Semua Bab Pesan Nyasar Dari Sahabatku: Bab 11 - Bab 20
119 Bab
11
KAMU HARUS MENDERITA               “Ih, Riri. Ngomongnya berat banget, sih? Alexa itu masih kecil. Masa udah diomongin kaya gitu?” Nadia protes. Suaranya manja. Wanita bertubuh langsing dengan dada yang menyembul bulat itu langsung melendot di lenganku. Sementara itu, Mas Hendra berhasil menggendong Alexa keluar. Mungkin mereka akan jalan-jalan naik mobil. Terserah saja, aku ogah peduli.              “Nggak usah nempel-nempel! Aku bau bawang. Masih kucel, masih dasteran. Nggak kaya kamu. Udah necis dan kinclong kaya ubin masjid.” Kutepis Nadia. Perempuan itu terlihat bingung menatap. Dia pun tampak mau tak mau melepaskan gamitannya.              “Kamu kenapa, sih, Ri? Hari ini tumben galak banget?” tanyanya dengan suara
Baca selengkapnya
12
KUREKAM BARANG BUKTI               “Mas, santai! Kamu tidak perlu memburu-buruku!” Aku membentak sambil membeliakkan mata. Merasa jengkel sebab dia dengan seenaknya memerintahku. Enak saja! Kalau perlu, si gundik tak perlu diantar ke rumah sakit agar mati saja sekalian.              “Riri! Apa yang ada di otakmu!” Mas Hendra yang mukanya merah dan bersimbah keringat langsut bangkit sambil menggendong tubuh Nadia. Tampak perempuan dengan wajah yang membengkak dan kemerahan tersebut mengeluarkan liur dari mulutnya. Semoga kau mati, Nad! Agar puas hatiku.              “Dasar tak punya hati!” Mas Hendra marah. Dia tergopoh-gopoh dan merampas kunci mobil dari genggamanku.       &nbs
Baca selengkapnya
13
CCTV               “Ri.” Panggilan dari Mas Hendra membuatku yang baru saja memasukan ponsel ke saku daster, sontak menoleh.              Pria itu kelihatan lelah. Pelipisnya basah karena keringat. Napasnya juga tampak terengah.              “Gimana keadaan Nadia?” tanya suamiku sambil mendekat.              “Dia udah mulai sadar. Manggil-manggil mas. Aku nggak tahu mas siapa yang dia maksud,” jawabku tenang. Muka Mas Hendra seketika pucat pasi. Pandangannya langsung tertuju ke tubuh Nadia yang diselimuti hingga bagian atas dada tersebut.              “Mungkin … d
Baca selengkapnya
14
PIN ATM              “Permisi,” sapaku kepada seorang gadis pelayan toko. Perempuan muda dengan rambut panjang sebahu dan wajah cantik itu tersenyum ramah.              “Silakan, Bu. Mau cari apa?” tanya gadis berkaus merah dengan ujung lengan berlis biru tersebut.              Aku sibuk menatap ke sekeliling etalase di belakang perempuan tersebut berdiri. Ragam macam kamera CCTV dijajakan. Aku mendadak bingung, sebab ini adalah kali pertamaku berbelanja kamera pengintai.              “Mbak, saya cari CCTV yang bisa dipasang setersembunyi mungkin. Yang tidak bikin orang curiga dan bisa diakses ke ponsel saya. Bisa, Mbak?”     &n
Baca selengkapnya
15
KURAS HABIS               Hari mulai beranjak gelap. Aku buru-buru membereskan barang apa saja yang harus dibawa ke rumah sakit untuk Nadia. Baju, pakaian dalam, handuk, dan selimut semua kukemaskan. Walaupun malas, aku juga tetap mengemasi pakaian milik Alexa. Anak cerewet nan cengeng itu harus pakai bajunya sendiri saat menginap di rumahku. Aku sudah tak rela bila dia terus-terusan memakai baju milik Carissa. Tidak sudi!              Bukannya aku jahat atau kejam, tapi sabarku sepertinya juga ada batas. Aku hanya wanita biasa. Punya perasaan yang kadang meledak-ledak. Saking lamanya aku baik kepada orang, kebaikan itu malah menjadi bumerang bagiku. Sekarang, saatnya menerapkan kata tega. Ya, walaupun si Alexa masih kecil dna tidak berdosa. Namun, dia harus belajar untuk tidak ngelunjak seperti ibunya. Memangnya, mainan dan b
Baca selengkapnya
16
BAGIAN 16KUGERTAK DIA TANPA GENTAR               Langit menggelap. Semburat benang jingga di ufuk barat perlahan tenggelam ditelan kelam. Waktu-waktu beginilah yang membuatku tak tenang saat berada di luar rumah. Tidak biasa. Seharusnya di waktu Magrib, aku di dalam rumah bersama si cantik Carissa. Bukan malah keluyuran berdaster begini. Dasar Nadia manusia kurang ajar. Bikin beban saja hidupnya! Ditolong pun nyatanya diam-diam menjadi pagar yang makan tanaman.              Dengan perasaan dongkol, aku cepat melangkah masuk ke mobil SUV hitam milik Mas Hendra. Mobil dengan CC besar yang agak boros bahan bakar ini, memang memiliki body yang lebar dan tinggi. Untung saja, meski aku jarang menyopir sendiri, kemahiranku masih bisa diadu. Parkir di tempat yang agak padat pun, aku masih bisa meng-handle.  &
Baca selengkapnya
17
BAGIAN 17SERANG SI KARPET!               “Kamu benar-benar aneh, Ri!” Mas Hendra menatapku jengkel. Pria bertubuh proporsional dengan wajah rupawan tersebut hanya bisa menggelengkan kepala.              Aku tak menjawab. Malas mendebat. Segera saja aku melangkah menuju tempat tidur Nadia dan duduk di kursi samping kiri tubuhnya.              “Nadia,” kataku. Kusentuh lengannya yang tertutup oleh selimut tebal warna cokelat.              Perempuan itu merespon. Perlahan dia mulai membuka kelopak matanya yang masih bengkak. Aku terkesiap. Ternyata, dia sudah sadar. Dia pasti mendengarkan pertengkaran kami barusan. Dasar perempuan licik! &nbs
Baca selengkapnya
18
BAGIAN 18HANCURKAN MENTALNYA           Langkah kakiku menapak ubin dengan penuh percaya diri. Bunyi sandal yang beradu dengan lantai, membuat ruangan yang sunyi sepi ini jadi mencekam. Aku yakin, diam-diam Nadia merasa tak aman saat hanya berduaan begini denganku. Apalagi, sikapku telah berubah sedrastis sekarang.          Kutarik kursi bersi dengan alas dan sandaran empuk berwarna biru tersebut. Terdengar bunyi deritan yang membikin tubuh Nadia bergerak sedikit. Ah, jangan pura-pura kaget kamu, Nad. Aku tahu, kamu tidak tidur sungguhan!          Duduk diriku di atas kursi. Kumajukan kembali letak kursi tersebut. Agar bisa semakin dekat dengan si gundik.          Napas kuhidu perlahan. Tenang, Riri Mustika. Kamu tak boleh kasar maupun gegabah. Bermainlah
Baca selengkapnya
19
BAGIAN 19NAJIS BANGET!           “Candaanmu nggak lucu, Ri!” Nadia mendorong pundakku dengan tangannya yang masih penuh bentol. Mata bengkaknya pun mengeluarkan air lagi. Dia menangis. Dih, sok keras jadi pelakor. Giliran digertak sedikit, sudah nangis. Kamu mau cari simpatiku? Cuih!          “Yee, jangan nangis, dong. Cewek cantik kaya kamu masa nangis, sih? Alis udah cetar, rambut udah badai, masa nangisan. Cup-cup, udah. Nggak usah nangis. Sekarang, kamu mau ngemil? Mau minum susu?” tanyaku membujuknya.          Aku duduk di kursi dan menopang dagu memperhatikan si Nadia. Semoga rupamu ini permanen, Nad. Coba, kita lihat nanti. Apakah suamiku mau bertahan atau tidak?          “Nggak usah!” Nadia ketus. Dia sok jual
Baca selengkapnya
20
BAGIAN 20SOBAT, MAAFKAN AKU           Kakiku gontai menapaki lorong paviliun Cendana. Kubuka pintu yang menghubungkan paviliun dengan jalan menuju tangga. Pintu kaca dengan gorden tebal berwarna hijau itu jadi terasa begitu berat di genggaman. Ah, entah mengapa, setelah marah-marah tadi, aku jadi lemas sendiri. Mungkin, karena memang aku ini bukan tipikal perempuan pemarah. Jarang sekali meledak-ledak.          Di tangga, beberapa orang ramai berlimpasan denganku. Sekarang memang sudah waktunya jam besuk. Wajar saja bila banyak yang datang untuk berkunjung.          Melihat banyaknya orang, aku tiba-tiba jadi merasa insecure. Betapa tidak, penampilanku sudah awut-awut tak keruan. Rambut ini lepek. Badan juga berkeringat. Belum lagi muka yang sudah kucel. Ya Tuhan, sudah seperti gembel penampilanku. Kok, re
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
12
DMCA.com Protection Status