“Ibu dengar Bram sudah kembali ke kota,” kata Aminah sambil menaruh semangkuk gule ayam di meja.“Baguslah,” jawab Intan singkat dan meneruskan kegiatannya mengiris kubis sebagai pelengkap.“Apa kamu yakin dia tidak kembali lagi ke sini?” tanya Aminah dengan nada ragu penuh kehati-hatian.“Intan bisa apa untuk melarangnya. Desa ini bukan milik Intan.”“Bukan itu yang ibu maksud, kamu tahu pasti ‘kan?”Intan mengangguk. “Paham sih. Intan juga nggak tahu harus bagaimana.”“Sebaiknya kamu pikirkan. Terus terang ibu sama Bapak risih dengan gunjungan orang tentangmu. Kamu bahkan dituduh kumpul kebo.”“Abaikan saja, Bu. Lagipula Intan dengar Ibu kemarin sempat ribut sama Bu Buya karena membelaku.”“Oh iya, andai rujak yang ibu makan belum habis sudah ibu siram masker mukanya dengan bumbu rujak.”“Jangan begitu lain kali, Bu. Biarkan saja, nanti juga kalau capek akan berhenti sendiri.”Aminah menghela napas kuat-kuat, gemuruh di dadanya kembali menyeruak. Kesal tak terperi kembali teringat d
Read more