Semua Bab Menantu Bintang Lima: Bab 21 - Bab 30
96 Bab
Pusing
"Kamu sih, nggak ikhlas!" Mourin baru sampai di taman bunga belakang ruang ICU dan sudah langsung memaki. "Begini kan, jadinya?"Aku diam. Untuk apa menangkap bola api? Tidak berguna sama sekali. Bisa-bisa aku yang hangus terbakar. Apa pun yang terjadi, jangan sampai diri ini semakin terluka. Aduh, bagaimana ya, membahasakannya? Bukan berarti aku menari-nari di atas kritisnya Mas Arfen."Kok, kamu diam?" bentak Mourin sambil merapatkan rahang. Memandang super tajam dan dalam. "Mirah!"Aku jelas terpancing. Dia tidak berhak bersikap seperti ini terhadapku. "Ya. Saya!""Kok kamu malah diam kayak gini, sih?" Mourin mulai menangis, lalu sambil terisak-isak memberikan penjelasan, "Ternyata salah satu unsur darahku nggak cocok sama Mas Arfen. Kita harus secepatnya nyari darah golongan AB, Mirah. Kalau nggak …?""Apa? Kalau nggak, apa?" aku sengaja menajamkan tone suara. Tidak perlu tinggi atau keras karena kami di tempat umum. "Kamu bukan Tuhan, Mourin. Jadi, nggak usah sok tahu! Hanya Tuha
Baca selengkapnya
Mencoba Untuk Bersabar
"Gimana, Mirah?" Mourin semakin memojokkanku. Memain-mainkan ujung rambut panjang sebahunya yang ikal dan pirang. Memandang dengan sorot mata setajam duri bunga mawar. "Kalau kamu setuju, aku akan segera membebaskan Mas Arfen!" Negosiasi yang sempurna. Sangat sempurna. Mourin memintaku merestui pernikahannya dengan Mas Arfen. Itu kalau aku mau Mas Arfen bebas. Bagaimana caranya, Mourin mengatakan aku tak perlu tahu. Cukup menyetujui permintaannya dan beres. "Jadi benar, selama ini kalian selingkuh?" aku jelas meradang dan tak sedikit pun berusaha untuk menutupinya. Terus terang aku tak mau berpura-pura lagi. Pura-pura kuat, pura-pura bahagia, pura-pura baik-baik saja dan semua kepura-puraan yang lain. "Tolong jelaskan, Mourin!"Prok, prok, prok!Mourin bertepuk tangan riang sekaligus sinis. "Menurut kamu? Hahahaha, Mirah, Mirah! Harus berapa kali kukatakan, Mas Arfen itu sudah jatuh cinta sama sejak pertama kali kami bertemu.""Kapan itu?" "Sehari setelah dia melamar kamu!"Ha, apa
Baca selengkapnya
Trik Licik Harum
Aku memilih duduk di bangku taman bunga samping klinik, membaca buku sambil menunggu Mama selesai terapi. Takdir memang misterius. Mama yang terlihat sekuat baja pun akhirnya tumbang juga. Memang bukan kenyataan yang manis, bukan perkara yang mudah, Mas Arfen harus mendekam di balik jeruk besi. Aku sendiri mengakuinya, kok. Ini berat sekali, pahit sekali. Tetapi jujur, rasanya tak percaya, Mama bisa menjadi selemah ini sekarang. Miss Clara menjatuhkan diagnosa depresi berat. Jadi, harus menjalani psikoterapi secara rutin supaya lekas pulih. Bersyukur, Mama menurut, tidak melakukan perlawanan yang berarti walau kadang-kadang rewel juga. "Non Mirah!" suara khas Mbak Sri menarikku keluar dari ruang pemikiran tentang Mama yang membuat pusing. "Ibu gimana, Non?"Kami sudah membuat kesepakatan tadi, Mbak Sri akan menyusul ke klinik kalau pekerjaan di rumah sudah beres. Aku sendiri sengaja datang lebih pagi ke rumah Mama, agar tidak tergesa-gesa. Maklum, perut sudah semakin berat dan tida
Baca selengkapnya
Dalam Tumpukan Konflik
Aku menyambut kedatangan bestie, 4 Little Stars di teras. Serta merta keharuan menyelimuti hatiku, begitu juga dengan kebahagiaan. Bagaimana tidak? Dalam rintik hujan yang cukup deras seperti ini, mereka tetap datang sesuai rencana semula. Tak seorang pun absen, bahkan masing-masing orang membawa oleh-oleh untukku. Bukan oleh-olehnya lho, yang penting tetapi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Wah, istimewa sekali! "Thanks banget, Bestie!" riang gembira aku berseru. "Serius nih, aku terharu banget." Satu per satu Bella, Brilliant dan Rafael menyalami aku lalu beriringan masuk ke ruang tamu. Suasana malam ini benar-benar hangat. "Mir, sorry banget ya, kami baru bisa datang jenguk kamu?" Rafael membuka pembicaraan. "Sorry juga, nggak bisa ikut bantu pindahan kemarin." Brilliant mengulum senyum, menimpali permintaan maaf Rafael. "Sebenarnya kami sudah berusaha sih, Mir. Tapi, yaaah, tabrakan sama jadwal kerja. As you know lah, Mir." Bella nyengir kuda poni. Memandang kami sa
Baca selengkapnya
Pilihan dan Kenyataan
Mommy tersenyum sedih. Meletakkan jari-jemari tanganku ke dalam genggaman hangat. Tersendat-sendat menahan tangis Mommy bertanya, "Kenapa kamu nggak pernah cerita sama Mommy, Mirah?" "Mirah minta maaf, Mommy." "Ya, Mommy sudah maafkan kamu. Tapi kenapa, Mirah, kamu pikul beban yang seberat ini sendiri? Kamu tahu kan, Mirah, Mommy selalu ada buat kamu?" Sedih, aku mengangguk dan hanya itu yang bisa aku lakukan. Dalam hal ini, aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Kelu. Terlalu bisu untuk mengucapkan sesuatu. Ya Tuhan! "Mirah …!" Mommy mempererat genggaman tangannya. Tak pelak, air mata menetes juga. Aku yakin, Mommy juga tak pernah menyangka, puteri semata wayangnya akan mengalami nasib yang seburuk ini. Kelam. "Apa yang akan kamu lakukan sekarang? Oh, nggak mungkin kamu keluar dari rumah ini, sebelum bayi kalian lahir. Emh, biar Mommy saja yang di sini ya, temani kamu?" Tanpa berkata-kata, hanya dengan air mata yang kian deras mengalir, aku memeluk Mommy. Erat dan hangat. Kini, Mo
Baca selengkapnya
Mourin Isteri Arfen?
"Ah, sakit, Mas Arfen!" rintih Mourin sambil mencengkeram saku jas putih Arfen. "Sakit, Mas. Hah, hah, hah …!" "Ya. Sabar ya, Mourin. Sabar, sebentar lagi bayi kita lahir, kok. Sudah pembukaan lengkap. Tinggal nunggu kepala bayi sandar. Habis itu, kamu boleh ngeden. Semangat, Mourin, sebentar lagi kita bertemu dengan buah hati kita. Mutiara Surga." "Aaaaaaa … Sakit, Mas!" Mourin semakin kesakitan. "Hah, hah, hah … Aku mau dioperasi saja, Mas. Ini sakit banget, hah, hah, hah." "Sabar, sabar." kata Arfen sambil melap keringat di kening Mourin dengan tisu. Memberinya minum air mineral dengan pipet. Mengusap-usap kepalanya yang yang terlihat basah. "Tarik napas, keluarkan. Tarik lagi, keluarkan lagi. Jangan ngeden dulu ya, nanti malah bengkak jalan lahirnya. Tenang, tenang!" "Huh, huuuh! Sakit, Mas, sakit, aaaaaa …!" Sampai di sini, Arfen panik. Belum pernah dia merasa sepanik ini sebelumnya. Benar, sudah puluhan pasien dia tolong tetapi baru kali ini dia menolong persalinan seseorang
Baca selengkapnya
Meluruskan Benang Kusut
"Mirah!" pekik Mommy ketika pintu terbuka secara perlahan-lahan. "Ya Tuhan, Mirah …?" Mommy duduk bersimpuh di depanku yang berdiri tegak dengan lilitan selendang panjang di leher. Entah, apa yang sudah merasuki diriku sehingga seputus asa ini. Sekarang pandanganku lurus ke depan namun kosong, tanpa senyuman apalagi kata-kata. Tidak ada sama sekali. "Apa yang kamu lakukan, Sayang? Ingat, Mirah, sadar. Ada Baby Twins di perut kamu. Sebentar lagi mereka akan terlahir ke dunia. Sadar, Mirah, sadar. Jangan putus asa, ya? Masih ada Mommy, Mirah. Mommy akan selalu ada buat kamu, Sayang." Detik berikutnya, Mommy berdiri. Melepaskan lilitan selendang panjang di leherku. Air matanya berderaian seperti hujan. "Tuhan marah kalau kita putus asa, Mirah. Tuhan murka. Kita harus lebih banyak bersyukur, Mirah. Tak terhitung nikmat-Nya untuk kita. Arfen atau siapa pun itu bisa saja meninggalkan kamu tapi Mommy nggak, Mirah. Nggak akan pernah." "Mir---Mirah minta maaf, Mommy." "Ya, Mirah. Ngga
Baca selengkapnya
Ancaman Mourin
Aku lebih dari terkejut, berlipat-lipat ketika tiba-tiba Mourin ada di belakang kami. Mommy juga terlihat sangat terkejut, wajahnya sampai berubah menjadi pucat. Mungkin sama sepertiku, takut kalau-kalau Mourin serius dengan ancamannya kemarin. Apakah itu? Mencelakai kami termasuk Mama. "Hemh, masih berani juga ya kalian berkeliaran di sini?" Mourin merendahkan sekaligus melembutkan suara. Memasang wajah cerah dan hangat. "Nggak takut? Oh, pasti kalian berpikir aku main-main. Iya, kan?" Ketakutan, Mommy memandangku. Menggenggam tangan ini erat-erat. Dari sorot matanya aku tahu, Mommy mengajak untuk melanjutkan perjalanan pulang. Sejujurnya aku pun menginginkan hal yang sama tetapi bagaimana dengan Mourin? Apa tidak tersinggung kalau kami tinggal pulang begitu saja? Mungkin pemikiran ini bodoh namun demikianlah adanya. "Maaf, Mourin … Kami harus cepat pulang." lega sekali rasanya karena berhasil mengucapkan kata-kata manis itu. Setidaknya aku bisa bersikap lebih baik dari pada Mouri
Baca selengkapnya
Arti Cinta
"Kamu beneran mau nikah sama aku, Mas?" tanyaku waktu itu di saluran telepon yang cukup jernih. Mas arfen meneleponku dari klinik karena katanya masih ada sedikit waktu sebelum berangkat ke rumah sakit. "Yakin, kamu nggak akan menyesal, Mas?" "Iya. Yakin. Kenapa harus menyesal, Sayang?" "Ya, mana tahu kan, Mas?" sahutku sambil melanjutkan menggambar bunga Kamboja merah jambu di buku diary. Itulah uniknya aku. Selain menulis, buku diary juga aku gunakan untuk menggambar apa saja yang kuinginkan. "Kamu kan, dokter spesialis kandungan sedangkan aku, lulus kuliah pun belum. Ini aku baru selesai KKN lho, Mas. Masih harus nyusun skripsi …!" "Nggak masalah itu, Sayang. Memang harus begitu prosesnya. Aku bersedia menunggu sampai kamu lulus kuliah." Aku auto jingkrak-jingkrak di kamar. Seketika hati rapuh oleh traumaku ditumbuhi oleh berjuta-juta kebahagiaan. Berbunga-bunga, manis dan indah. "Serius, Mas? Tapi masih lama banget lho, Mas. Dua semester lagi, lah." "Nggak masalah, Say
Baca selengkapnya
Naufal
Ha, apa, Naufal?Naufal yang itu? Maksudku Naufal yang menyukai aku sejak SMA kelas satu dulu itu? Dia, laki-laki yang sudah membuatku patah hati bahkan sebelum sinyal cinta itu berdenging? Dia malah mati-matian mendekati Abrina. Padahal jelas, aku selalu gila setiap kali bertemu dengannya. Parah tidak sih, kalau seperti itu? Ya, gila. Salah tingkah, mempercantik diri, mempermanis pembawaan, melembut-lembutkan perkataan. Sampai-sampai aku tidak berani bernapas. Takut kalau-kalau mulutku bau bakwan, siomay atau batagor. Ugh, aku juga takut kalau mendadak buang angin, serius. Dan sekarang dia datang. Justru di saat aku sudah menjadi isteri Mas Arfen. Sebenarnya, anak manusia bernama Naufal itu punya hati tidak, sih? Kalau punya, hatinya berisi perasaan atau tidak? "Na---Naufal, Mom?" tanyaku sambil membuka pintu. "Naufal Tasnim?" Mommy memandangku dengan senyum gembira mereka di bibir. "Iya, Naufal teman SMA kamu dulu. Temui dulu, gih. Kasihan dia, jauh-jauh datang dari Bali."Ha, B
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
10
DMCA.com Protection Status