All Chapters of Di Balik Rupa Burukku: Chapter 81 - Chapter 90
263 Chapters
Bab 81
Tak jauh dari mereka, seorang lelaki gagah memakai baju batik lengan panjang pres body tengah memasuki lokasi acara dengan menggandeng gadis cantik yang memakai gaun brokat warna silver, rambut gadis itu di sanggul dengan anak rambut yang menjuntai di dekat telinganya, gadis itu memakai riasan tipis, namun wajah cantiknya bersinar bagai bulan, tak pelak pasangan ini sangat menarik perhatian. Pandangan Nurma nanar menatap gadis yang digandeng Hasan, bukankah gadis itu yang diaku Hasan sebagai istrinya dari Jakarta? Sehebat apa wanita itu? Aina hanya mampu menundukkan pandangannya, dia sungguh tidak berani menatap orang di sekitarnya. Dia sangat takut jika dikenali oleh orang lain. Hasan membawa Aina menuju meja ayahnya, di meja itu duduk juga ibu tirinya, Ayuni dan Nurma, masih ada satu bangku yang kosong. Acara tukar cincin sudah dilaksanakan, sekarang di panggung diisi dengan suara nyanyian tim organ tunggal, suara soundsystem-nya terdengar sangat nyaring. "Hei, sini ... Sini .
Read more
Bab 82
Aina melangkah dengan gontai, dia sudah mendekati tempat acara, ketika seseorang menegurnya."Hai, cantik."Aina terkesima, pemuda itu tersenyum dengan seringai menggoda. Aina hanya bisa menghela napas berat, pemuda itu mendekatinya dengan jarak yang semakin dekat."Halo, aku Haris Latief. Aku melihatmu bersama abangku tadi," ujarnya sambil mengulurkan tangan."Naina," balas Aina dengan cepat menarik tangannya yang menjabat Haris.Aina tahu seberapa bajingannya pemuda di depannya, dia tentu sudah tahu karakter pemuda ini yang sebenarnya, entah berapa gadis yang sudah digodanya, rata-rata para gadis itu menyerahkan dirinya dengan suka rela setelah mendengar rayuan gombal lelaki itu."Naina? Hmm, nama yang cantik, secantik orangnya. Ada hubungan apa kau dan abangku?" Pemuda itu bicara dengan jarak yang terlalu dekat, membuat Aina merasa tidak nyaman."Menurutmu?" tanya Aina dengan memundurkan langkah."Abangku itu akan bertunangan, mungkin kau hanya dijadikan selir. Daripada dijadikan s
Read more
Bab 83
Hasan mendorong Nurma dengan kuat sehingga perempuan itu terlepas darinya, dengan perasaan jijik dia lap bibirnya dengan lengan bajunya, wajahnya sudah merah padam karena emosi yang membludak. Nurma terhuyung hampir terjatuh untung saja dia mampu menyeimbangkan tubuhnya karena dari remaja rajin latihan fisik. "Nurma! Apa kau tidak punya malu? Berani benar kau menciumku di depan umum. Di mana harga dirimu sebagai perempuan? Perempuan tak tahu malu sepertimu ingin menjadi istriku? Mimpi saja kau!" hardik Hasan dengan suara keras. Suasana acara yang penuh kegembiraan tiba-tiba menjadi hening karena peristiwa itu, Hasan bukan lelaki yang bisa menahan amarahnya, dia akan spontan memaki jika dia merasa tidak senang, dia sebenarnya sudah cukup sabar ketika ayahnya menjodoh-jodohkannya dengan sengaja di panggung tadi, namun melihat keagresifan gadis itu, dia tidak bisa menyembunyikan rasa jijik di hatinya. Sebenarnya sikap Hasan yang temperamen itu sangat mirip dengan ayahnya, makanya kedua
Read more
Bab 84
Setelah beristirahat, Aina kembali menyusuri jalan, berusaha mencari kendaraan umum menuju rumah besar keluarga Latief. Namun ternyata tidak ada satu angkotpun yang terlihat, dia harus berjalan lebih jauh menuju jalan utama. Tin ... tin ... Terdengar suara klakson mobil dari samping, sebuah mobil Mitsubishi Triton terlihat menepi, jendela pengemudi terbuka. "Aina! Kau mau ke mana?" Aina menoleh dan menghembuskan napas lega ketika melihat pemuda itu. "Mau pulang," jawab Aina singkat. "Masuk!" ujar Fendi sambil mengkode dengan gerakan kepala. Aina langsung menuju pintu penumpang di sebelah pengemudi, menghenyakkan bobot tubuh lelahnya di jok depan. Dia bersyukur ternyata Fendi datang di saat yang tepat selagi dia mencari kendaraan pulang. "Kenapa kau jalan kaki ke sini? Mau ke mana sebenarnya? Kau kenapa menghilang-hilang terus di acara tadi, sebenarnya kau punya masalah apa sih, Ai?" Fendi langsung saja mencerca aian dengan pertanyaan, dia sungguh tidak mengerti dengan sikap
Read more
Bab 85
"Jadi itu yang kau mau? Mengakhiri hubungan kita yang baru sebentar ini?" Hasan sudah kehabisan kata menghadapi gadis ini, dia hanya menghela napas dengan dada yang terasa sesak, kau pikir aku mau menyerah begitu saja, Ai? Jangan harap itu!"Iya, lebih baik menikahlah dengan wanita yang memiliki keluarga yang terpandang, kulihat Nurma begitu cinta pada Abang, ayahnya juga bisa membantu Abang menyelesaikan hutang-hutang Abang," ujar Aina dengan suara bergetar.Bagaimanapun dia mencoba mengatakan hal ini dengan tegar, namun hatinya tetap terasa sakit seperti tersayat sembilu, siapa yang rela membiarkan seorang kekasih yang sangat dicintai menikah dengan wanita lain? Mungkin hanya dia yang bertindak bodoh seperti itu, ah biarlah ... Lagi pula lelaki ini baru menjadi kekasihnya, bukan suaminya, tidak ada ikatan hukum yang melarang dia melakukannya, soal perasaannya, biarlah dia tanggung sendiri. Tanpa terasa mata Aina memanas, bulir bening mengalir dari sudut matanya."Jadi, kau menyuruh
Read more
Bab 86
"Apakah kau mau menikah denganku?" Fendi terperangah mendengar perkataan Aina, siapa yang tidak mau menikah dengan gadis ini? Bukankah selama ini hal itu yang didambakannya? Namun Fendi bukanlah buta, dia dapat melihat sorot mata putus asa dari gadis itu, tidak ada cinta dan kebahagiaan di sana, untuk apa dia memaksakan hal ini? Dia hanya ingin melihat gadis ini ceria dan bahagia walau tiap hari mereka akan terus bertengkar, dia tidak ingin melihat gadis ini seperti sekarang, lesu dan sedih. Tidak ada gairah yang berkobar di matanya seperti biasanya. "Kau kenapa? Apa yang terjadi? Bukannya aku tidak ingin menikah denganmu, aku justru senang menikah denganmu, tetapi kau kenapa? Kau bilang kau cinta pada laki-laki yang menolongmu. Katakan, apa yang terjadi?" "Aku hanya ingin melupakan lelaki itu, tolong, bantulah aku, Fendi." "Tidakkah kau terlalu kejam membuatku sebagai pelarian?" "Maafkan aku, bukan maksudku untuk memanfaatkanmu menjadi pelarian. Aku memang menjadikanmu sebag
Read more
Bab 87
Ketika lelaki paruh baya itu sudah mendekat pada mereka, reflek Fendi melangkah mundur, wajahnya sangat tegang. Dia benar-benar tidak ingin lagi bertemu dengan lelaki yang telah menurunkan darah ketubuhnya itu, setelah delapan belas tahun tidak ada kasih sayang yang lelaki itu salurkan kepadanya.Dia bahkan sudah lupa kalau punya seorang ayah, selama ini dia menganggap dia hadir ke dunia ini tanpa peran seorang ayah.Setelah sekian lama tidak pernah hadir dalam hidupnya, kenapa tiba-tiba laki-laki ini datang menemuinya? Apakah dia tidak tahu kehidupan seperti apa yang dilalui Fendi karena kelakuannya itu? Seketika amarah Fendi tak terbendung, raut wajahnya berubah menjadi muram dan tegang."Sardan, ini Fendi anakmu," ujar Wak Sulian, Uwak yang selama ini merawat Fendi, kakak tiri Sardan."Fendi ... Ini bapak, nak ...," Suara Sardan tercekat di tenggorokan.Sardan bukannya tidak menyadari tatapan nanar dan penuh kebencian dari putranya, tetapi dia hanya berusaha untuk mendekatkan diri
Read more
Bab 88
"Ayo, Ai. Kita pulang!" ujar Fendi tanpa menyapa lagi orang-orang yang berada di ruang tamu. Anak muda itu langsung pergi tanpa berpamitan, membuat Aina serba salah, tidak enak hati pada kedua Uwak Fendi. "Saya, pamit dulu ya, Wak ...." Akhirnya dia terpaksa pamitan sendiri dan menyalami semua orang tua di situ termasuk bapaknya. Dengan langkah tergopoh-gopoh Aina menyusul Fendi yang berjalan terlalu cepat menuju mobil. Di belakang mereka, Uwak Hayati menyusul mereka dengan langkah tertatih-tatih. "Fendi! Kenapa cepat sekali pulangnya? Uwak masih kangen, kau belum bicara dengan bapakmu," ujar wanita tua itu dengan ekspresi sedih. Fendi menghentikan langkahnya, menoleh ke arah Uwaknya, dari dulu Fendi paling tidak tega terhadap Uwak perempuannya ini, wanita lemah lembut yang tidak pernah memarahinya, walau mereka tidak memanjakannya dengan limpahan materi, namun perhatian Uwak Hayati kepadanya lebih dari cukup. Uwak Hayati selalu memastikan agar Fendi tidak kelaparan, dia selalu m
Read more
Bab 89
Mobil yang mereka tumpangi telah masuk ke halaman rumah besar keluarga Latief. Tampak Syarif tengah duduk santai di teras rumah masih memakai kaos oblong dan celana training. Setelah turun dari mobil kami menghampirinya. "Kok cepat pulangnya, Fen? Baru juga jam sembilan. Kalian gak jadi ke swalayan cari oleh-oleh?" tanya Syarif.Mendengar ucapan Syarif, Fendi mengernyitkan kening dan menatapku dengan tatapan bersalah."Maaf ya, Ai ... Aku lupa," ujarnya."Yah, gak apa-apa, kamu juga sedang tidak baik-baik saja.""Kenapa kau tidak baik-baik saja? Apa kau sakit, Fendi?" tanya Syarif dengan sedikit panik."Oh, tidak. Aku baik-baik saja, tadi cuma ada masalah keluarga yang harus kuselesaikan, semua sudah baik-baik saja," jawab Fendi sambil mendelik ke arah Aina.Aina hanya mengendurkan bahu mengkode bahwa dia tidak sadar mengatakannya, membuat Fendi sedikit keki."Kalau gitu kita percepat saja pulang ke perkebunan, kita pulang jam sebelas nanti, ya?" ujar Syarif "Baik, Bang," jawab Fend
Read more
Bab 90
"Bapak Aina, si Sardan itu dulu waktu di dusun akan menjual Aina kepada seorang juragan tua untuk dijadikan istri ke tiga, waktu itu Aina baru berumur lima belas tahun. Makanya kami melarikan diri sampai di sini, untuk keamanan Aina agar tidak ditemukan oleh bapaknya itu maka bibik membuat Aina berpenampilan jelek, yah supaya aman juga dari lelaki hidung belang di lokalisasi," jelas Nur panjang lebar."Jadi, Aina aslinya cantik?" tanya Fendi penasaran."Sebenarnya tidak terlalu cantik, hanya tidak sejelek ini," jawab Nur dengan wajah yang tidak bisa dibayangkan, ada rasa bersalah, ada rasa cemas jika Aina harus melepaskan topengnya di depan laki-laki ini."Bibik bicara apa? Maksud Bibik, Aina di depan ini bukan tampilan asli? Aku tidak percaya," ujar Fendi sambil tertawa sinis."Seperti apa wajah aslinya? Aku ingin lihat! Secantik apa orangnya, atau kalian hanya mencari alasan yang tidak masuk akal!" Fendi kembali berkata dengan agresif."Bagaimana, Mak?" ujar Aina menatap ibunya, mem
Read more
PREV
1
...
7891011
...
27
DMCA.com Protection Status