All Chapters of Unexpected Wedding: Chapter 21 - Chapter 30
206 Chapters
21. Tujuan yang Sama
“Mas Raga jahat, dan aku benci!” Saat Lintang tidak bisa menuruni eskalator karena Raga menghalanginya, dengan cepat ia mencari jalan lain. Lintang berbalik, tapi kakinya justru tidak bisa melangkah pergi ke mana pun. Di hadapannya kini, sudah ada Ario maupun Retno yang memandangnya dengan tatapan tidak terbaca. Lintang tahu ia salah, karena pergi tanpa berpamitan. Namun, tindakan yang sudah dilakukan Raga padanya juga tidak bisa dibenarkan. “Pa-pak Ario … Bu, Retno.” Kaki Lintang mundur satu langkah lalu punggungnya menabrak tubuh Raga, yang langsung menangkup kedua bahunya dari belakang. Hari ini, semua jadwalnya sudah berantakan, begitu pun dengan perasaan Lintang. “Bawa Lintang ke restoran, Ga,” titah Ario lalu beranjak pergi lebih dulu meninggalkan keduanya. Ada beberapa hal, yang memang harus dibicarakan dengan Lintang dan juga diselesaikan. Karena mereka akhirnya bertemu, maka sekaranglah waktu yang tepat untuk membahas semuanya. “Ayo!” Raga meraih pergelangan tangan Lintan
Read more
22. Berpamitan
Berdamai. Lintang mulai melakukan hal tersebut saat ia kembali ke kediaman Sailendra. Melakukan kegiatan seperti biasa, dan lebih banyak menghabiskan waktu dengan Rama dan Eni jika berada di rumah. Akan tetapi, pikiran Lintang saat ini tengah bercabang memikirkan Fajar. Pria itu, pasti sudah salah paham dan menganggap Lintang sebagai seorang pembohong. Sudah seminggu sejak status pernikahan Lintang terbongkar, Fajar tidak pernah lagi mengangkat panggilan telepon dari Lintang. Fajar juga tidak membuka dan membaca semua chat yang Lintang kirimkan. Rencananya, satu atau dua hari ini Lintang akan pergi ke kantor lamanya untuk menemui pria itu dan menjelaskan semua hal. “Lintang!” Raga yang baru saja masuk ke ruang keluarga segera memanggil gadis itu saat melihatnya baru saja menuruni tangga. Tidak banyak yang berubah dari hubungan mereka, masih tetap kaku seperti dulu, tapi aura permusuhan itu sudah tidak tampak lagi. Lintan berbalik. Tidak melangkah ke mana pun karena melihat Raga me
Read more
23. Semakin Memanas
“Ke mana Safir?” tanya Retno masih belum melihat putra bungsunya, ketika semua orang sudah berada di meja makan. Tidak mungkin Idha belum memanggil putranya itu, karena Lintang saja sudah duduk manis di samping Rama.Ada perubahan formasi tempat duduk di meja makan malam ini. Rama yang biasanya duduk di antara Retno dan Ario, kini meminta berada di samping Lintang, juga Raga. Apa saja yang telah dilakukan kedua orang itu di siang hari sehingga Rama bisa menempel seperti itu dengan Lintang. Bahkan, Eni yang sudah mengasuh Rama sejak tiga tahun terakhir, tidak lengket seperti itu.“Safir mendadak ke luar kota,” terang Raga. “Tadi sore sempat nelpon Mama, tapi hape Mama nggak aktif.”“Keluar kota lagi?” Retno berdecak ketika mengingat Safir kerap pergi ke luar kota belakangan ini. “Memang nggak ada karyawan lain yang bisa disuruh?”“Justru Safir perginya sama karyawan lain,” kata Raga menoleh pada Rama yang sibuk saling suap dengan Lintang. Kalau biasanya bocah itu sibuk dengan Ario di m
Read more
24. Jangan Menyesal
“SAFIR.”Tidak lama setelah seruan keras itu terdengar, tubuh Safir tertarik paksa, dan terlempar jauh dari sofa yang diduduki oleh Lintang. Safir terjengkang dengan bokong yang lebih dulu menyentuh karpet yang tergelar luas di depan televisi.“MAS!” Jelas saja Safir balas menghardik. Ia tidak terima diperlakukan dengan kasar, apalagi sampai terjatuh seperti sekarang. Tidak hanya Lintang yang melihatnya, tapi ada Eni serta Rama yang terpekur di ujung tangga lantai dua.“Jaga sopan santunmu di depan Lintang,” kata Raga sudah berdiri di depan gadis itu. “Dia istriku. Jadi otomatis dia itu jadi kakak iparmu.”Safir berdecih seraya bangkit dan berdiri tegak. Ini kali pertama, Raga bersikap kasar padanya. “Istri? Kakak ipar? Bullshit!”“Jaga bicaramu, Fir,” tekan Raga sekali lagi. Raga menghabiskan jarak dengan sang adik dengan tatapan tajam. Menahan kedua tangannya agar tidak melayangkan satu pukulan ke tubuh sang adik. “Aku dan Lintang sudah menikah. Jadi aku nggak perlu lagi menjelaskan
Read more
25. Bumerang
“Kenapa harus pindah?” Lintang menghampiri Raga yang sedari tadi duduk di sofa kamar Lintang, guna menjelaskan beberapa hal. Ia duduk di ujung sofa, untuk memberi jarak dengan Raga. “Apa karena Safir tadi sore?”“Ya.” Raga tidak akan menyembunyikan hal tersebut dari Lintang. Gadis itu harus tahu, kalau perbuatan Safir sore tadi tidak bisa dibenarkan. Oleh karena itu, untuk menghindari pergesekan yang mungkin bisa memanas, Raga memutuskan untuk pindah dari rumah orang tuanya. “Aku nggak mau kejadian sore tadi terulang lagi ke depannya.”“Yaaa, aku nggak papa kalau memang mau pindah,” kata Lintang tapi masih merasa ragu. “Tapi … kita tinggal di mana?”“Di rumah lamaku.” Benar dugaan Raga, untuk satu hal ini Lintang tidak akan menolak usulannya. Yang Raga perhatikan, selama ini Lintang tidak pernah merasa nyaman dengan kehadiran Safir. Gadis itu selalu punya alasan untuk pergi, jika ada safir di ruangan yang sama.Mungkin, Lintang tahu jika Safir kerap mencuri pandang padanya dan gadis i
Read more
26. Sebuah Saran
Subuh kala itu, Lintang membuka mata dengan malas. Rasa kantuk yang masih menjerat akibat begadang, terasa sulit untuk dikalahkan. Jika bukan karena ada Raga yang menuntut untuk tidur di kamarnya, mungkin Lintang sudah bisa memejamkan mata seperti malam-malam sebelumnya.Namun, ada satu hal yang membuat Lintang mengerutkan dahi. Ia ingat benar, setelah Rama tertidur lelap saat hampir tengah malam, Lintang segera berpindah tidur di sofa sesuai titah Raga. Akan tetapi, mengapa pagi ini Lintang kembali terbangun di tempat tidur?Lintang pun menoleh, menatap Rama dengan posisi tidur yang sudah tidak menentu. Kedua kaki Rama kini melintang di paha Lintang, dan kepala bocah itu ada di sisi tempat tidur yang berbeda. Namun, Lintang tidak melihat Raga ada di tempat tidurnya seperti malam tadi.Kepala Lintang menoleh cepat pada sofa, tapi tidak juga menemukan pria itu di sana.Lantas, apakah Raga sudah bangun lebih dulu daripada Lintang?Atau, setelah memindahkan tubuh Lintang ke tempat tidur,
Read more
27. Satu Alasan
“Beberapa hari ke depan, akan ada tukang yang ngecat ulang rumah ini.” Raga yang baru keluar dari mobil, menjelaskan kondisi rumahnya pada Lintang. Rumah penuh kenangan indah dengan mendiang sang istri, dan tidak akan mungkin Raga lupakan. “Air, Listrik, semua sudah dicek dan lancar,” sambung Raga terus berjalan melewati Lintang yang hanya bengong di tengah carport. “Besok, aku pasang wifi biar kamu nggak bosan ada di rumah.” Raga membuka pintu rumah dan masuk tanpa menunggu Lintang. Sederhana, tapi terlihat mewah. Rumah pribadi Raga memang tidak sebesar milik Ario maupun Anwar, tapi sangat terasa nyaman. Lintang akhirnya melangkah menyusul Raga ke dalam begitu. Begitu masuk, ia sudah disuguhkan dengan bagian dalam rumah dengan mengusung open concept design. Ruang tamu yang jadi satu dengan ruang makan, dengan pemandangan taman dan kolam renang di luar sana. Benar-benar terlihat segar dan membawa ketenangan tersendiri. Lintang saja sampai sudah membayangkan sarapan pagi sambil men
Read more
28. Aku Suka
Perasaan Raga mulai tidak enak ketika mobilnya berhenti di parkiran sebuah gedung tiga lantai. Dari papan nama yang tertera besar di sisi luar gedung, Raga akhirnya tahu ke mana tujuan Lintang siang ini.“Ini kantormu, kan?” Pertanyaan tersebut hanya untuk basa basi.Lintang tersenyum tipis sambil membuka sabuk pengamannya. Namun, sorot matanya tidak ia tujukan pada Raga. Sejak pria itu mengajaknya melihat rumah yang saat ini sudah ditempati mereka, Lintang memang menjaga jarak dan lebih banyak diam.“Ayo keluar, Mas.” Lintang keluar lebih dulu, dan meninggalkan Raga yang tampaknya masih tercenung di dalam mobilnya. Lintang menyapa satpam dengan ramah, pun dengan resepsionis yang bertugas siang ini. “Panggilin Mas Fajar dong, Mbak. Bilangin ada tamu, tapi jangan bilang tamunya aku.”Senyum Lintang terlukis lebar, tapi tidak dengan hatinya. Resepsionis itu pun segera menghubungi Fajar yang dan mengatakan semua yang disampaikan Lintang barusan.“Lintang,” panggil Raga sudah berada di be
Read more
29. Rasa Gundah
"Selama ini aku minder dengan statusku, Mas." Ucapan Lintang tersebut, dan seterusnya, selalu terngiang di kepala Raga selama perjalanan pulang dari kantor Fajar. Tidak hanya itu, pernyataan bahwa Lintang menyukai Fajar, juga membuat Raga diam selama perjalan dan memikirkan banyak hal. “Kamu, mau makan apa?” celetuk Raga tiba-tiba ketika mereka hampir sampai ke kantornya tepat di jam makan siang. Sedari tadi, tidak ada interaksi apa pun di antara mereka. Keduanya hanya tenggelam dengan pikiran masing-masing. “Aku mau makan di rumah,” jawab Lintang tidak ingin berlama-lama bersama Raga. Bukankah pria itu sudah menetapkan jarang di antara mereka, jadi Lintang harus tahu diri. “Bu Mena bikin ikan bakar, sayang kalau nggak dimakan.” “Ikan bakarnya bisa dimakan sore,” ujar Raga masih menatap lurus dengan kemudinya. “Ini mumpung kita—” “Nggak usah, Mas,” tolak Lintang tapi dengan ucapan yang tidak keras. “Aku mau pulang aja, dan nggak mau ngerepotin Mas Raga.” “Kamu nggak ngerepotin,”
Read more
30. Hati-hati
Lintang berjongkok di hadapan Rama ketika bocah itu hendak berpamitan ke sekolah. Sudah jadi rutinitas pagi, yang tidak bisa terelakkan sama sekali. Karena di mana pun Lintang berada, bocah itu pasti akan mencarinya terlebih dahulu sebelum berangkat sekolah. Saling mencium pipi, juga memberi pelukan erat sebagai tanda perpisahan. Ketika Lintang berdiri, tangan kecil Rama itu menariknya keluar rumah. “Hari jumat nanti Tante ikut, kan?” tanya Rama terus melewati pintu keluar yang baru saja dibuka oleh Eni. “Jumat?” Lintang menatap tanya pada yang ia lewati. Seingat Lintang, sekolah Rama tidak mengadakan acara apa pun pada minggu-minggu ini. Apakah Eni lupa menyampaikan hal tersebut pada Lintang? “Emang jumat ada apa?” “Mama ulang tahun,” jawab Rama kemudian berhenti di samping mobil yang pintu penumpangnya baru saja dibuka oleh sopir pribadi bocah tersebut. “Kan, malamnya kita makan-makan.” Lintang membeku dan meneguk keras ludahnya. Rama memang memanggil Fayra dengan sebutan mama
Read more
PREV
123456
...
21
DMCA.com Protection Status