All Chapters of Nafkah yang Disunat Suamiku: Chapter 61 - Chapter 70
133 Chapters
Bab 61
Aku hanya bisa tertegun membaca dua pesan itu. Kutepis dentuman yang masih tersisa. Kucoba mengingat isi goodie bag. Ada beberapa dokumen di dalamnya. Dokumen untuk keperluan sidang, serta dokumen untuk keperluan toko yang belum selesai dibangun. Untung saja dompetku tak kumasukkan di sana.Mendengar suara penjual putu bambu, mengembalikan kesadaranku. Gegas aku melangkah ke luar halaman sekolah. Kupesan beberapa porsi, sekalian untuk Bu guru yang sudah berbaik hati mendidik dan menjaga anak-anak selama di sekolah. Perutku sendiri sudah mulai berbunyi."Nanti biar saya ambil saja, Mas. Terima kasih sudah memberi kabar kalau goodie bag saya ketinggalan."Kukirim balasan untuk Mas Mirza, sembari menunggu pesananku matang. Tak enak juga kalau harus merepotkan dengan mengantar barangku yang ketinggalan. Perasaan aneh menerpa begitu saja saat menyebut 'Mas' untuk orang yang baru kutemui beberapa saat lalu. Selama ini hanya orang dekat yang kupanggil M
Read more
Bab 62
Hilda menyerahkan kartu itu padaku. Sebuah kartu dari kertas coklat tebal, serta mini buket berisi bunga edelweis dibalut kain goni. Sebuah tali agel kecil sebagai pengikatnya dengan ujung menjuntai, menambah kesan unik kartu ini.Kertas tipis yang membungkus isi kotak ia sibak. Dan ..."Taraaa ... !"Girang sekali Hilda saat melihat isinya. Kedua bola mataku ikut membesar saat melihat isi kotak itu. Maya yang baru selesai menata barang, ikut mendekat."Ya ampun, Mbak Lisa, ini benar-benar kejutan dari pengagum rahasia. Manis banget sih, Mbak."Hilda mengangkat satu persatu isinya, kemudian meletakkan di lantai beralaskan karpet. Sementara aku masih memegang ponsel untuk merekam. Aku kehabisan kata.***Hari telah beranjak malam. Kedua anakku sudah terlelap sejak satu jam yang lalu. Sementara aku masih duduk di kursi dekat jendela, menikmati lalu lintas jalan di depan toko yang masih ramai.Kulihat langit, mala
Read more
Bab 63
Tak terasa hari semakin gelap. Para tamu sudah banyak berkurang. Kedua pengantin sudah meninggalkan pelaminan, untuk berganti dengan pakaian biasa."Lisa nanti nginep aja, ya. Besok masih ada pesta di rumah Arlan, kita ke sana bareng," pinta Putri saat aku hendak berpamitan.Bimbang menerpaku kali ini. Ingin menuruti permintaan Putri di hari bahagianya, akan tetapi aku baru saja mendapat kabar bahwa ibuku mengalami kecelakaan, jatuh di kamar mandi. Seorang tetangga memberi kabar sepuluh menit yang lalu."Putri, tolong maafkan aku, aku nggak bisa nginep dan ikut acara kamu besok. Tadi, aku dapat kabar kalau ibuku jatuh di kamar mandi, jadi, aku mau melihat kondisi ibu sekarang. Maafkan aku, ya?" dengan berat hati kusampaikan maafku pada Putri.Sebenarnya berat sekali, karena ini hari bahagianya. Namun, aku juga tak tega jika tak melihat kondisi ibuku."Ya Allah, Sa … aku turut prihatin, semoga ibu nggak apa-apa, ya. Ya sudah, hati-hati. Na
Read more
Bab 64
Pikiranku menerawang ke mana-mana. Berharap tak terjadi hal buruk pada Ibu. Hampir satu jam dalam perjalanan, akhirnya aku sampai di halaman rumah ibu. Semoga saja kondisi ibu tak seburuk yang ada dalam bayanganku.Pak sopir membantu menurunkan anakku yang sudah terlelap, juga bingkisan yang tadi diberi oleh Putri."Terima kasih ya, Pak. Ini ongkosnya.""Terima kasih, Mbak. Tapi, ini kebanyakan.""Nggak apa-apa, Pak, ambil aja.""Waduh, jadi nggak enak. Makasih, Mbak. Mari, saya jalan lagi.""Iya, Pak, hati-hati."Taxi berwarna biru telur asin itu segera melaju, meninggalkan halaman rumah ibu. Derunya segera menghilang di kelokan jalan.Aku bergegas masuk saat taxi tak terlihat lagi, tak sabar hendak melihat kondisi ibu. Arsy dan Arkan sudah kubaringkan di kamar. Kamarku sewaktu masih gadis dulu.Terlihat ibu tertidur. Lek Rumi menemani beliau di sana."Gimana kondisi ibu, Lek?"
Read more
Bab 65
"Mbak, badan kamu panas!" seru Hilda ketika tangan kanannya bersentuhan dengan kulit tanganku. Ia menarik tangannya, mungkin terkejut mendapati tanganku yang panas. Ia baru akan pulang karena hari sudah mulai gelap.Aku hanya mengangguk. Sudah sejak pagi tadi aku merasa kurang enak badan. Namun pekerjaan yang sangat banyak membuatku memaksa beraktifitas. Mumpung anak-anak ada di tempat neneknya, pikirku tadi. Jadi cepat kuselesaikan semua rekapan yang tertunda sejak pesta pernikahan Putri."Kamu nggak apa-apa, Mbak? Panas banget lho, ini."Kini ia meletakkan punggung tangannya di dahi dan tengkukku. Wajahnya terlihat cemas. Aku tersenyum melihat kepeduliannya pada kesehatanku."Nggak apa-apa, Dek. Kamu kalau mau pulang, pulanglah, nanti orang tua kamu nyariin, lho," ucapku menenangkan."Nggak apa-apa gimana, orang pucat gini, mana panas. Kita periksa, ya?""Nggak perlu, Dek. Mbak cuma kecapekan, istirahat sebentar nanti juga sehat lagi," ujarku
Read more
Bab 66
Ada rasa hangat yang menjalar, melihat ia sekhawatir ini pada kondisiku."Maaf ya, Dek, kalau Mbak sudah membuat kamu kuatir. Dan terima kasih sudah peduli sama Mbak," suaraku ikut parau saat berkata. Rasa haru menyerang begitu saja.Dokter Murni mulai memeriksa kondisiku setelah kami berjabat tangan. Kudengar beliau menghembuskan napas panjang."Hm ... ,Mbak Lisa, ini sepertinya lambung Mbak Lisa bermasalah. Tensi Mbak juga rendah, hanya 70/100. Panasnya juga tinggi ini, Mbak. Sepertinya Mbak Lisa kecapekan, ya?""Sepertinya begitu, Bu. Memang belakangan ini saya agak sibuk," jawabku merasa bersalah. "Coba diingat, apa ada yang salah dimasukkan ke perut? Sudah lama, lho, Mbak nggak pernah begini sebelumnya," ujar dokter Murni.Beliau benar. Hampir satu tahun aku di sini, belum sekali pun aku memeriksa kondisiku di ruang prakteknya. Sebelumnya, hampir tiap bulan aku langganan periksa di sana."Mungkinkah bubuk cabe dalam mi instant tadi pagi ya, Bu?
Read more
Bab 67
POV MirzaBerhari-hari aku aku diterpa gelisah, karena tak menemukan keberadaan Mbak Lisa di tokonya. Berkali-kali juga kuperiksa GPS, ia berada di tempat yang jauh. Hingga beberapa hari ini, ia kembali ke titik semula. Aku berencana ke sana, untuk melihat kondisinya.Aku baru saja akan memarkirkan mobil saat melihat ada dokter yang keluar dari toko, diikuti seorang karyawati. Toko yang belakangan ini sering kukunjungi, meski hanya dari luar. Hatiku bertanya-tanya, siapa yang sakit, hingga harus mendatangkan seorang dokter?Aku masih memantau dari dalam mobil, hingga dua karyawati yang biasa bekerja di sana ke luar dan meninggalkan toko dalam kondisi pintu tertutup. Tak kulihat Mbak Lisa yang biasanya mengantar mereka pulang hingga ke depan pintu.Kukirimkan pesan, bahwa aku berada di depan tokonya, setelah memastikan bahwa benar dia yang sedang sakit. Aku takut terjadi sesuatu yang buruk, karena ia hanya seorang diri di sana. Aku hanya berharap i
Read more
Bab 68
Ia terperangah saat namanya disebut. Entah apa ada yang salah dengan apa yang telah kusampaikan."Maafkan saya, sebenarnya, saya ingin menyampaikan ini ketika pertama kali kita duduk di depan meja yang sama hari itu, tapi keadaan belum mengijinkan."Aku menangkupkan kedua tangan sebagai bentuk permintaan maaf. Sementara Mbak Lisa, masih terlihat mencerna apa yang baru saja kusampaikan. Sudah ingatkah ia kini?"Takdir telah membawa saya kembali ke kota ini. Saya kembali mencari keberadaan Mbak Lisa. Saya turut berbahagia, saat mengetahui bahwa Mbak sudah menikah dan berkeluarga. Saya menerima kenyataan yang ada. Mungkin, saya terlalu naif, menganggap seseorang yang berbaik hati itu sebagai jodoh, tapi kenyataannya, ia sudah bersanding dengan orang lain, bahkan sudah memiliki dua orang anak.Saya kemudian berhenti mencari tau, karena menganggap Mbak Lisa sudah berbahagia. Sampai hari di mana saya melihat Mbak Lisa datang ke penga
Read more
Bab 69
POV LisaAku masih tertegun setelah mendengar semua yang disampaikan Mas Mirza.Satu sisi hatiku merasa ia tak berdusta, satu sisi yang lain menolak menerima semua yang ia sampaikan beberapa saat tadi.Aku tak bisa secepat ini menerima kehadiran orang baru dalam kehidupanku. Terlebih lagi hendak menjalin hubungan dalam ikatan pernikahan.Jika memang suatu saat aku menemukan orang yang benar-benar tulus mencintai, ia pun harus menerima adanya kedua anakku. Ini tak bisa ditawar lagi. Untuk apa hidup bersama orang yang mencintai aku, tapi tak mau mencintai dan menerima kedua anakku? Lebih baik seperti selama ini, menjalani hidup bertiga. Ya, meski tak dapat dipungkiri kalau anak-anak butuh sosok ayah. Hanya saja, untuk menikah lagi, aku rasa ini terlalu cepat."Maaf, saya tak bermaksud menghina dengan menolak pemberian dari Mas Mirza. Tapi, … ."Tersadar aku akan luka yang mungkin saja kuciptakan beberapa saat lalu ketika mengembalikan pemberian d
Read more
Bab 70
Kini aku beralih pada akun WhatsApp, aplikasi yang pertama kubuka, seperti biasanya. Deretan pesan dari Hilda dan Maya terpampang di sana. Terdapat juga pesan dari Mas Mirza. Oh, iya, aku baru ingat kalau semalam ia berkeras mau menunggu di depan ruko, sebab kuatir dengan kondisiku.Kulihat ke luar jendela, langit masih gelap, dengan satu dua bintang masih terlihat. Di bawah sana, di tempat yang sama, mobil itu masih terparkir. Entah bagaimana ia melobi penjaga parkir, hingga diijinkan menginap di sana. Semua urusan dengan akun WhatsApp telah kuselesaikan, tapi perutku masih sesekali seperti diremas, meski tak sesering sebelumnya. Kuputuskan untuk bergerak. Membereskan apa saja yang tak berada di tempatnya. Melihat sekeliling kamar, bantal dan selimut masih berserakan. Gegas kurapikan dan mengembalikan ke tempat semula.Kuambil sapu dan mulai membersihkan semua yang ada di lantai atas. Sambil membersihkan ruangan, kugiling pakaian koto
Read more
PREV
1
...
56789
...
14
DMCA.com Protection Status