All Chapters of INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak): Chapter 21 - Chapter 30

35 Chapters

Chapter 20 Jangan Janda

Rizky baru saja keluar dari warung yang tak jauh dari rumah Intan saat melihat Surdi melompat dari pagar rumah wanita pujaannya dari samping. Tanpa mengulur waktu ia segera menghidupkan sepeda motor dan mengejar Surdi. Surdi yang tahu dibuntuti segera berbelok di sebuah gang dengan jalan tanah menuju kebun milik warga. Namun suara teriakan dari Rizky menghentikan langkahnya dan berbalik menatap pria yang segera turun dari motor dan menghampirinya.“Mas Rizky saya kira siapa,” ujarnya dengan tatapan yang tampak lega ta seperti tadi yang sangat panik, tapi bentakan Rizky membuatnya kembali waspada dan ketakutan.“Kamu ngapain loncat dari pagar rumah Intan? Kamu sudah lupa arah gerbang depan?!”“Eh… bukan gitu, Mas,” balasnya tergagap.“Lalu apa yang kamu lakukan di sana? Mau maling kamu ya?”“Wah, jangan asal Mas. Saya nggak semiskin itu sampai harus mencuri. Lagi pula apa yang mau dicuri. Intan itu nggak punya apa-apa yang bisa dimaling.”“Apa kamu bilang?! Jadi kamu memang menyusup ke
Read more

Chapter 21 Kabar Buruk

Suara Guntur bersautan bersaing dengan deru berisik angina yang tak mau kalah memekakkan telinga dan membuat dahan bandel pohon mangga menggebrak daun jendela kamar tidur Melia. Wanita muda itu menatap kekacauan badai diluar sana dengan sorot mata penuh amarah.“Katakan jika kamu hanya bercanda.”“Tidak, aku tidak bercanda,” balas pria bertelanjang dada setengah rebahan di ranjang, yang tak lain adalah Bagus.“Bagaimana bisa Mas Bram bersama dengan Intan. Dia menyusul ke sana? Rasanya tidak mungkin, sudah pasti Intan merayunya.”“Tidak hanya merayu, dari info yang aku dapatkan bahkan mereka satu hotel.”“Apa?!” Melia berbalik badan dan melotot marah kepada Bagus.“Bukan satu hotel tapi satu kamar hotel.”“Jangan mengada-ada. Mana mau Mas Bram dengan perempuan cacat seperti Intan.”“Kamu lihat wajahku, apa aku terlihat sedang berbohong. Bram keluar lebih dulu dari kamar dan Intan bersama dengan pesuruhnya itu keluar tidak lama kemudian.”“Kenapa kamu nggak bilang sama aku?” tanya Mel
Read more

Chapter 22 Desas desus semakin merajarela

Intan meraih cangkir berisi teh jahe hangat. Pagi ini hujan masih turun dan depan rumah sudah bising. Abraham bersama dua tukang sedang membetulkan kanopi di depan ruang Bimbel yang lepas karena kencangnya badai semalam. Sudah seminggu lamanya pria itu setiap hari datang ke rumahnya. Dari pagi sampai sore hari. Seolah ia sama dengan para pekerja di sana. Tanpa mengeluh sedikitpun jika Intan sibuk dan tidak sempat menyapa. Bukan, bukan tidak sempat sebetulnya hanya saja Intan mengurangi kedekatan fisik. Desas-desus semakin merajalela, sindiran selalu ada untuknya yang dikatakan wanita tidak punya malu. Wanita yang tak punya harga diri sudah diperlakukan semena-mena tetapi masih mau menerima. Itu tuduhan dari mereka para pembenci pria, alias mereka yang memang sudah merasakan pahitnya dikhianati sehingga menganggap Intan orang yang lemah. "Kamu nggak harus melakukan itu," Kata Intan begitu Abraham berhadapan dengannya. Pria itu menghentikan kegiatannya begitu melihat Intan datang de
Read more

Chapter 23 Amanda Mengamuk

Amanda membuka gorden di jendela kamar melia dengan kasar. Ia muak melihat kakaknya terpuruk dan sangat mengenaskan seperti ini. Amanda sangat tahu apa yang terjadi dengan kakaknya, aduan dari salah satu pembantu sudah sampai padanya. Begitu juga bau seks yang masih kental. Ia menengok pada keranjang sampah dan mendapati kondom yang habis terpakai. Hanya saja dengan siapa ia tidak tahu.Amanda menghela napas panjang, menatap ke arah ranjang yang berantakan sama dengan perempuan yang tidur tertelungkup dengan mulut terbuka dan lingkaran gelap berada di kedua kantung matanya.“Bangun!” ujarnya jengkel seraya menampar salah satu telapak kaki Melia yang mengintip dari balik selimut.Terdengar erangan protes dari si Empunya telapak tetapi tak kunjung bergerak.“Bangun pemalas!” bentak Amanda kali ini dengan berkacak pinggang.“Ngapain sih kamu ganggu aja!” balas Melia tanpa masih dalam posisi yang sama. “Kepalaku sakit banget.”“Jelas. Dari mana kamu dapat Vodka ini?” tunjuk Amanda ke boto
Read more

Chapter 24 Abaikan Saja

“Ibu dengar Bram sudah kembali ke kota,” kata Aminah sambil menaruh semangkuk gule ayam di meja.“Baguslah,” jawab Intan singkat dan meneruskan kegiatannya mengiris kubis sebagai pelengkap.“Apa kamu yakin dia tidak kembali lagi ke sini?” tanya Aminah dengan nada ragu penuh kehati-hatian.“Intan bisa apa untuk melarangnya. Desa ini bukan milik Intan.”“Bukan itu yang ibu maksud, kamu tahu pasti ‘kan?”Intan mengangguk. “Paham sih. Intan juga nggak tahu harus bagaimana.”“Sebaiknya kamu pikirkan. Terus terang ibu sama Bapak risih dengan gunjungan orang tentangmu. Kamu bahkan dituduh kumpul kebo.”“Abaikan saja, Bu. Lagipula Intan dengar Ibu kemarin sempat ribut sama Bu Buya karena membelaku.”“Oh iya, andai rujak yang ibu makan belum habis sudah ibu siram masker mukanya dengan bumbu rujak.”“Jangan begitu lain kali, Bu. Biarkan saja, nanti juga kalau capek akan berhenti sendiri.”Aminah menghela napas kuat-kuat, gemuruh di dadanya kembali menyeruak. Kesal tak terperi kembali teringat d
Read more

Chapter 25 Pembatalan Perceraian

Abraham melambatkan langkah begitu dekat dengan ruang tempat Intan di rawat dan bertemu dengan CS yang sedang membersihkan ruangan tesebut.“Istri saya mana ya, Mbak?” tanyanya kebingungan, keringat dingin sudah mulai membasahi punggung. Panik jelas, serta penasaran di mana gerangan sang istri apalagi orang yang ia suruh menjaga saat ia pulang semalam juga tak nampak batang hidungnya.“Sudah pindah rumah sakit, Pak.”Abraham kaget setengah mati, ini baru hari kedua dan seingatnya saat ia semalam meninggalkan Intan. Wanita yang melalui tahap perceraian dengannya itu masih belum sadarkan diri setelah operasi.“Pindah ke mana?”“Waduh, kurang tahu saya. Bisa ditanyakan ke bagian informasi, Pak. Maaf permisi.”Abraham menepi memberi  jalan untuk dua orang di depannya mendorong troli laundry pergi. Setelah bisa menguasai diri dari rasa t
Read more

Chapter 26 Biasa Ingkar Jani

Cuaca hari ini terasa sangat hangat, matahari masih dengan setia menerangi walau kini jam sudah menunjukkan pukul 17.30 menit. Jalan kampung tepat di depan rumah Intan pun masih ramai orang berlalu lalang, bahkan anak-anak tetangga yang mulai banyak bermain petasan pun masih berkeliaran. Sudah terhitung dua bulan lamanya Abraham kembali ke kota dan belum menampakkan batang hitungnya lagi. Terakhir mereka berkomunikasi adalah seminggu setelah ia kembali ke kota.“Maaf Sayang aku tidak bisa kembali secepat yang aku janjikan. Padahal aku ingin sekali membawamu segera ke kota dan supaya kamu lebih mudah untuk terapi,” janji Abraham kala itu.“Kamu ‘kan sudah biasa ingkar janji.”“Bukan. Aku harus menyelesaikan sesuatu demi masa depan kita. Kamu tidak perlu bekerja, Kamu sudah buktikan sendiri bukan? Kalau semua yang kamu lakukan di sana mendapatkan pertentangan oleh warga.”“Menjad
Read more

Chapter 27 Hati yang terkoyak

Intan dan yang lainnya sampai di rumah tetapi suasana sudah sepi. Hamdani duduk di ruang tamu seraya memegang sebuah dokumen. Ia terus menyuruh semuanya duduk bersama.“Ke mana orang-orang, Pak?” tanya Intan.“Sudah pulang.”“Lalu itu apa?” tanyanya dengan tidak sabar.“Ini adalah surat kesepakatan warga. Kamu harus pindah dari desa ini.”“Maskudnya Mbak Intan diusir?!” tanya Noto kaget.“Iya To.”“Loh, kok gitu?! Memang salah apa? Apa karena berhenti kerja, ‘kan memang kemauan sendiri,” ujar Noto.“Lagi pula fitnah berkedok gosip itu juga sangat terlalu, jelas-jelas tidak benar,” tambah Izar.Hamdani menghela napas Panjang. “Bapak juga bingung kenapa orang-orang berpikiran pendek.”“Demi kebaikan sih memang kamu mending pindah, Mbak,” ujar Izar.“Duit dari mana untuk pindah?&r
Read more

Pulang Ke Rumahku

“Benar Dokter, Teteh saya sudah sembuh?”“Benar Pak Ham.”“Kenapa sampai hampir 30 tahun baru sembuh?” tanya Hamdani kebingungan. Saat ini ia sedang menghadap ke Dokter Kejiwaan di Panti Rehabilitasi Kejiwaan.“Kita nggak tahu rahasia Tuhan. Saya hanya seorang Dokter, saya perantara sementara kesembuhan sendiri adalah hak prerogative Tuhan tentu saja. Suatu mukjizat untuk Nyonya Ajeng Rahwani bisa sembuh.”“Kalau boleh tahu progresnya bagaimana sampai akhirnya bisa dinyatakan sembuh?”“Ada seseorang yang sering menjenguk ke sini. Tapi beliau tetap ingin bertemu anaknya. Itulah sebabnya saya menghubungi Bapak.”“Kenapa selama ini kalian nggak kasih tahu saya kalau ada orang lain yang menjenguk Teteh saya, Dok?”Dokter Teguh menundukkan kepalanya. Ia sejujurnya merasa bersalah juga bagaimanapun Hamdani selaku keluarga kandung pasien seharusnya yang paling berhak menentukan siapa saja yang bisa membesuk Kakak Perempuannya.
Read more

Sama-sama Tahu

 “Intan anakku,” jawab Hamdani.“Anakmu? Bukannya Risa, namanya?” tanya Ajeng kembali memastikan mencocokan dengan ingatannya yang mulai membaik.“Risa dan Intan.”Ajeng menggeleng dan tersenyum tipis. “Kita sama-sama tahu Hamdani. Kamu hanya dikaruniai satu anak. Intan pasti anakku, bukan? Kamu akhirnya menemukan dia.”Hamdani dan Aminah lalu terduduk di lantai. Terpekur dengan bahu merosot tak berani beradu pandang kepada Ajeng dan Wira.Ajeng dan Wira pun kaget dengan tingkah keduanya. “Ada apa ini?” Wira paham, jika Intan adalah anak Ajeng sudah pasti itu juga adalah anaknya. Berapa usianya 27 tahun?Hamdani dan Aminah masih terdiam.“Ada apa? Katakan, jangan membuat bingung kami,” ujar Ajeng yang kebingungan.“Hamdan tolong jawab, Tetehmu. Kamu nggak mau dia bingung lagi ‘kan?”Hamdani menangkup kedua tangan di depan dada. “Maaf Teh, aku sudah lama menemukan tapi aku juga teledor. Banyak
Read more
PREV
1234
DMCA.com Protection Status