All Chapters of Unexpected Wedding: Chapter 191 - Chapter 200
206 Chapters
S2~191
“Maaf, aku tadi pagi nggak ikut jemput ke rumah sakit.” Lintang meletakkan Mana di tempat tidur, tepat di samping Anwar yang sudah pulang dari rumah sakit. Kondisi Anwar sudah kembali membaik, sehingga bisa pulang tetapi harus tetap melakukan kontrol rutin. Lintang datang tanpa Raga, karena sang suami benar-benar sedang sibuk melakukan perombakan di perusahaan. “Aku malas ketemu Biya.” Untuk hal yang satu ini, Lintang tidak akan menutupinya di depan Anwar. Karena Indri juga tengah pergi ke dapur, maka Lintang bisa dengan bebas mengatakan hal tersebut di depan ayahnya sendiri. Anwar tersenyum, lalu membawa Mana ke pangkuannya. Namun, baru satu detik bayi tersebut berada di pahanya, Mana langsung menggeliat dan ingin kembali berada dengan bebas di tempat tidur. “Dia nggak mau dipangku kalau cuma diam, Pak,” ujar Lintang kemudian duduk di tepi tempat tidur untuk menjaga Mana. “Kecuali kalau digendong atau ditaroh stroller sambil jalan. Kalau di kamar, dia lebih suka main sendiri begini
Read more
S2~192
Melihat kamar yang sudah direnovasi dan rumah yang akhirnya sudah bersih total dari debu, membuat Lintang akhirnya bisa bernapas lega. Tidak hanya itu, kondisi Anwar juga semakin membaik, sehingga beban yang ada di pundak Lintang bisa sedikit berkurang. Perihal Media Kita, sudah dipastikan Ragalah yang akan memegang puncak kepemimpinan untuk ke depannya. Sementara perusahaan keluarga Sailendra, akhirnya akan dipegang oleh Safir, tetapi masih dalam pantauan Raga dan Ario dengan sangat ketat. Sementara Biya, mau tidak mau harus menerima nasib, karena dewan direksi dan komisaris tidak menyetujui wanita itu berada di puncak kepemimpinan Media Kita. Idealisme Biya yang terlalu tinggi, dan sikapnya yang enggan menerima masukan itulah, yang membuat para petinggi perusahaan menolak menjadikan Biya sebagai direktur utama. Kegagalan Biya juga tidak sampai di situ, tidak lama setelah Raga benar-benar resmi menggantikan Anwar, putusan sidang cerainya dengan Maha pun langsung keluar tanpa ada ba
Read more
S2-193
“Ada yang miss lagi?”Setiap kembali dari ruang kerja Raga yang sekarang jadi milik Safir di kediaman Sailendra, tatanan rambut suaminya pasti acak-acakan. Apalagi jika sudah berdiskusi dengan Ario, wajah Safir pasti terlihat benar-benar stress.“Cuma kurang teliti sedikiiit.” Safir menggeram lalu menghempas tubuhnya di tempat tidur. Sejak rumah mereka direnovasi dan kembali pindah di kediaman Sailendra, setiap malam Ario pasti menyuruh Safir untuk mengevaluasi pekerjaan hari ini. Dan Ario melakukan hal tersebut setiap hari kerja, tanpa terkecuali. Safir benar-benar dibuat stres oleh sang papa, karena banyak hal yang ternyata harus ia benahi.Apa Ario juga memperlakukan Raga seperti itu?“Ya sud—““Kenapa belum tidur juga?” Lagi-lagi, Intan pasti belum tidur ketika Safir kembali dari ruang kerjanya. “Aku, kan, sudah bilang nggak usah nungguin sampai selesai.” Tatapan Safir tertuju pada jam dinding. “Ini sudah setengah sebelas, tapi—““Aku nggak bisa tidur, Maaas.” Intan melipat kembal
Read more
S2~194
Biya ikut menarik napas panjang, saat melihat Lintang melakukannya. Saudara perempuannya itu menyandarkan satu tangannya pada dinding, dan satu tangan lagi memegang perut bagian bawahnya. Apa benar Lintang akan segera melahirkan? Memangnya, berapa usia kandungan Lintang saat ini?Biya benar-benar tidak mengetahui hal tersebut sama sekali.Lantas, apa yang harus Biya lakukan saat ini? “Heh, kamu serius mau lahiran?” Belum sempat Lintang menjawab, Mana lebih dulu merengek dan mengulurkan tangannya yang belepotan pada mamanya. “Sama Onty dulu, mamamu lagi sakit perut.”“Nggak tahu.” Lintang menunjuk bagian belakang stroller Mana. “Dia minta susu, dotnya ada di belakang.”Biya segera menghampiri stroller, lalu mengambil sebuah botol susu yang isinya tinggal separuh. Karena tidak melihat tempat duduk, maka Biya segera meletakkan Mana di strollernya. Merebahkan bayi yang sudah lama tidak dilihatnya, lalu memberi botol susu tersebut dengan segera. “Kenapa kamu tambah berat gini?”“Udah, tin
Read more
S2~195
Entah mengapa, Safir tidak bisa diam dan menenangkan diri di ruang operasi. Ia mondar mandir di atas kepala Intan yang berbaring di meja operasi, dan merasa resah dengan sekumpulan dokter yang berada berseberangan dengannya. Ada keinginan untuk melihat yang tengah dilakukan dokter di balik kain yang membentang di dada Intan, tetapi, anehnya Safir tidak memiliki keberanian melakukan hal tersebut. Safir merasa tidak punya nyali melihat tubuh Intan yang sedang disayat di bawah sana. Ia sudah membayangkan banyaknya darah yang akan keluar, dan Safir memilih untuk tidak mengalami trauma dalam hidupnya setelah melihat hal tersebut. “Mas …” “Aku di sini,” jawab Safir, tetapi masih saja mondar mandir untuk mengenyahkan rasa gusar dan gelisah di hatinya. “Masih lama nggak, sih, Dok?” Akhirnya ucapan tersebut terlepas juga dari mulut Safir. Ia menatap tim dokter dan perawat, yang justru terlihat santai-santai saja. Seperti tidak ada ketegangan sama sekali, dan itu membuat Safir geregetan. “S
Read more
S2~196
“Yakin, Mbak, sudah nggak nambah lagi?” Intan terkekeh saat Lintang baru saja duduk di sampingnya. Hari ini, keluarga Sailendra mengadakan makan malam bersama, dan mengundang seluruh keluarga besar dari pihak Lintang, maupuun Intan. Sekaligus mengadakan syukuran, atas lahirnya kedua cucu mereka yang lahir di hari yang bersamaan.“Nggak, nggak.” Lintang sudah tidak ingin menambah anak lagi. Lintang sudah memutuskan, hanya memiliki tiga orang anak dan tidak lebih dari itu. “Kamu sendiri?”“Mas Safir nggak mau punya anak dulu.” Intan mengulas senyum saat tatapannya tertuju pada Safir yang sedang menggendong putri mereka. Karena usia Safira sudah satu bulan lebih, rasa khawatir Intan pun berangsur-angsur berkurang. Apalagi, putrinya sudah terlihat semakin berisi, dengan pipi yang benar-benar gembul. “Makanya, aku kemarin mau caesar aja. Kan, nggak kebelet kayak mas Raga yang pengen nambah anak terus.”“Beneran Safir nggak mau punya anak dulu?” “Beneran.” Saat ini putri Intan beralih ke
Read more
S2~197
Dengan terpaksa, Raga meminta keluarga Dewantara duduk di satu ruangan yang sama. Yakni di ruang kerja Ario, yang ukurannya cukup luas dan tertutup. Permasalahan keluarga yang sudah terjadi selama bertahun-tahun, menurut Raga harus diselesaikan sesegera mungkin agar tidak berimbas dengan banyak hal di kemudian hari. Raga langsung bertindak sebagai penengah, lalu mengutarakan maksud dan tujuan pertemuan yang diadakan mendadak tersebut. “Jadi, seperti yang kita tahu, kalau Lintang dan Biya sampai sekarang masih memendam kebencian masing-masing.” Raga berusaha mencari kalimat yang paling aman, agar tidak memberatkan pikiran Anwar. “Sementara itu, Bapak dan Ibu sendiri sekarang sudah berdamai dengan semua hal di masa lalu, dan juga dengan Lintang.” “Dan aku cuma mau bilang, bukan salahku andai Maha ternyata suka sama aku,” sambar Lintang menyela dengan emosi. “Dan jangan bawa-bawa almarhum ibuku, dan sama-samain kasus Bapak, sama Maha, karena aku nggak pernah sedikit pun suka sama mant
Read more
S2~198
“Ayo turun.” Safir memberi perintah pada putrinya, yang hari ini tepat berusia satu tahun. Di depan mereka, sudah ada satu buah meja panjang yang berisi dua buah cake ulang tahun, dengan lilin angka yang sama. Fira menggeleng, sembari mengeratkan pelukannya pada leher Safir. Bibir merah nan mungil itu mengerucut, lalu merebahkan kepala di pundak Safir. “Ya begitu itu, kalau kebanyakan digendong, Pi,” ujar Intan sambil mengulurkan kedua tangannya pada Fira. “Duduk sama Mimi, yok. Habis ini ada mama Lintang.” Agar ketiga bayi yang ada di keluarga Sailendra tidak kebingungan saat memanggil mama dan papanya, maka Intan dan Safir memutuskan untuk mengganti panggilan mereka pada Fira. Yang tadinya juga menggunakan papa dan mama, akhirnya mereka ganti menjadi pipi dan mimi, daripada harus mencari-cari nama panggilan lain. “Sama aku aja,” balas Safir. Ia tidak keberatan menggendong putrinya ke mana-mana. Karena Safir sadar, waktu akan cepat sekali berlalu dan pasti ada waktunya Fira tida
Read more
BonChap~FF1
“Fayra?” Fajar menggumam sendiri, sesaat setelah meletakkan gagang telepon di meja kerjanya. Tatapannya tertuju pada jam digital di sudut layar komputer, sembari mengingat kejadian di restoran kemarin. Raga menghampirinya, dan meminta bantuan Fajar untuk menemani adik mendiang istrinya yang sedang melakukan kencan buta. Entah mengapa, Fajar saat itu setuju membantu Fayra agar tidak dijodohkan dengan pria pilihan papanya. Melihat dari wajah frustrasi Fayra, serta penampilan yang terlihat memelas itu, membuat Fajar tidak tega menolaknya. Alhasil, Fajar tidak menyesal membantu Fayra setelah bertemu dengan pria yang hendak dijodohkan dengan wanita itu. Pria kaya yang pongah, dan menurut Fajar sama sekali tidak cocok dijodohkan dengan Fayra yang sangat sederhana. Bisa-bisa, pria itu akan “menindas” Fayra jika mereka benar-benar menikah nantinya. Namun, untuk apa wanita itu mendatangi Fajar di saat jam makan siang hampir tiba seperti sekarang? Fajar men-sleep komputernya terlebih dahu
Read more
BonChap~FF2
Farya buru-buru keluar dari mobilnya, ketika melihat Fajar baru saja melewati pintu kantor. Pria itu sudah mengenakan jaket kulit, dan membawa helm full face di tangan kirinya. Sungguh terlihat berbeda, dengan Fajar yang ditemuinya saat di restoran dan siang tadi ketika mereka makan bersama Eko. “Jar!” Karena tidak memakai high heel, maka Fayra bisa dengan bebas berlari kecil menghampiri Fajar. “Aku mau ngomong bentar.” “Fayra?” Fajar kembali dibuat bingung dengan wanita satu itu. Kenapa lagi Fayra datang ke kantornya, di saat Fajar hendak pulang dan ingin mengistirahatkan tubuh secepatnya. Bukankah, akting mereka berdua siang tadi cukup meyakinkan? “Iya, Fayra!” Baru juga bertemu siang tadi, tetapi Fajar kembali bengong saat melihatnya. Apa ada yang salah dengan penampilan Fayra saat ini? “Ngobrol bentar, yuk!” “Ngobrol apa lagi?” “Ada tempat duduk, nggak?” Fayra menoleh ke kiri dan ke kanan, untuk mencari sebuah tempat untuk bicara singkat dengan Fajar. Namun, sepertinya tida
Read more
PREV
1
...
161718192021
DMCA.com Protection Status