All Chapters of CINTA SUAMIKU UNTUK WANITA LAIN: Chapter 11 - Chapter 20
72 Chapters
Siapa yang Sebenarnya Egois? (1)
Aku menengok celah pintu, Mas Rian dan ayah duduk berhadapan di ruang tamu. Mereka terlihat sedang berbicara serius, aku ingin mendengarnya meski samar. "Berkacalah dari masalalu, jangan lakukan kesalahan yang sama," ujar ayah menerawang. "Aku tidak akan melakukan kesalahan kalau ayah tidak bersikeras melarangku saat itu," jawab Mas Rian tegas. "Pelankan suaramu Rian! Hargai perasaan istrimu saat ini. Apakah memiliki dua anak tidak cukup mampu membuatmu berubah?" tanya ayah. Aku semakin menajamkan pendengaran, mendengar suara ayah yang semakin pelan. "Kami harus menanggung akibat keegoisan ayah, dan Riana yang paling menderita," bela Mas Rian seakan kebencian masalalu itu tidak pernah lenyap. "Apa yang membuatnya menderita? dia menikah dan bahagia. Kamu saja yang terlalu berpikir dangkal sampai tidak bisa melihat orang di sampingmu yang setia memberi kebahagiaan. 
Read more
Siapa yang Sebenarnya Egois? (2)
Pagi-pagi Sindi membangunkanku, aku segera membuka mata dan terjaga. Malu sekali jika aku bangun kesiangan di rumah mertua. "Mbak ...," sapa Sindi, mengelus pelan. "Ini sudah siang kah?" jawabku segera terbangun. Jam masih menunjukkan pukul 02.00 malam, aku mengucek mata takut salah lihat. "Ini masih malam Mbak," jawab Sindi pelan. "Ada apa?" tanyaku setelah sadar kalau Sindi membangunkanku malam-malam seperti ini. "Mas Rian belum pulang, apakah Mbak tahu kemana dia?" tanyanya. "Belum pulang? Mbak kira Mas Rian hanya keluar dari kamar dan ada di rumah," jawabku sembari beringsut. "Tidak Mbak. Semenjak keluar dari kamar, Mas Rian pergi dan belum kembali. Sindi takut kalau ...." Ucapan Sindi terjeda. "Kalau apa?" tanyaku penasaran. Sesaat Sindi menerawang dan bergidik ngeri.
Read more
Enyahlah dari Hidupku!
"Mah, Papah kemana?" Lamunanku tiba-tiba pudar saat Bian berjalan lugu sambil mengucek kedua matanya. Aku menghampiri dan memeluknya, menyugar rambutnya yang lepek karena keringat. "Papah ...," ucapku terjeda, aku berpikir bagaimana cara menjelaskan agar Bian mengerti. "Papah sakit sayang, tanganya terluka," jawabku terbata. "Apakah Papah tidak hati-hati saat main pisau?" tanyanya lagi polos. "Ya, sepertinya seperti itu." "Mamah nggak bohong kan?" Wajah Bian sudah menatap wajahku penuh selidik. Aku sampai canggung dibuatnya. "Nggak sayang, nanti kita tengok ayah ya," ucapku lagi meyakinkan. Pertengkaran kami kemarin pasti membuatnya trauma. Apalagi saat bangun ia tidak melihat Papahnya. Tepat pukul 10.00 pagi, aku, Bian, Ibu dan Sindi pergi ke Rumah Sakit untuk menjenguk Mas Rian. Di sana sudah ad
Read more
Enyahlah dari Hidupku! (2)
 Aku duduk di sampingnya, memandang setiap inci wajah itu. Apakah dia pantas kuberi kesempatan? "Mas," ucapku lirih. Sebagian orang bilang, saat seseorang tidak sadarkan diri seperti ini, ia tetap bisa mendengar kita yang berbicara di sampingnya, dalam hati dan mimpinya tetap ada orang-orang yang ia cintai. Lama, aku menjeda perkataan itu sampai ada keberanian lagi untuk melanjutkan. "Sekali saja Mas berkata mencintaiku, mungkin bisa menghapus semua luka ini. Mas ...," panggilku lagi lebih lirih. Air mata yang terbendung menetes dengan sendirinya. "Riana ...." Bibirnya bergerak perlahan. Air mataku tumpah seketika. Kugenggam tangannya sekali lagi, kucium lekat dan kuhujani dengan air mata. "Terimakasih atas 8 tahun terindah bersamamu, meski luka yang tergores di akhir kisah kita. Aku dan Bian sangat bahagia." 
Read more
Biarkan Aku Tenang
"Halwa ...," panggilnya lagi membuyarkan lamunanku."Kamu baik-baik saja kan?" tanyanya lagi."Ya, aku hanya kurang enak hati saat ini," jawabku pelan setelah berimajinasi memakinya."Mungkin kamu lelah, kenapa harus kerja kalau masih sakit," ujar Riana memapahku untuk ke masuk ke ruangan."Duduklah, biar aku mintakan minum pada pegawaimu," ucapnya lagi. Aku memperhatikan perempuan itu, tidak ada yang salah dari dirinya. Mana mungkin aku bisa memakinya telah merebut Mas Rian dari kehidupanku, sedangkan sebenarnya dialah yang datang lebih dulu dalam hati laki-laki itu."Minumlah, tenangkan dirimu." Riana duduk di sampingku, memberikan air minum, dan mengelus punggungku perlahan.Aku menyesapnya sedikit, lalu Riana membantu untuk menyimpannya di atas meja."Ceritakanlah sedikit kegusaran hatimu, barangkali aku bisa membantu meringankannya," tawarnya lembut.Aku berbalik, menatap bola matanya yang terpancar indah, sungguh mata yang bisa memberi kenyamanan pada orang yang menatapnya."Ri
Read more
Dibuntuti
"Maaf ya Mas, malam-malam begini saya ganggu," ucapku pada penjual apartemen."Tidak apa-apa Mbak. Karena Mbak temannya Rini jadi dengan senang hati saya bantu," jawabnya sembari melirik perawan tua di sampingku."Euheum ...." Aku menyikut Rini yang pura-pura tuli dan malah melihat kesembarang arah.Kami berkeliling dan melihat isi apartemen, kebetulan aku memesan apartemen yang ull furnished artinya sudah lengkap fornitur dan perabotan. Aku hanya tinggal menempati saja."Gimana Mbak?" tanyanya setelah kami berkeliling."Saya suka Mas, pembayarannya saya lunasi sekarang," jawabku.Kami pun melakukan transaksi, aku mentrasfer uang pelunasan setelah semua administrasi selesai.Tepat pukul 23.30 semua proses selesai, Rini mengantar lelaki itu ke depan sedangkan Bian sudah tertidur lebih dulu.Aku memindahkan Bian ke kamar tidurnya, menyelimuti dan mengelusnya dengan iba."Maaf ya sayang, kamu harus menjadi korban keegoisan kami," ucapku lirih. "Kita akan saling menguatkan, tidak pernah
Read more
Album Foto di Rumah Riana
"Mamah, itu Zain ....". Sorak Bian menggedor-gedor jendela kaca mobil.Aku menoleh, Zain sedang dikerumuni anak seusianya, aku kira mereka sedang bermain."Mah, aku ingin bertemu Zain," rengek Bian."Iya sayang sebentar, Mamah parkir dulu.""Ayo Mah ..." rengek Bian lagi tak sabar.Aku segera memarkirkan mobil di samping jalan, Bian berlari menghampiri Zain."Bian, hati-hati Nak," teriakku segera mematikan mesin untuk menyusulnya."Zain anak haram ... Zain anak haram ...," umpat anak-anak itu."Apa yang kalian lakukan?" serbu Bian menghalangi anak-anak yang merundung Zain.Aku ikut menyerbu ke kumpulan mereka."Ada apa ini?" Kulihat Zain hampir menangis dikelilingi anak seusianya."Dasar anak haram ... jangan harap mau berteman dengan kami!" cercanya lagi."Bubar ... bubar ... kecil-kecil kalian sudah belajar merundung orang," umpatku membubarkan mereka.Dari kejauhan kulihat Riana berlari menghampiri kami, Bian mencoba menguatkan temannya, ia mengusap air mata Zain yang terjatuh dan
Read more
Makan Malam Bersama
"Aku pulang duluan ya Rin, pastikan kompor dan listrik dalam keadaan mati, ruang penyimpanan aman dan kunci semua pintu," tekanku sebelum pulang."Siap Bu Bos, laksanakan!" jawabnya cepat, "siapkan saja untuk acara nanti malam. Aku mungkin datang telat," lanjutnya sembari mendorongku ke luar."Kok telat?" aku mengangkat satu alis sembari berbalik."Pokoknya acara nanti malam harus jadi," tukasnya kembali mendorong tubuhku untuk segera pulang.'Kenapa juga ni anak?' tanyaku menggelengkan kepala, tangannya masih saja melambai-lambai riang memintaku untuk segera pulang dan menyiapkan acara untuk nanti malam.Sekitar pukul 16.00 aku dan Bian sudah sampai ke apartemen. Sebelum masuk aku mengetuk pintu apartemen Radit untuk memberitahunya."Hai ..." Radit terlihat canggung saat aku sudah berdiri di depan pintu.Aku tersenyum untuk menghilangkan kecanggungan, "Nanti malam ada acara makan-makan di apartemenku, kamu datang ya.""Ah ....""Ajak juga temanmu Haris," lanjutku."Ouh ... oke, aku a
Read more
Aku Wanita Bukan Hanya Seorang Ibu
Sepanjang malam aku tidak bisa tidur memikirkan kebenaran tentang status Zain, jika Zain adalah benar-benar anaknya Mas Rian, kemungkinan besar mereka kembali adalah kenyataan yang harus aku terima. Aku tidak bisa bayangkan perasaanku dan Bian saat itu. Aku akan kehilangan Mas Rian dan Bian ... Bian akan kehilangan Papahnya. Bagaimana pun kalau itu benar terjadi cinta Mas Rian akan terbagi. Apalagi selama ini Zain tidak pernah menerima cinta ayah kandungnya, Mas Rian pasti akan lebih condong mencintai Zain daripada Bian sebagai pengganti waktu yang terlewati tanpa dirinya.Otakku sudah sangat terasa sakit dan berat memikirkan hal itu semalaman. Hingga tak terasa saat mata begitu berat adzan subuh berkumandang. Aku terperanjat saat menemukan jarum jam menunjukkan pukul 05.00 pagi.Aku bangkit dan terduduk di kursi, cincin pernikahan kami yang masih tersemat perlahan kubuka. Aku berjanji untuk tidak memakainya lagi sebelum akhir dari kisah pernikahanku dan Mas Rian menemukan solusi ata
Read more
Pertemuan Rian dan Riana
Genap hampir dua minggu, Mas Rian sudah tidak pernah menggangguku dan Bian. Ada rasa kehilangan dan sesak yang membuat kami sulit beradaptasi.Kami terbiasa 8 tahun bersama kini harus menjalani hidup bertiga saja, bersama janin yang kukandung."Mah, makan dulu yuk ...," ajak Bian menarik jemariku."Bian aja ya sayang, Mamah lagi nggak mau makan," keluhku lemah. Rasa mual yang menjejal dada membuatku enggan untuk makan apalagi mencium bau nasi."Tapi, Mamah sudah 3 hari nggak makan," protes Bian lagi."Iya sayang, Mamah belum bisa makan nasi.""Dede bayi kok begitu ya Mah, jahat," keluh Bian."Nggak kok sayang, ini bukan karena dedek bayi jahat. Tapi, karena proses seseorang yang sedang hamil itu ya begini," jelasku pelan mencoba membuatnya mengerti dan tidak membenci adiknya.Bian merengut, selama aku sakit karena kehamilan ini ia jarang sekali keluar apartemen, jenuh dan bosan pasti dirasakannya."Sayang, bagaimana kalau Bian mengantar Mamah ke dokter untuk melihat dedek bayi?" tanya
Read more
PREV
123456
...
8
DMCA.com Protection Status