKembali terlihat raut wajahmu di anganTaburan cinta mengikuti semua senyuman Tapi dalam hati ini tak bisa ungkapkanNyal
Baca selengkapnya
Sebelumnya
12345
DMCA.com Protection Status