All Chapters of Unexpected Wedding: Chapter 11 - Chapter 20
206 Chapters
11. Seperti yang Rama Mau
“Bu …” Eni mencolek lengan Lintang yang tengah berdiri di sebelahnya. Selama kegiatan edukasi berlangsung, para orangtua atau pengasuh yang mendampingi para murid, bisa melakukan hal apa pun dengan bebas. Tepat ketika kegiatan selesai, barulah mereka bisa mendampingi para murid dan melakukan kegiatan bebas. “Apa saya nggak salah lihat?” Telunjuk Eni tertuju pada ujung jalan yang mengarah ke tempat mereka. Lintang menoleh. Ia pun sempat mengerjap beberapa kali ketika melihat seorang pria dengan kemeja hitam lengan panjang dan celana bahan berwarna krem. Pria itu berjalan pelan, seolah tengah menelisik sesuatu di sekitarnya. “Sus!” Lintang mencengkram tangan Eni tanpa sengaja. Hal tersebut hanya pergerakan reflek, karena masih tidak percaya dengan yang dilihatnya saat ini. “Setan bukan, sih?” “Kakinya napak, Bu,” sahut Eni sempat menelan ludah ketika melihat majikannya dari kejauhan. “Lagian, mana ada setan siang-siang begini.” “Tapi ngapain mas Raga ke sini?” Lintang memutar tubuh,
Read more
12. Jangan Geer
“Tante, gendong.” Lintang spontan menatap Raga dengan mulut ternganga. Bila ingin jujur, permintaan Rama barusan sungguh memberatkannya. Kaki Lintang sudah terlampau lelah berjalan, tapi Rama justru meminta gendong padanya. Mengapa bukan pada Raga saja? “Papa, kan, sudah nawari naik kereta dari tadi.” Melihat tatapan memohon, serta wajah lelah Lintang, Raga akhirnya berjongkok di samping Rama yang tengah mengulurkan tangan pada gadis itu. “Tapi kamu malah minta jalan kaki.” “Aku ngantuk, Pa,” kata Rama menoleh sebentar pada Raga, tapi posisi tubuhnya tetap mengarah pada Lintang. Pun dengan tangan yang sudah memegang sisi pinggang gadis itu. “Sama Papa aja.” Detik berikutnya, tubuh kecil Rama sudah berada di gendongan Raga. Tidak ada satu menit Raga dan Lintang kembali melangkah dalam diam, kepala Rama yang terjatuh di pundak itu, akhirnya tertidur lelap. “Saya tahu rasanya jadi Rama.” Akhirnya, Lintang membuka suara untuk berbicara pada Raga. Sepanjang perjalanan menyusuri kebun
Read more
13. Menjaga Nama Baik
Safir tidak melangkahkan kaki ke mana pun setelah menutup pintu mobilnya. Ia berdiam diri, menatap mobil Raga yang baru memasuki pekarangan rumah mereka. Semakin mobil Raga mendekat, Safir semakin mengerutkan dahinya. Jika ingin menajamkan pandangan, maka yang duduk pada kursi penumpang di samping Raga adalah Lintang. Apa Safir tidak salah lihat? Atau, itu semua hanya halusinasi semata? Sayangnya, tidak. Ketika mobil Raga telah terparkir tidak jauh dari tempat Safir berdiri, ia melihat Lintang keluar dan tatapan mereka sempat bersirobok untuk beberapa saat. Mulut Safir sempat terbuka, ketika melihat tatapan datar gadis yang tampak sedikit berbeda. Hanya berselang hitungan detik, Raga pun juga keluarga dan menatap Safir yang berjalan ke arahnya. “Biya ketemu?” Pertanyaan Raga tersebut sontak membuat Lintang tidak jadi meneruskan langkah. Apa itu berarti, Safir pergi keluar kota bukan karena urusan pekerjaan seperti Raga, melainkan mencari keberadaan Biya? Safir menggeleng, sambil
Read more
14. Tantangan Raga
Nekat. Hal itulah yang dilakukan Lintang siang hari itu. Raga sudah melarangnya untuk makan siang di luar bersama seorang pria, tapi Lintang tidak mematuhinya. Ia tetap pergi dari kediaman Sailendra, dan bertemu dengan Fajar di sebuah kafe di dekat kantor lamanya. Bagi Lintang, menata masa depannya mulai dari sekarang lebih penting, daripada menuruti Raga yang notabene hanya suami di atas kertas. Mereka menikah tanpa cinta, untuk menyelamatkan muka kedua keluarga di depan para tamu undangan. Setelah bercerai nanti, Lintang tidak ingin hanya berpangku tangan dan tidak memiliki satu pegangan sama sekali. Terlebih, usianya juga tidak lagi muda, dan perusahaan pasti akan mempertimbangkan hal tersebut ketika ia hendak mencari kerja nantinya. Akan tetapi, siang ini Fajar ternyata tidak sendiri. Pria itu membawa seorang wanita cantik, yang sudah duduk manis di samping Fajar. “Sorry, Mas, antrean pom bensin panjang banget.” Tidak perlu sapaan formal, karena mereka bukan lagi atasan dan ba
Read more
15. Sudah Keterlaluan
Napas Lintang memburu. Dadanya naik turun, penuh rasa benci melihat Raga. Karena dengan sengaja menabrak Raga di depan gedung perusahaan, Lintang akhirnya berakhir di dalam ruangan pria itu. Berdiri di tengah ruang, seperti seorang terdakwa yang sudah tidak bisa berbuat apa-apa karena bukti sudah berada di depan mata. Entah apa yang terjadi dengan kaki pria itu, setelah Raga terjatuh akibat Lintang menabraknya. Yang semakin membuat Lintang tergerus amarah ialah, Raga meminta satpam yang bertugas, untuk menyeretnya masuk tanpa rasa manusiawi sedikit pun. Sedangkan Fayra, kini sibuk mencari perhatian dengan memijat kaki pria itu. “Dasar preman,” umpat Fayra dengan wajah khawatir melihat pergelangan kaki Raga yang tampak memar. “Kamu sudah gila? Berani-beraninya nabrak Raga—” “Ya! aku sudah gila!” sahut Lintang memotong ucapan Fayra dengan hardikan. “Dan Mas Raga sudah nikah sama orang gila! Jadi, kami sudah sama-sama gila. Itu yang mau kamu dengar, ha!” “Lintang!” hardik Raga sembar
Read more
16. Angkat Kaki
“Sus, tolong panggilkan Lintang,” titah Raga yang baru saja masuk ke dalam ruang keluarga dengan menggunakan tongkat. Pergelangan kakinya harus dibungkus perban, untuk membatasi pergerakan agar tidak semakin parah.Sejak Lintang pergi dari ruangannya siang tadi, gadis itu ternyata melarikan diri dari pantauan satpam kantor. Lintang membiarkan motornya di parkiran, dan pergi menggunakan angkutan umum. Untuk itulah, Raga akhirnya pergi ke rumah sakit terlebih dahulu, kemudian pulang ke rumah untuk beristirahat.“Habis itu, tolong panggilkan bu Idha.”Eni yang baru sampai di pertengahan tangga seketika berhenti melangkah. Sedikit bingung, tapi Eni segera menjawab permintaan Raga. “Bu Lintang belum pulang, Pak.”“Belum pulang?” Raga terus melangkah menuju sofa, lalu merebahkan tubuhnya dengan geraman tertahan. Jika dihitung, Lintang sudah pergi selama dua jam lamanya dari kantor Raga. Jadi, tidak mungkin rasanya bila gadis itu belum sampai di rumah. “Coba periksa kamarnya, siapa tahu ada
Read more
17. Tunggu Saja
Dari suara pagar rumah yang bergeser, ditambah dengan suara kunci pintu dari ruang tamu, Lintang sudah tahu siapa yang saat ini datang ke rumah yang saat ini ia datangi. Sebuah rumah sederhana, tempat mendiang sang ibu tinggal dahulu kala. “Sudah malam, kenapa masih di sini?” Lintang yang sedari tadi hanya meringkuk di sofa panjang depan televisi akhirnya bangkit. Ia duduk, menyandarkan tubuh pada punggung sofabed, dengan kedua kaki terjulur lurus ke lantai. Lintang menoleh pada Anwar yang masuk ke ruang tengah, kemudian duduk pada satu-satunya sofa single yang ada di sana. “Raga nyariin kamu,” sambung Anwar menjelaskan. “Apa Biya belum ketemu?” tanya Lintang mengabaikan ucapan Anwar, karena ada rasa sakit tersendiri ketika mengingat Raga. Terlebih dengan kejadian siang tadi di kantor pria itu. “Lintang—” “Apa anak kesayangan Bapak itu belum ketemu?” Lintang kembali mengulang pertanyaannya dengan sindiran pada Anwar. “Bapak nggak mungkin nggak tahu Biya ada di mana sekarang. Biya
Read more
18. I'm Out
Anwar terkejut melihat kondisi Raga yang memakai tongkat ketika menyambutnya di teras rumah. Saat tatapannya tertuju ke bawah, pergelangan kaki kanan pria itu ternyata berbalut perban. “Kakimu kenapa, Ga?” tanya Anwar lalu mengajak Raga masuk ke dalam rumah, agar tidak terlalu lama berdiri di luar. Sesampainya di ruang tamu, Anwar segera meminta Raga untuk duduk agar pria itu bisa mengistirahatkan kakinya. “Kecelakaan.” Tatapan Raga berpindah pada Lintang yang baru memasuki ruang tamu dengan sweater hitam, dan ripped jeans dengan sobekan di banyak tempat. Benar-benar mencerminkan jati diri Lintang yang santai, dan bebas. Namun, meskipun seperti itu, Lintang termasuk gadis yang masih bisa diatur dan menuruti perintah Raga. “Kecelakaan?” Pasti hanya kecelakaan kecil, pikir Anwar. Karena jika kecelakaan yang terjadi pada Raga cukup besar, sudah pasti beritanya akan tersebar di berbagai media. “Ya, Pak. Di depan kantor siang tadi,” kata Raga masih menatap Lintang yang berjalan pela
Read more
19. Anak Hilang
Lintang mendesah kesal, saat membaca pesan yang dikirimkan oleh pengacara perceraiannya dengan Raga. Pengacara yang sudah ditunjuk Anwar untuk mendampingi Lintang, lagi-lagi mengatakan bahwa Raga bersikukuh untuk mempertahankan pernikahan mereka. Paling tidak, sampai Ario benar-benar sudah mendapatkan kursi di dalam pemerintahan setelah pemilihan legislatif selesai. Sudah sebulan berlalu, tapi semua stagnan dan tidak ada perkembangan berarti dalam proses perceraian mereka. Lintang yakin, semua ini karena ada uang yang kembali berkuasa. Sementara Lintang sendiri, tidak mungkin akan meminta uang lebih pada Anwar untuk mengurus perceraiannya dengan Raga. Karena itulah, Lintang sudah pasrah dan tinggal menunggu saja ke mana takdir membawanya. Lintang juga sudah mengganti nomor ponsel, hingga Raga tidak bisa “menerornya” sama sekali. Untuk sementara waktu, hanya ada tiga orang yang mengetahui nomor baru Lintang, yakni Anwar, Fajar, dan Yadi, pengacara yang saat ini menangani kasus percera
Read more
20. Aku Benci
Lintang memejam erat, ketika mendengar suara yang sudah sebulan ini tidak mengganggunya. Ia mengumpat dalam hati, karena sudah tidak bisa pergi ke sudut mana pun. Sementara Rama yang kini ada di depannya, tetap berdiri di tempat tanpa berniat berlari menghampiri sang papa.“Lintang?”Geraman pelan seketika keluar dari mulut Lintang. Ia mendongak menatap Fajar yang sudah berdiri, dan tampak sedikit bingung.“Tante, ada papa,” kata Rama berbicara pelan, dan kembali mengalungkan satu tangannya di leher Lintang yang masih berjongkok.“Lintang.”Suara tersebut terdengar semakin dekat. Dengan terpaksa, Lintang melepas tangan Rama dari lehernya kemudian berdiri. Tidak ada senyum yang Lintang lempar ketika melihat Raga. Ia hanya menatap datar, seraya mengusap puncak kepala Rama yang berdiri di depannya hingga berulang-ulang.“Lintang,” panggil Raga sekali lagi dan kali ini lebih tegas. Tatapan Raga tertuju pada pria yang berdiri di samping gadis itu. “Jadi, karena ini kamu pergi dari rumah? M
Read more
PREV
123456
...
21
DMCA.com Protection Status