All Chapters of Kuhibahkan Cincin dan Calon Suami pada Sepupuku: Chapter 21 - Chapter 30
133 Chapters
Bab 16A
Dua Minggu kemudian … ."Kamu bener mau resign, Nad?"Mbak Ambar menyerbuku saat jam istirahat tiba. Aku mengangguk mengiyakan. Satu Minggu lagi kontrak kerjaku di sini selesai, dan aku telah memantapkan hati untuk resign. Rupanya kabar itu cepat sekali menyebar."Yah ... nggak ada yang bawa bumbu pecel lagi, dong, entar," timpal Mbak Dini.Aku tersenyum pada teman-teman di depanku, yang sudah kuanggap kakak sendiri. Mereka tak pernah bosan dengan bumbu pecel yang kubawa. Tak jarang digunakan lauk saat makan siang, atau dimakan begitu saja sebagai cemilan."Gampang kalau itu, Mbak. Kalau pingin bisa diantar ke sini sama kakakku.""Ajarin bikin aja, gimana?" tawar Mbak Dini."Alah, gayamu mau bikin, paling cuma wacana," ledek Mbak Ambar. Mbak Dini memajukan bibir, terlihat lucu olehku."Ya, siapa tau aja nanti bisa gantikan Nadira jualan di sini kalau dia udah pindah. Iya, kan?" "Jangan mau, N
Read more
Bab 16B
Kedua mataku dipenuhi kaca-kaca bening mendengar ucapan ibu. Tak biasanya beliau berbicara sepanjang ini padaku."Terima kasih, ya, Bu, akan saya ingat nasehatmu," jawabku singkat. Ibu mengangguk."Masmu sudah di rumah,dan ibu rasa memang tak akan pergi lagi. Tak usah khawatirkan ibu dan adikmu, ya."Aku mengangguk mengiyakan."Ya, semoga saja Mas Rudy istikomah, mau mengembangkan apa yang sudah dirintis dan sekarang mulai berkembang ya, Bu."Ibu mengangguk-angguk."Siapa tau kamu ketemu jodoh yang bener nanti," tambah ibu lagi.Aamiin. Eh? Jodoh lagi yang dibahas ibu."Sebenarnya ada yang nanyakan kamu, lho, Ra.""Siapa, Bu? Menanyakan apa?" tanyaku ingin tau."Itu, Pak Hardi. Pengen ngenalin anaknya sama kamu, siapa tau cocok, mau dijadikan mantu kamu."Aku terperanjat mendengar jawaban ibu. Pak Hardi itu hanya satu di kampung ini, kepala desa. Dan anaknya, yang mana dia?"M
Read more
Bab 17A
"Oh, maaf. Maksudku, bagaimana kalau aku pengen bumbu pecel, atau salad buah buatan kamu?"Kedua sudut bibirku tertarik ke atas, lantas sejenak menelisik wajah pria muda di depanku yang nampak gugup dan sempat membuat nyaliku menciut."Tunggu sebentar, ya," jawabku, lalu beranjak ke pantry."Ini salad buah, tinggal kamu yang belum karena baru datang," ujarku dengan mengulas senyuman. Kuletakkan mangkuk plastik berisi salad buah yang kubuat pagi tadi di atas meja."Dan untuk bumbu pecel, nanti sebentar lagi diantar ke sini, sekalian nasi kotak sebagai ucapan perpisahan dariku pada semua teman di sini.""Nadira, bukan itu maksudku," sahut Fajar setelah beberapa saat terdiam di kursinya."Jadi?"Ia tak segera menjawab, justru menutup wajah dengan kedua telapak tangannya."Fajar, kamu kenapa?"Lalu suara ponsel di saku jaketnya terdengar menjerit-jerit. Ia segera menerima panggilan tersebut tanpa menin
Read more
Bab 17B
"Anak saya nggak bisa ikut, tapi dia sudah punya pekerjaan tetap di kabupaten. Gajinya juga, lumayan lah. Jadi, Nak Nadira tak perlu kuatir soal nafkah nanti,” ujar Pak Hardi, kala itu."Saya akan senang sekali kalau Nadira jadi menantu saya, nggak usah kerja lagi juga nggak apa-apa nanti. Iya, kan, Pak?" timpal snag ibu negara.Hem, mana bisa begitu. Aku tak biasa menadahkan tangan. Selama ini bebas mau beli apa aja meski direm juga. Akan bagaimana belanja ibuku nanti kalau setelah bersuami aku tak boleh kerja?Pak Hardi mengangguk tanda setuju. "Ya, sayang sekali dia tak bisa ikut. Oh, tapi Nak Rudy ini, kan, teman sekelas Aji waktu SD dulu, ya?"Aku terperanjat, lalu menoleh pada Mas Rudy. Ia mengangguk mengiyakan. Jadi namanya Aji, seumur Mas Rudy?"Iya, Pak, Aji teman main saya dulu," jawab Mas Rudy. Aku menghela napas, membayangkan bersanding dengan pria yang tak kukenal, seumur kakakku pula. Yang mana orang
Read more
Bab 18A
"Aku sudah terlambat dua Minggu, Mas, dan aku belum pernah sekali pun terlambat sebelumnya.""Maksudmu?"Aku menegakkan telinga, karena merasa kenal dengan dua pemilik suara itu. Menghentikan menyesap jus alpukat di hadapan, lantas menoleh demi memastikan.Astaghfirullah ... . Itu benar Mas Damar dan Lila. Aku segera memalingkan wajah. Jangan sampai mereka tau aku ada di dekat mereka saat ini."Aku hamil, Mas, kita harus segera menikah. Aku tak mau menunggu sampai perutku besar.""Kamu hamil?""Iya, aku hamil. Anak kita, Mas."Aku yakin kalau saat ini kedua mata Lila berbinar diiringi senyuman lebar.Hatiku memanas mendengar pengakuan Lila. Tanggal pernikahanku dengan Mas Damar baru saja ditentukan, tapi kenyataan ini membuatku hancur tak bersisa."Tidak mungkin! Kita hanya melakukannya satu kali, dan itu ... .""Mas Damar, jangan coba-coba berkilah! Aku melakukannya hanya denganmu, jadi anak i
Read more
Bab 18B
"Bungur … Bungur … !"Suara kernet bus memecah kesunyian malam. Melihat ke sekitar, lalu pandanganku berhenti pada plang besar bertuliskan terminal Bungurasih.Masih jam setengah tiga pagi. Lebih cepat satu jam dari perkiraanku semula. Penumpang mulai turun satu persatu. Hanya tersisa delapan orang saja, selain kernet bus dan sopirnya.Tiba-tiba saja aku bergidik, teringat perempuan hanya aku saja di dalam bus ini, dengan semua penumpang lainnya laki-laki. Lalu ucapan hamdalah meluncur dari bibirku.Aku mencari tempat istirahat, lalu pilihanku jatuh pada sebuah pohon besar, tak jauh dari pintu masuk. Pesan di ponsel mulai kubalas satu-satu. Kulakukan sambil memakan arem-arem, salah satu isi godie bag berisi bekal dari ibu.Setelah duduk beberapa saat lamanya sambil menekuri ponsel, kulihat seorang pria paruh baya bergerak mendekat. Dengan gerakan slow motion, aku menyimpan ponsel ke dalam tas ransel yang kuletakkan di depanku.
Read more
Bab 19A
Sorenya, aku menuju tempat tinggal salah satu teman kerja di bagian produksi. Berniat melihat kondisi kosan."Jadi, Ika tinggal di sini?"Aku bertanya sambil menyapu pandang pada rumah berhalaman luas di depanku. "Iya. Masih ada kamar kosong satu, aku tanyakan ibu dulu, ya, Mbak."Aku mengangguk mengiyakan."Tunggu di sini, aku panggil ibu dulu."Ia sudah melesat masuk melewati lorong. Mbak Yuli mengajakku duduk di bangku panjang. Aku melihat sekeliling. Beberapa motor terlihat mengisi ruang parkir di samping tangga. Ada sebuah pintu di dekat sumur. Ada tangga di samping lorong, di mana Ika menghilang tadi. Kalau menurut cerita Ika, anak-anak kos tinggalnya di atas, sementara si empunya rumah tinggal di bawah."Ini, Bu, yang mau cari kos."Suara Yuli memenuhi ruang dengarku. Lalu pandanganku beralih pada wanita dengan alis bertaut. Hampir semua mahkotanya berwarna putih.Aku berdiri lalu ters
Read more
Bab 19B
Printer tiga dimensi itu akhirnya datang setelah beberapa hari ditunggu. Seorang pria muda, membantu menjelaskan cara menggunakannya.Berdua dengan Mbak Yuli, meraba-raba cara pakainya, sebab ada bilangan angka yang harus disetting hingga printer dapat berfungsi sempurna. Mas Agus hanya datang selama dua jam saja. Ia harus berkeliling ke tempat lain, melakukan tugas yang sama.Aku diminta menjalankan program yang belum pernah kukenal sebelumnya, lalu diminta belajar membuat desain cincin laki-laki, berhias batu akik bermacam bentuk.Desain itulah yang nanti akan diprint dalam bentuk tiga dimensi, untuk kemudian dijadikan cetakan, lalu diperbanyak.Oh, kepalaku rasanya mau pecah melihat banyaknya tool yang berbaris rapi melambai-lambai. Untung saja Mbak Yuli sabar mengajari aku yang buta dengan desain perhiasan."Pelan-pelan saja, Mbak Dira, anggap saja lagi main-main," katanya, lalu terkekeh-kekeh.Ia lalu akan mengajakku mencari
Read more
Bab 20A
Keluar dari kamar mandi, kudapati Erin duduk di ujung tangga paling bawah. Wajahnya kelam, dengan bibir mengerucut.Sebuah handuk mengalungi leher. Rambutnya yang lurus itu diikat asal, menyisakan banyak anak rambut berserakan ke sana kemari di atas kepalanya. Sesungguhnya ia gadis yang cantik, dengan bibir tipis belah tengah, serta kulit kuning langsat yang nampak berkilauan ditimpa cahaya lampu. "Maaf, ya, Mbak," sapaku saat bertemu mata dengannya.Ia melengos, lalu masuk ke kamar mandi dan membanting pintu kuat-kuat. Aku terjingkat, lalu melanjutkan langkah menaiki tangga."Arek sempel!" seru Mbak Ratna.Kepalaku mendongak, lalu melihat Mbak Ratna menatap pintu kamar mandi dengan tatapan setajam elang. "Biarin, Ra. Memang begitu anak itu!" kata Mbak Ratna dengan logat Surabaya yang kental begitu aku sampai di atas. Aku tersenyum sebagai jawaban, meski detak jantung rasanya berlompatan.Masih kudengar Mbak
Read more
Bab 20B
"Pak Arfan datang, Mbak," seru Mbak Yuli mengagetkanku. Membuka pintu dengan tergesa. Napasnya terengah-engah. Ia pamit ke belakang sejak satu jam yang lalu. Ia lalu menyibukkan diri di balik meja. Sekitar sepuluh menit kemudian Pak Arfan baru masuk ke ruangan ini."Sudah diprint lagi?" sapa Pak Arfan langsung menuju mejaku.Aku menggeser bokong, karena beliau langsung duduk di kursi sampingku tanpa permisi."Sudah, Pak," jawabku, lalu mengamati jalannya mesin sejenak."Mati lampu ya, Pak, tadi malam?" tanya Mbak Yuli masih dari balik monitor.Terlihat dari sudut mataku, Pak Arfan mengangguk."Semalam saya ke sini jam delapan. Sudah berhenti mesinnya."Pak Arfan menghela napas, lalu meletakkan sebuah batu berwarna hitam legam, serta kertas kecil."Nanti kamu buat ini, ya, Nadira," ujar pria berkemeja biru muda itu, lalu beranjak ke kursinya.Me
Read more
PREV
123456
...
14
DMCA.com Protection Status