Semua Bab Nafkah yang Disunat Suamiku: Bab 41 - Bab 50
133 Bab
Bab 41
Ponselku berpendar untuk kesekian kalinya. Namun, aku tak berniat menerima panggilan maupun membuka pesan yang masuk ke sana.Kedua bocah kecilku telah terlelap sejak tadi. Nampaknya mereka kelelahan setelah puas naik turun tangga dan melompat-lompat di kasur menjelang tidur. Malam pertama kami di sini, di ruko ini, kami lalui dengan tawa dan canda meski tanpa kehadiran Mas Ari. Keduanya nampak baik meski beberapa kali bertanya kenapa ayahnya tak ikut di sini.Kualihkan pandang ke luar jendela ruko. Lalu lalang kendaraan masih ramai meski malam telah mulai larut. Bintang gemintang memenuhi langit malam ini, menambah indah cuaca cerah yang dipersembahkan Sang Pencipta. Tanpa sadar lisanku mengucap kalimat tasbih berkali-kali.Hatiku menghangat seiring munculnya bulan separuh yang tadi tertutup awan. Alam seakan mengerti, bahwa hatiku pun kini tinggal separuh, setelah kuputuskan untuk memulangkan suamiku pada Mama mertua. Biarla
Baca selengkapnya
Bab 42
Genderang kembali ditabuh di dalam hati begitu aku selesai mendengar pesan ini. Tak pernah menyangka sama sekali dengan semua yang terjadi padaku selama ini.Tanpa terasa butiran-butiran kristal meluncur dari kedua sudut mata tanpa bisa kucegah."Kenapa baru sekarang kamu kirim video ini, Mas?" ujarku seorang diri di sela isakan.***"Jadi begini kelakuan kamu? Pantas saja kau tinggalkan anakku, ternyata demi lelaki ini?"Bibir Mama tersenyum miring saat bertemu mata denganku. Aku tak menyadari kehadirannya, tiba-tiba saja beliau sudah berdiri di depanku.Aku sedang berada di sebuah restoran untuk makan siang yang terlambat bersama Putri dan Arlan. Kenapa terlambat? Karena sekarang jam dua siang, dan kami baru menerima hidangan yang kami pesan. Putri pamit ke toilet sepuluh menit yang lalu saat Mama datang dan berkata tak menyenangkan. Aku merasa tak enak hati dengan Arlan yang melihatku dengan pandangan penuh tanya.
Baca selengkapnya
Bab 43
"Aku nggak tau mesti sedih apa senang, yang jelas aku lega, Sa."Putri memelukku erat, seakan menyalurkan kekuatan padaku. "Kamu kuat ya, sama anak-anak. Pokoknya panggil aku jangan sungkan kalau butuh. Kamu nggak sendirian, ingat itu," ujarnya menegaskan."Iya, makasih ya, tuan Putri."Kami menangis haru bersama. Hampir tiga bulan menjalani proses sidang yang alot karena Mas Ari menolak. Namun begitu rekaman perbincangan mereka kujadikan bukti dan sebab pengajuan cerai, akhirnya hakim memutuskan menyetujui gugatanku. Ditambah lagi dengan video kiriman Mas Imam, semakin memuluskan permohonanku.Hak asuh anak jatuh ke tanganku. Mas Ari meradang, begitu juga dengan Mama.Selama tiga bulan pula Mas Ari tak henti memohon supaya aku berubah pikiran."Pikirkan anak-anak yang akan tumbuh tanpa orang tua yang lengkap, Dek," ujarnya memohon.Bukan aku tak memikirkan hal itu. Namun anak-anak butu
Baca selengkapnya
Bab 44
"Apa rencanamu setelah ini, Sa?" Pertanyaan Putri, kembali menyadarkan aku, bahwa kini ada hal yang lebih penting untuk kupikirkan, yakni masa depan.Masa depan yang lebih panjang yang akan kujalani bersama kedua anakku. Tak mau lagi terpuruk oleh perpisahan ini, anak-anak membutuhkan aku."Aku sedang mencari tempat tinggal, kalau ada info tolong kabari ya. Kan nggak mungkin anak-anak tinggal di sini terus-menerus. Di sini terlalu ramai, kadang mereka tidur terlalu malam karena asyik melihat lalu-lalang kendaraan yang melintas di sana."Aku menunjuk jalanan yang masih ramai, sedangkan waktu sudah pukul sepuluh malam. Putri mengangguk-anggukkan kepala."Baiklah, aku mengerti. Nanti kukabari secepatnya."Ia genggam tanganku, menguatkan sekali lagi. Lalu kami saling melempar senyum dan mengangguk bersamaan.Hari baru telah menyambutku dengan status baru. Janda. Status yang menjadi momok bagi sebagian wanita. Stat
Baca selengkapnya
Bab 45
Matahari belumlah tinggi. Aku baru saja selesai membantu kedua anakku berganti baju sepulang sekolah. Pintu kamar terdengar diketuk dari luar. Wajah panik Hilda menyembul begitu kubuka lebar daun pintu."Mbak Lisa, ada yang nyari di bawah," ucap Hilda begitu tatapan mata kami beradu.Aku mengernyitkan dahi, mencoba mengingat apa ada janji dengan seseorang hari ini. Hilda nampak gelisah."Sebaiknya Mbak Lisa temui sekarang, ya, soalnya kemarin juga ke sini ngamuk-ngamuk, saya takut, Mbak."Hatiku bertanya, siapa yang mencariku hingga mengamuk di tokoku. Tak banyak kerabat yang mengetahui kalau aku pemilik toko ini. Selain Putri dan ibu serta adikku, tentunya. Pesaing bisnis juga kurasa tak akan melakukan hal sebo doh itu. Hanya membuang energi saja mengamuk di tempat orang lain mencari nafkah. Masih banyak hal yang bisa dikerjakan yang lebih bermanfaat dari sekedar meluapkan emosi di tempat umum."Baiklah, say
Baca selengkapnya
Bab 46
"Apa katamu? Mengembalikan anakku?"Mama melebarkan mata. Oh Tuhan, apa beliau lupa kalau aku dan Mas Ari kini sudah mantan?"Iya, Ma. Mama masih ingat bukan, kalau palu hakim sudah diketuk. Lisa dan Mas Ari sudah resmi bercerai, Ma," ujarku menegaskan."Itu benar, Mama tentu masih ingat, dan tak akan lupa dengan perempuan di depan Mama yang sudah menginjak harga diri anak Mama."Mama berhenti sejenak, menjeda kalimat sambil mengatur napas."Yang mau Mama tanyakan, bagaimana kamu bisa tinggal di ruko itu? Ada hubungan apa kamu dengan pemiliknya?" tanya Mama penuh penekanan di setiap kata yang beliau ucapkan.Aku sendiri terkesiap dengan pertanyaan Mama. Untuk apa beliau mencari tahu hubunganku dengan pemilik ruko?"Mama sayang … mungkin ini saat yang tepat untuk Lisa memberi tahu Mama, bahwa Lisa pemilik ruko itu."Aku berusaha menjawab dengan tenang, meski dadaku bergemuruh karena terusik dengan kehadiran manta
Baca selengkapnya
Bab 47
Lalu lintas di jalan raya semakin ramai, seiring beranjak naiknya matahari jelang siang ini.Langkah panjangku bergerak meninggalkan kafe. Ingin segera kembali ke kamar, lalu menghabiskan hari bersama kedua anakku. Tak kuhiraukan Mama yang masih duduk di tempat dengan sorot mata yang sulit diartikan.Aku lelah, ya Rabb … ."Lisa!"Aku yang baru akan masuk ke toko, menghentikan langkah seketika. Terlihat Mama tergopoh-gopoh mengejar langkah kakiku."Lisa, tunggu!"Aku berdiri mematung di depan toko, menunggu Mama yang tinggal beberapa langkah lagi sampai. "Ya, Ma? Ada yang bisa Lisa bantu?" tanyaku begitu Mama sampai dengan napas terengah. Keningku mengernyit melihat kehadiran wanita yang telah melahirkan suamiku. Mama memaksakan senyum, terlihat sekali dari gerak bibirnya."Ini … benar toko kamu, kan?"Agak ragu Mama bertanya, yang membuat aku mengernyitkan kening."Benar,
Baca selengkapnya
Bab 48
Aku berharap kami akan menjadi mitra bisnis yang bisa bekerja sama untuk ke depannya.***Di sinilah sekarang, sebuah kafe dekat toko pakaian milikku, bersama kedua anakku. Tempat yang sama yang kudatangi sebelumnya bersama ibu mertua. Kedua anakku asyik menyesap jus buah naga kesukaan mereka.Menunggu sepuluh menit, seseorang dengan kemeja batik mendekat ke arah kami. Ya, aku telah memberikan nomer meja tempatku duduk sebelum ia datang. "Selamat siang ibu Lisa. Hai anak-anak yang manis," ucapnya menyapa kami.Pak Ilham nampak mengernyitkan saat melihat dua anak yang duduk bersamaku."Mereka anak-anak saya, Pak. Maaf ya, saya harus membawa mereka serta," jelasku sebelum beliau bertanya. Tak lupa aku menangkupkan kedua tengan sebagai permintaan maaf."Oh, tidak apa-apa Bu Lisa. Jadi begini, maaf langsung saja ya. Jadi saya sedang membuat sebuah toko kue. Nah, saya mencari pemasok yang bisa mengisi toko saya. T
Baca selengkapnya
Bab 49
Sore menjelang, ponselku berbunyi saat kedua anakku menonton kartun kesayangan sambil menikmati cemilan.Putri memanggil. Aku bergegas menerima panggilannya."Sa, aku otw, kamu siap-siap ya, nanti kujemput. Masih di toko, kan?"Celoteh Putri memberondong indera pendengaran begitu tombol hijau kuklik."Masih Put, ya udah hati-hati.""Bye Sa, salam buat anak-anak, ya.""Oke Putri."Klik. Panggilan terputus. Aku berusaha memaklumi, mungkin Putri sedang terburu-buru, hingga tak mengucap salam."Siapa, Bu? Tante Putri?" tanya anak sulungku begitu aku meletakkan ponsel di atas nakas."Iya sayang. Kita siap-siap yuk, habis ini kita jalan sama Tante Putri," ajakku kemudian. Keduanya mengangguk, kemudian memilih pakaian yang mereka suka dari dalam lemari. Kebetulan mereka berdua sudah selesai mandi."Kita mau ke mana, Bu?""Mau jalan-jalan. Kakak sama adik, mau lihat rusa, nggak?"
Baca selengkapnya
Bab 50
"Hem ... Sepertinya kamu salah orang kalau mau minta nasehat, bukankah kamu sendiri tahu kalau aku sudah gagal, Put.""Enggak Sa, buat aku kamu tuh enggak gagal, justru kamu hebat bisa bertahan sampai sejauh ini. Mungkin jodoh kamu bukan dia, iya kan? Kamu jangan sedih ya?"Digenggamnya lenganku. Wajahnya mulai terlihat khawatir. Kugelengkan kepala, menyangkal ucapannya. Aku memang tak lagi bersedih atas perpisahan yang terjadi."Enggaklah, sudah biasa aku Put. Aku kuat begini ya karena anak-anak. Aku harap, pernikahan kamu nanti langgeng sampai maut memisahkan.""Aamiin ... .""Udah sore nih, kita cari makanan yuk, laper nih."Kebetulan juga kangkung yang dipegang kedua anakku sudah habis, kini mereka bergerak mendekati aku dan Putri yang duduk manis di pinggir kandang besar berisi puluhan rusa."Ibu, haus Bu, beli itu boleh, nggak?"ucap anak bungsuku sambil menunjuk penjual es krim putar yang sedang melayani pembe
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
34567
...
14
DMCA.com Protection Status