Sepanjang malam aku tidak bisa tidur memikirkan kebenaran tentang status Zain, jika Zain adalah benar-benar anaknya Mas Rian, kemungkinan besar mereka kembali adalah kenyataan yang harus aku terima. Aku tidak bisa bayangkan perasaanku dan Bian saat itu. Aku akan kehilangan Mas Rian dan Bian ... Bian akan kehilangan Papahnya. Bagaimana pun kalau itu benar terjadi cinta Mas Rian akan terbagi. Apalagi selama ini Zain tidak pernah menerima cinta ayah kandungnya, Mas Rian pasti akan lebih condong mencintai Zain daripada Bian sebagai pengganti waktu yang terlewati tanpa dirinya.Otakku sudah sangat terasa sakit dan berat memikirkan hal itu semalaman. Hingga tak terasa saat mata begitu berat adzan subuh berkumandang. Aku terperanjat saat menemukan jarum jam menunjukkan pukul 05.00 pagi.Aku bangkit dan terduduk di kursi, cincin pernikahan kami yang masih tersemat perlahan kubuka. Aku berjanji untuk tidak memakainya lagi sebelum akhir dari kisah pernikahanku dan Mas Rian menemukan solusi ata
Genap hampir dua minggu, Mas Rian sudah tidak pernah menggangguku dan Bian. Ada rasa kehilangan dan sesak yang membuat kami sulit beradaptasi.Kami terbiasa 8 tahun bersama kini harus menjalani hidup bertiga saja, bersama janin yang kukandung."Mah, makan dulu yuk ...," ajak Bian menarik jemariku."Bian aja ya sayang, Mamah lagi nggak mau makan," keluhku lemah. Rasa mual yang menjejal dada membuatku enggan untuk makan apalagi mencium bau nasi."Tapi, Mamah sudah 3 hari nggak makan," protes Bian lagi."Iya sayang, Mamah belum bisa makan nasi.""Dede bayi kok begitu ya Mah, jahat," keluh Bian."Nggak kok sayang, ini bukan karena dedek bayi jahat. Tapi, karena proses seseorang yang sedang hamil itu ya begini," jelasku pelan mencoba membuatnya mengerti dan tidak membenci adiknya.Bian merengut, selama aku sakit karena kehamilan ini ia jarang sekali keluar apartemen, jenuh dan bosan pasti dirasakannya."Sayang, bagaimana kalau Bian mengantar Mamah ke dokter untuk melihat dedek bayi?" tanya
Mas Rian berlari mengejar mobil kami dan terus berkata, "Dengarkan aku dulu ... Halwa ... dengarkan aku dulu!" Suaranya lamat-lamat menghilang seiring laju mobil yang semakin jauh."Papah ...," ucap Bian serak, ia berdiri di atas kursi menatap Papahnya yang berlari mengejar.Aku tahu pasti hati Bian terluka saat ini, seburuk apapun Mas Rian di mata Bian ia tetap Papahnya. Bian terlalu kecil untuk tahu kenapa aku memperlakukan Papahnya seperti itu.Ia duduk dan menundukkan wajahnya saat Mas Rian sudah tidak terlihat lagi.Aku beringsut dan memeluknya, tapi Bian menepis dan bergeser menjauh."Sayang ...," ucapku. Ada rasa nyeri saat Bian memperlakukanku seperti itu."Kenapa Mamah begitu?" tanyanya dingin."Sayang ...." Aku mencoba mendekatinya lagi, tapi ia bersikeras menepis dan menjauh."Apa salah Papah hingga Mamah begitu jahat?" tanyanya lagi setengah berteriak.Kulihat anak itu, ia butuh pengakuan untuk keberadaanya. Aku hanya tidak ingin Bian merasakan sakit yang sama denganku sa
Pagi menjelang, Bian masih meringkuk di bawah selimut. Semalam aku sengaja tidur di kamarnya, memeluk dan memberinya rasa hangat meski tidak ada kata diantara kami. Aku hanya ingin Bian tahu kalau dia masih memiliki ibu dan saudaranya kelak.Tubuhku masih lemas, hingga berjalan saja tertatih. Tapi, aku tidak bisa seperti ini terus, ada Bian dan janin dalam rahim ini yang membutuhkan seseorang untuk tempat mereka bersandar. Sebagai sandaran dari dua orang anak, seorang ibu harus menjadi sangat kuat dalam keadaan apapun.Bel berbunyi saat aku sedang mencuci beberapa gelas bekas semalam. Kutengok dari gorden siapa yang datang sebelum memutuskan untuk membuka. Hari ini aku tidak punya energi untuk berdebat kalau yang datang adalah Mas Rian."Radit, ada apa?" tanyaku saat ia sudah di depan pintu membawa rantang makanan dan sekantong buah-buahan segar."Aku membawakan sarapan untukmu dan Bian. Makanlah dan habiskan," ucapnya cepat, aku tahu dia pasti kesiangan berangkat kerja karena ini sud
Tubuhku bergeming saat meyaksikan semuanya, gamang dan bergetar. Sekuat tenaga kulangkahkan kaki untuk melangkah perlahan, dalam pelupuk mata hanya ada Bian yang berlari dengan ceria."Mamah kejar aku ... ha ... ha ... ha ...." Tawanya memenuhi ilusi pikiranku."Siap-siap ya ... Mamah tangkap Bian .... ""Ha ... ha ... ha ...."Saat ini, mataku seakan buta, tak ada yang kulihat selain wajah mungilnya. Kaki yang tanpa mata menuntutku untuk terus berjalan mencari sosoknya."Mamah, ayo cari ... ha ... ha ...ha ...." Tawanya kembali menggelegar memenuhi ilusi pikiranku.Bayangan orang-orang yang berlarian seperti gerakan partamorgana, berhambur menyerbu seseorang yang terlihat terluka."Zain ....!" teriak semuanya.Aku melihat Mas Rian, Riana dan Haris berhambur menghampiri sosok yang tergeletak. "Zain bangun, Nak?" suara Mas Rian dan Riana terdengar bersamaan. Isak tangis menyertai pelukannya, kulihat ketiganya saling merangkul. Seolah tidak ada lagi orang lain di antara mereka.Apakah
Radit keluar dari ruangan sembari memegangi kapas kecil di lengannya, ia tersenyum saat melihatku bersandar pada dinding belakang."Minumlah," ucapku pelan, menyodorkan air mineral yang sudah terbuka.Ia mengambil dan meneguk beberapa tegukan, lalu menyimpannya di samping tempat duduk."Lehermu akan sakit kalau bersandar seperti itu," ujarnya sembari menarik pelan kepalaku, menempatkan di bahu miliknya."Terimakasih sudah membantu Bian, Dit," ucapku lirih."Kalian sudah bukan orang lain untukku, mulai saat ini aku akan selalu di sampingmu. Jadi, jangan menanggung semuanya sendiri lagi, karena sekarang kamu bisa mengandalkanku," jawabnya yakin.Aku hanya diam merasakan angin harapan menembus relung terdingin dari hatiku saat ini. Bagaimana pun aku dan anak-anak harus pulih, kami harus melewati semua ujian ini."Huh ... huh ... huh ... bagaimana kabar Bian, Hal?" Rini tiba-tiba ada di depanku. Ia menoleh dengan napas ngos-ngosan.Aku yang sedang bersandar pada bahu Radit segera bangkit.
"Keluarga pasien atas nama Bian Putra Galaksi," panggil petugas dari ruangan sebelah kiri."Saya suster?" Aku dan Radit tergopoh menghampiri."Ibu, Bapak diminta menemui dokter Dirga, silahkan ikut saya," pintanya."Baik suster." Kami berjalan mengikuti suster memasuki suatu ruangan yang cukup besar dan nyaman untuk ruangan seorang dokter."Silahkan masuk Bapak, Ibu." Dokter Dirga tersenyum mempersilahkan."Perkenalkan saya Dirga, dokter yang menangani anak Anda.""Iya dokter, terimakasih. Bagaimana keadaan anak saya sekarang?"Dokter Dirga tersenyum saat tangannya membuka lembaran hasil pemeriksaan medis."Bian mengalami kecelakaan yang hebat, anak itu banyak kehilangan darah, saya sangat menyayangkan ia dibawa kemari dalam keadaan kritis padahal sempat mendapat perawatan di Rumah Sakit sebelumnya. Tapi, untunglah Tuhan masih berbaik hati kepadanya. Ia masih bisa diselamatkan setelah segala cara kami lakukan untuk menolonganya. Hanya saja ...." Ucapan dokter Dirga terjeda.Aku mengatu
Ibu yang menyaksikan itu setengah berlari menghampiri ayah."Hentikan!" perintah ibu tegas."Dia telah melempari wajahku dengan kotoran?" umpat ayah tak terima."Hentikan!" perintah ibu lagi, menarik lengan ayah menjauh dari tubuh Mas Rian. Tapi, emosi ayah masih saja tersulut, berkali-kali tanganya mengenai tubuh Mas Rian, meski sudah dipegangi Radit dan ibu."Dia sudah melakukan hal yang bodoh, menyakiti anak dan istrinya sendiri demi wanita penzina itu!" Telunjuk ayah tepat mengarah pada Riana."Jaga ucapanmu! Kalau kamu dulu merestui pilihannya, hal itu tidak akan terjadi dan tidak akan ada yang terluka, termasuk Halwa dan Bian," jelas ibu keras."Karena aku tidak sudi anakku berzina selama pernikahannya," teriak ayah tidak mau kalah."Bagaimana kamu bisa berbicara seperti itu?""Karena aku tahu siapa ayah biologis Riana."Kami yang mendengar hal itu tercengang, apalagi Riana, binar mata yang selalu ia tunjukkan kini lenyap sudah. Mimpi buruknya seakan terulang kembali.Riana berja