Semua Bab Perempuan Masa Lalu Suamiku: Bab 31 - Bab 40
141 Bab
Bab 31: Bisakah Kita Bertemu
“Selamat ya, Lin. Akhirnya selesai juga.” Dini memeluk Lintang yang baru saja keluar dari ruang sidang jurusan. Hari ini sahabatnya menuntaskan studinya dan berhasil mendapat nilai A.“Makasih, Din. Makasih banyak,” ujarnya tulus. “Ayo kita pulang sekarang. Kamu harus siap-siap buat besok,” ujar Lintang setelah Dini mengurai pelukan. Besok menjadi giliran Dini untuk ujian skripsi.Dini mengangguk lalu menggamit lengan Lintang dan berjalan beriringan menuju parkir. Sepuluh menit kemudian keduanya sudah berada di kost Dini. Lintang sengaja menginap di kost Dini sejak tiga hari lalu untuk latihan presentasi. Prof. Kathrina memintanya presentasi dalam bahasa Inggris sehingga Lintang harus melakukan persiapan ekstra.Matahari sudah merangkak ke barat ketika Dini keluar ruang sidang jurusan. Ia memang mendapat jadwal jam terakhir. Lintang memeluk erat sahabatnya yang juga berhasil mendapat nilai A.“Duh, alhamdulillah kamu latihan presentasi di kostku. Aku jadi banyak belajar dan punya cad
Baca selengkapnya
Bab 32: Awal dan Akhir
Setelah terpaku beberapa detik, Lintang meraih jemari kukuh Satya lalu mencium punggung tangannya. Ia bersyukur tidak ada siapa pun di sana karena kantin sudah tutup. “Sa-saya kira Mas Satya nggak beneran ada di sini.” Mendadak rasa gugup meraja. Lintang melihat wajah Satya sekilas lalu menunduk. Ia tidak sanggup berlama-lama melihat senyum yang membuat hatinya meleleh. Ia khawatir terlanjur jatuh cinta dan akan terlalu sakit kalau saat perpisahan tiba. “Ngapain nge-prank jauh-jauh dari Bandung ke Jogja?” Satya tertawa. “Kamu udah beres kuliah atau masih ada kerjaan?” “Udah selesai. Ini mau pulang.” Lintang memberanikan diri mendongak. Perlahan detak jantungnya mulai normal. “Kalau gitu, kita jalan, yuk. Di mana tempat makan paling enak di Jogja?” tanya Satya antusias. “Eng, anu ….” Lintang menggaruk kepala. Ia teringat Dini yang masih menunggunya di parkiran. “Saya bareng temen. Dia masih nunggu di parkiran. Kami mau hang out nanti malam.” Perempuan berkacamata itu berkata hati-
Baca selengkapnya
Bab 33: Tawaran Satya
Satya hampir saja tertidur ketika istrinya keluar dari kamar mandi dengan wajah yang terlihat segar. Refleks Satya kedua sudut bibirnya terangkat saat melihat mata bening Lintang. Rasa cinta memang belum sepenuhnya tumbuh dalam hatinya. Namun, Satya berdoa Tuhan akan menautkan hati mereka. Ia sudah bertekad akan menjalani pernikahan sebagaimana layaknya meski butuh waktu untuk menerima Lintang. “Kita makan di sini saja, Lin. Kayaknya resto di sini lumayan juga view-nya,” ujar Satya sembari menyisir rambut. “Iya, Mas. Saya ngikut aja mau makan di mana,” ujar Lintang gugup. Melihat wajah segar Satya yang terpantul di cermin membuat jantung Lintang kembali berdetak cepat. Buru-buru ia mengalihkan pandangan ke jendela besar di sisi lain kamar yang memperlihatkan pemandangan di luar. Satya mengambil botol Louis Varel Extreme Musk dari ransel kemudian menyemprotkan isinya ke beberapa bagian tubuhnya. Seketika aroma musk yang lembut, elegan, dan mewah menyelusup ke rongga hidung, membuat
Baca selengkapnya
Bab 34: Teman Tapi Mesra
Jika hatimu adalah telaga, izinkan aku berenang di dalamnya.Jika cintamu adalah cahaya matahari, izinkan aku menjadi bumi yang selalu siap menerima pancaran sinarnya. Aku padamu seperti detak jarum pada jam dinding, seperti pintalan benang dalam selembar kain. ***Kedatangan pelayan membawa pesanan mereka membuat Satya kembali menutup mulut yang baru saja terbuka untuk melanjutkan kalimat. “Minum dulu, Lin, biar nggak tegang.” Satya mencoba mencairkan suasana. “Lama-lama aku takut lihat wajah kamu. Aku bukan dosen penguji dan kamu bukan lagi ujian,” goda Satya. Sederet gigi seputih kapas terlihat di wajahnya.Lintang tersenyum kikuk. Tangannya meraih gelas dan mengaduk isinya dengan malas. “Pintar betul Mas Satya mengombang-ambingkan perasaan orang,” batinnya rusuh. “Cuma mau bilang putus saja muter-muter nggak jelas.” Batinnya terus bermonolog. Rasa kesal mulai merambati hati melihat sikap Satya yang terus mengulur waktu seperti seorang anak tengah bermain laying-layang. “Sunggu
Baca selengkapnya
Bab 35: Teman Satu Selimut
“Jadi, sampai kapan aku harus nunggu jawaban? Atau kamu nggak suka gelang ini?”“Eh, bukan gitu, Mas.” Lintang menghela napas. “Sa-saya belum pernah dapat hadiah semewah ini.”“Jadi?” Salah satu alis Satya terangkat.“Saya suka.” Bibir Satya membentuk bulan sabit.Satya menggeleng. “Mana tanganmu?” Gugup, Lintang menyodorkan tangan lalu membiarkan Satya memakaikan gelang itu di pergelangan tangannya. “Gelang ini sebagai tanda mulai saat ini kita jadi konco mesra.” Lintang menjawab ucapan Satya dengan anggukan dan ucapan terima kasih. Tepat jam sembilan malam mereka meninggalkan Bogey’s Teras diiringi embusan angin mulai menyelusupkan hawa dingin. Rasa lelah karena beberapa hari lembur hingga dini hari membuat Lintang tidur cepat. Usai salat Isya ia sudah terbang ke alam mimpi tanpa memedulikan sang suami yang masih terjaga. Satya membaringkan tubuh di samping Lintang. Ditatapnya lekat wajah istrinya yang terlihat damai. Lalu, hawa panas tiba-tiba menjalari tubuh, membangkitkan ses
Baca selengkapnya
Bab 36: Terbakar Atau Dibakar
Kabar dari Evan seperti kobaran api yang melumat habis kebahagiaan yang baru sebentar tercipta di antara Satya dan Lintang. Tanpa banyak kata mereka meninggalkan hotel menuju stasiun KRL di Maguwo lalu naik kereta tercepat tujuan Stasiun Solo Balapan.Sepanjang perjalanan Satya terus berkoordinasi dengan Evan sementara Lintang memilih diam dan hanya membuka mulut jika suaminya memulai pembicaraan terlebih dahulu. Lintang buta tentang usaha keluarga Satya. Apa yang diketahuinya sebatas kulit terluar, hanya jumlah toko, spa, dan pabrik batik di Laweyan. Alih-alih memberi solusi, Lintang khawatir akan memperburuk suasana jika berbicara. “Delapan puluh persen toko dan gudang terbakar,” ujar Satya lesu. Ia menatap Lintang lalu mengalihkan pandangan ke luar. Kereta baru saja melewati Klaten. “Untungnya nggak ada korban jiwa. Enggak kebayang kalau sampai ada yang meninggal. Rugi harta bisa dicari. Nyawa enggak bakal kembali.” Wajah Satya sekeruh air kolam yang lama tidak dikuras. “Kenapa b
Baca selengkapnya
Bab 37: Ketidaksetujuan Satya
Satya menoleh. Selama ini ia memang tidak tahu banyak aktivitas Lintang. Ia hanya tahu, istrinya masih kuliah dan dari pembicaraan yang selintas terdengar, sepertinya Lintang tidak sekadar kuliah.“Siapa?” Rasa ingin tahu meyeruak dari wajah Satya melihat ekspresi Lintang yang campur aduk antara rasa bersalah dan kesal. “Bang El. Temen sekantor.” Telunjuk Lintang masih sibuk dengan layar ponsel, membuka aplikasi WhatsApp, mengecek beberapa file kiriman Prof. Kathrin di grup. Pantas saja El mengamuk. Pesannya telah berderet sepanjang gerbong KRL dan tak satu pun yang dibacanya. “Temen sekantor?” Satya mengernyitkan dahi. “Kamu sudah kerja?” Manik mata Satya menelisik kedalaman mata Lintang. Ia tidak tahu kalau Lintang sudah bekerja. Lintang mengalihkan pandangan dari ponsel kemudian menoleh. “Hanya kerja paruh waktu, kalau ada proyek saja. Prof. Kathrin yang mengajak saya gabung di konsultan lingkungan milik beliau.” Lintang menangkap jejak rasa heran dan kaget pada tatapan Satya. “
Baca selengkapnya
Bab 38: Karmakah Ini
Angin musim kemarau yang kering menyambut kedatangan Satya dan Lintang di toko mereka yang telah hangus. Bau kain dan benda-benda yang terbakar lainnya menjajah hidung. Keduanya mematung di depan toko terbesar milik mendiang Hadikusumo yang musnah dilumat si jago merah. Kerja keras, keringat, dan air mata yang tercurah puluhan tahun lamanya hancur dalam hitungan jam. Ditingkahi bising lalu-lalang kendaraan dan tatapan prihatin para pengendara yang lewat, Satya tertegun. Setitik air sempat menetes di sudut mata. Tangannya menggenggam erat garis polisi yang terpasang mengelelingi kompleks toko mereka. Ketenangan yang ditunjukkannya sejak pertama menerima kabar dari Evan luruh. Satya seolah melihat sang bunda berjongkok di depan reruntuhan bangunan berlantai tiga itu. Satya mengganjur napas. Entah bagaimana dia harus mempertanggungjawabkan semuanya pada Bunda.Pandangan Lintang beralih pada Satya. Ia sedikit mendongak. Ditatapnya wajah keruh sang suami. Meski sempat ragu, Lintang mengg
Baca selengkapnya
Bab 39: Permintaan Hanum
“Iya, Mas. Saya sudah minta manajer toko untuk menghubungi para pelanggan dan meminta tambahan waktu, terutama untuk pesanan dalam jumlah besar yang jumlahnya ribuan potong. Kita harus nambah orang di bagian konveksi di Laweyan.” “Nggak masalah, Van. Lakukan semua yang bisa kita usahakan. Yang penting tidak ada klien yang dirugikan.” Pembicaraan terus berlanjut dan Lintang hanya duduk, diam di samping Satya. Tubuhnya di Omah Lowo, tetapi otaknya berlarian ke sana ke mari. Pesan El dan Dana tentang jurnal yang harus direview, draft penelitian mereka tentang kualistas air sungai di Yogyakarta yang harus dipelajari ulang menyesaki rongga kepala. Lintang berusaha membuka jurnal-jurnal yang harus direview lewat ponsel. Namun, pembicaraan Evan dan Satya membuat konsentrasinya buyar. Berkali-kali deretan kata berbahasa Ingris itu hanya lewat di kepala. Ia beralih ke hasil riset kualitas air Sungai Code dan Gajah Wong. Tetap saja otaknya gagal mengolah data dan hasil analisis yang terjadi.
Baca selengkapnya
Bab 40: Ujian
Mobil telah berhenti dan Satya masih terpaku dengan ponsel di tangan, mengeja kata demi kata yang dikirim Hanum. Meski hanya lewat kata, Satya bisa merasakan gejolak hati mantan kekasihnya. Ia sangat hapal kebiasaan Hanum, termasuk pilihan-pilihan kata yang menggambarkan suasana hatinya. Satya menarik napas panjang. Harus diakui, hatinya pun masih terasa nyeri setiap mengeja nama Hanum. Namun, ia sudah memutuskan memilih Lintang dan harus bertanggungjawab dengan keputusannya. Ia berharap waktu bisa menyembuhkan luka di hati mereka tanpa bisa merusak hubungan kerja. Namun, memaksa Hanum tetap bekerja sama dengan perusahaannya sepertinya bukan pilihan terbaik saat ini. Mereka berdua butuh saling menjauh dan menjalani hidup masing-masing. “Terlalu berat buat aku untuk nerusin kontrak ini, Mas. Aku nggak sanggup.” Lagi, satu pesan Hanum masuk ke ponsel Satya. Ingatan Satya kembali ke masa dua tahun lalu ketika memperkenalkan Hanum kepada sang bunda. Saat itu Bu Sekar langsung terpikat
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
15
DMCA.com Protection Status