Semua Bab 100 Hari Bilang Sayang: Bab 11 - Bab 20
49 Bab
Bab 11 - Sobekan Kertas
Memang benar apa kata orang. Jangan pernah sekalipun mengharapkan ekspektasi yang terlalu tinggi, karena ujung-ujungnya kalau tidak sesuai sakit juga, terlebih dengan manusia semacam Prabu Bagaskara. Inilah yang dirasakan kelompok tiga saat ini. Rasanya, harapan kami untuk acc masih panjang. Layaknya mahasiswa yang sudah capek-capek ngetik sampai bela-belain lembur dan begadang, harapan untuk acc masih belum direstui oleh semesta. Entah apa yang ada di kepala Prabu yang mengharuskan kami merevisi lagi. Setelah seharian kemarin tidak ada kabar bahkan membalas pesan dari Pak Emil pun tak digubris. Tiba-tiba esoknya grup chat kelompok tiga terdapat pesan dari Pak Emil. Ternyata saat malam hari, Prabu sempat membalas chat Pak Emil, namun beliau baru membukanya hari ini. Pak Emil Kelompok 3 Malam Pak Emil. Maaf, saya baru membalas. Silahkan besok kumpul di ruang kelas 3E pukul tujuh beserta print outnya. E-mail yang bapak kirim kemarin belum saya lihat. Terima kasih. (Balasan dari Pak Pr
Baca selengkapnya
Bab 12 - Kepastian
Kelompok tiga dari kelas 3E kembali ke rutinitas semula, yaitu bimbingan. Tepat di depan ruangan Prabu kami berkumpul lagi. Kenapa? Revisi! Lelah? Pasti! Setiap pagi kami absen hadir terlebih dahulu dibandingkan penghuni yang lain, terkecuali Satpam dan office boy. Anggap saja, lagi nostaligia bimbingan skripsi. Tak lama, Prabu datang dan mempersilahkan kami masuk ke ruangan. Aku yang akan masuk, diberhentikan oleh Pak Emil. Aku dan yang lainnya menoleh satu sama lain. “Bu Eka, anda sakit?” tanya Pak Emil yang khawatir karena aku terlihat pucat. Aku menggelengkan kepala yang artinya baik-baik saja. “Haduh, pasti kamu lelah. Ayo kita semua temani Bu Eka. Cuzzz ….” perintah Pak Emil. Bu Zeva dan Nafis menyanggupi dan memasuki ruangan Prabu. Setelah Prabu menarik kursi duduknya, aku menyodorkan kertas yang sudah ia print lagi. Kertas yang disobek oleh Prabu malam kemarin, tidak ia tunjukkan. Prabu merasa tak enak hati padanya karena sudah sarkas kepadanya. Karena egonya yang terlalu
Baca selengkapnya
Bab 13 - Kebenaran Clea
Prabu kembali ke rutinitas semula. Kali ini, ia ke kampus membawa motor kesayangannya. Saat memasuki ruangan dosen, ia dicegat oleh Alvaro dan Denias yang sudah menunggu di ruangannya. “Good morning Prabu,” sapa Denias. “Kenapa lo berdua?” tanya Prabu keheranan dengan tingkah kedua rekan kerjanya itu. “We need to talk, seriously, now!” ajak Alvaro dengan ekspresi seriusnya. Prabu mengenduskan napas, kemudian memasuki ruangannya dan duduk di kursi kerjanya sambil menyalakan komputernya. Pagi-pagi sudah mengajak berbicara serius. “Right now,I can’t ….” tolak Prabu dengan manjanya. “No, no … ini menyangkut perdamaian dan hubungan TRIO PAD di masa depan.” ucap Denias. Prabu memejamkan mata sambil menyenderkan kepala di kedua tanggannya. Karena saat ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan hal pribadi di kampus. Ia mengatakan akan terlihat tidak etis di antara civitas akademik dan dianggap tidak bekerja secara professional. “Tonight at Sky Lounge, 10 pm, how?” balas Prabu. “Ha
Baca selengkapnya
Bab 14 - Hilang
Prabu tengah sibuk menuliskan sesuatu di kertas. Tak lama, ia meletakkan pulpennya. Pak Emil, Bu Zeva dan Nafis langsung mengambil napas secara bersamaan. Bersiap-siap untuk menerima perintah dari Prabu. “Apakah ini sudah maksimal tidak bisa diubah lagi?” tanya Prabu. “Sudah tidak bisa Pak,” jawab Pak Emil dengan senyum pemaksaannya. Demi disahkan oleh Prabu. Prabu kemudian mengusap dahinya. Ia tak tahu harus berkata apa lagi. Sebenarnya, ia sudah capek menghadapi beberapa peserta yang selalu mendapat revisi darinya, tapi dia menuntut kesempurnaan. Belum lagi urusan dengan mahasiswanya yang minta bimbingan tugasnya. “Oke tidak mengapa. Ini sudah jauh lebih baik. Sebelum saya sahkan, mohon untuk meningkatkan lagi warnanya. Ini masih terlalu pucat, dan juga beberapa font tolong dilihat proporsinya ya. Kita lanjutkan besok lagi. Siang ini saya harus pergi karena ada acara keluarga.” Prabu menyerahkan kembali hasil pekerjaan mereka. Pak Emil kemudian mengangguk. Saat mereka berbalik da
Baca selengkapnya
Bab 15 - Perjodohan
Prabu kembali ke rutinitasnya yaitu berangkat mengajar di kampus. Semalam, ia terpaksa harus menginap di rumah karena mendapatkan ancaman dari Kakeknya jika ketahuan kabur. Terlebih, anak buahnya menjaga rumah tersebut dengan ketat. Sampai tak ada celah untuknya kabur. Setelah memakai kemeja kerja dengan rapi, ia menuju ke meja makan. Sesuai kebiasaan keluarga Bagaskara, sebelum berangkat wajib berkumpul di meja makan untuk sarapan pagi bersama. Di sana, sudah ada Pak Andra dan Bu Kirana yang tak lain adalah ayah dan ibu Prabu. Tak lupa Prince dan kakeknya. Prabu mengganggu Prince yang tengah lahap makan sereal. Sontak membuat Prince marah. “Kak Prabu!” rajuk Prince kepada kakak tertuanya. “WLEEEE,” goda Prabu sambil menjulurkan lidahnya. “Mom, itu tuh Kak Prabu,” protes manja Prince kepada Bu Kirana yang kemudian mengomeli Prabu yang jahil kepadanya. “Dimana nenek?” tanya Prabu kepada yang hadir di ruang makan. Semua hanya terdiam. Tak lama, Nenek yang berada di kursi roda datang
Baca selengkapnya
Bab 16 - Menemukanmu
Aku berlari tanpa arah sampai akhirnya membawaku berada di sebuah terminal dan menemukan ruko yang sepi. Segera Aku mengangkat telepon dari Reza. “Halo mbak, gimana ini? Mbah sama Ibu ribut lagi mbak?” keluh Reza. Kemudian nenek merebut handphone darinya. “Eka, Ibumu kurang ajar!” tuduh Neneknya dengan nada tinggi. “Ada apa lagi nek?” tanyaku dengan nada pasrah. “Biasa, masalah ibumu pinjam uang ke pamanmu senilai seratus juta. Ini pamanmu menagih uangnya, gak bisa bayar pula! Ini semua salah ibumu, mbah yakin ibumu menggelapkan uang buat nyenengin simpanannya!” “Nek, Eka mohon sabar dulu.” Kataku menenangkan nenek yang emosi. Terdengar sayup kecil suara Ibunya yang menangis. “Aku gak salah bu, saya dijebak oleh teman kerjaku dulu.” “Bohong kamu! Andaikan kamu gak cerai, gak jadi runyam masalahnya. Kamu tuh apa? Udah janda, gak dapat hasil apa-apa dari perceraianmu. Kamu tuh tak sekolahin pintar-pintar kenapa jadi kaya gini?” bentak nenek kepada Ibuku. “Nenek gak tahu lagi cara
Baca selengkapnya
Bab 17 - Bulan Sabit
Prabu membawaku ke sebuah danau yang tak jauh dari Bloom Café. Kemudian di danau tersebut, ada sebuah taman. Prabu yang ngeh melihat ada penjual es krim kemudian pergi untuk membelikan es krim agar aku bisa tenang. Sebelum pergi, ia menyampaikan agar duduk di taman terlebih dahulu. Aku duduk dan memandangi pantulan bulan sabit di danau tersebut sambil mendengarkan lantunan adzan Isya. Tak lama, handphonen ku hidupkan karena sedang tidak ingin berbicara dengan siapapun. Layar terbuka dan melihat banyak panggilan masuk seperti dari Nafis, Bu Zeva dan Pak Emil. Tiba-tiba ada sebuah notifikasi pesan dari mbah kakung. Mbah Kakung Nduk, sibuk tidak? Mbah mau berbicara. Aku kemudian membaca situasi dan berdiri mencari tempat yang sepi agar bisa leluasa. Langkah berhenti di sebuah bangunan kamar mandi yang sepi. Di balik bangunan, aku mengangkat panggilan dari Kakek. Tangisan tumpah ruah ku keluarkan. “Mbah kakung, aku harus gimana? Aku sudah gak kuat,” keluhku kepada Kakek. Seketika kakek
Baca selengkapnya
Bab 18 - Tukang Ojek Ganteng
Tak terasa, pengerjaan proyek sudah memasuki akhir minggu ke-tiga. Artinya, masih menyisakan waktu seminggu lagi untuk menyelesaikan proyek nasional. Pagi buta ini sudah hadir Pak Emil, Bu Zeva dan Nafis di kampus Pandawa. Penyebabnya, karena kemarin mereka absen bimbingan dan sama sekali belum memperbaiki revisiannya karena mengurus diriku yang sedang sakit. Jadi memanfaatkan waktu sepagi mungkin agar hari ini bisa selesai bimbingan, syukur-syukur bisa disahkan. Tak lama, Aku pun menyusul mereka. Bukannya disambut dengan gembira, malah memberi nuansa menginterogasi. “Bu Eka, kenapa kemarin gak kasih kabar kalau pulang duluan?” cerca Bu Zeva karena kemarin ia khawatir. Mereka bertiga menatapku dengan serius karena menghilang tiba-tiba dan meminta penjelasan. Mulailah aku menelan ludah. “Ceritakan kronologisnya.” tukas Pak Emil sekaligus memperbaiki posisi kacamatanya. “Iya, kemarin saya sehabis dari apotek beli madu. Kemudian tiba-tiba teringat cucian saya. Dan saya itu bawa baju se
Baca selengkapnya
Bab 19 - Menepati Janji
Sore harinya, Pak Andra membawa Prabu ke kantin rumah sakit. Ia mengawali pembicaraan dengan menayakan perihal alasan sebenarnya Prabu menolak wanita yang dijodohkannya kemarin.“Bukankah berulang kali aku bilang. Dari awal mereka semua sama. Tujuannya denganku hanya demi kenikmatan duniawi saja Papa,” jawab Prabu. “Tapi ini sudah melalui proses seleksi yang ketat. Bahkan kakekmu ikut andil mencarikan,” ungkap sang ayah yang membauat Prabu menghela napas panjang.“Pa, didunia ini wanita itu matre semua. Banyak sekali keinginannya. Mereka itu tidak bisa membedakan mana keinginan mana kebutuhan. Mereka lebih condong banyak inginnya. Aku jamin, pernikahan seperti itu tidak akan bertahan lama.” “Prab, kita sudah sering membahas hal ini. Nenekmu hanya ingin kamu menikah. Sudah itu saja,” desak Pak Andra. “Aku bisa wujudkan apapun asal jangan ada syarat menikah Pah,” keluh Prabu. “Apakah kamu masih masih terbayangi Ninda?” pertanyaan Pak Andra membuat Prabu terdiam.Saat Prabu akan menja
Baca selengkapnya
Bab 20 - Kesan Pertama
Pernahkah kalian melihat dahsyatnya ombak air laut yang menerjang tebing? Nah, itulah yang sedang dirasakan lambungku saat ini karena asam lambungnya bergejolak. Belum lagi kecepatan Prabu mengendarai mobilnya yang membuat hembusan angin jadi kencang, bahkan ikut andil mendorong mobilnya. Aku beberapa kali berteriak sampai-sampai bisa latihan vokal nada tinggi. Mungkin, bisa mencapai nada G5. Akhirnya, Prabu berhenti di sebuah toko bunga langganannya. Ia masih dengan gaya santainya, berbeda denganku yang jilbabnya sedikit berantakan karena terpaan angin bonus kejedot di dasbor mobil Prabu. Ia kemudian turun dan memintaku untuk menunggunya. Setelah beberapa saat, Prabu kembali masuk sembari membawa buket bunga mawar merah segar dan menyerahkan kepadaku layaknya ia anggap seperti kursi duduk. Buket seberat setengah kilo itu mampu menutupi separuh badanku. Bahkan, kursi duduknya saja ketutupan dengan buket tersebut. “Gak sekalian saja Pak, masukin karangan bunganya!” cibirku ke Prabu. “
Baca selengkapnya
Sebelumnya
12345
DMCA.com Protection Status