“Hanum!” Aku mengejarnya, tetapi dia menepis tanganku yang hendak meraihnya. “Mas, tolong jangan ganggu Hanum lagi. Dia itu calon istriku! Sebaiknya Mas pergi, malu sudah jadi pusat perhatian orang-orang!” Suara bariton seorang lelaki terdengar dari arah belakang bersama satu tepukan pada pundakku. “A--apa c--calon istri?” Aku menoleh ke asal datangnya suara. Sosok lelaki bertubuh tinggi itu tengah memandangku. Sorot matanya tajam, dalam gendongannya Mahendra tampak begitu nyaman. “Gak usah seperti itu lihatinnya. Cuma cukup camkan saja, Hanum sudah bahagia bareng keluarga saya. Kamu bisa lihat itu!” Lelaki itu mengarahkan telunjuknya. Aku seolah terhipnotis dan memutar kepala mengikuti arah yang ditunjukkannya. Ternyata di sana, Hanum sudah duduk di sisi sepasang suami istri paruh baya yang tampak tengah menggendong putraku yang satunya. “Daffa ….” Aku berucap tanpa suara. Tampak Daffa tengah disuapi oleh perempuan itu dan berpindah pada pangkuan Hanum. “Mas sudah lihat ‘kan?
“Num, maafkan Mama gak ngabarin kamu dulu kalau Ibu angkat kamu datang. Namun, kamu senang ‘kan?” ucap perempuan yang duduk di kursi roda itu seraya mengusap punggung Hanum yang baru saja saling melepas pelukan dengan Ibu. Aku menatap hal yang ganjil itu dengan seksama. Apa yang dibilang perempuan paruh baya tadi? Mama? Bukankah mereka hanya ART dan majikan? Kenapa panggilannya bisa sedekat itu? Hanum hanya mengangguk dengan ekspresi wajah yang tak bisa kuartikan. Apakah dia sedih atau senang? Hanya saja, tangannya tampak memegang erat lengan Ibu dan mengajaknya duduk pada sofa. “Duduk, Bu. Hmmm, Kok Ibu bisa tahu aku di sini?” Hanum menatap Ibu dalam. Dia bicara disela isak tangisnya yang sudah mulai reda. Namun, sama sekali tatapan itu tak tertuju ke arahku.“Kamu kenapa pergi dari rumah, Num? Kenapa kamu gak nyari Ibu? Ibu hampir gila mikirin kamu dan cucu-cucu Ibu.” Ibu kembali terisak. Punggungnya tampak bergerak-gerak, sedangkan kedua tangan itu menutup wajahnya yang tampak s
Pertemuan hari ini menyisakkan haru. Meskipun Hanum masih bungkam dan tetap dengan pendirian pertamanya yang menolak ajakanku untuk rujuk. Namun, setidaknya rasa rindu ini sedikit terobati. Meskipun aku hanya sesekali bisa berinteraksi dengan Mahe dan Daffa. Namun bisa melihat mereka bermain riang dengan Ibu dan Hanum di teras rumah megah Bu Pramesti, ada yang terasa hangat di dalam sini. Menjelang sore, kami berpamitan pulang. Aku melirik Hanum yang berdiri di samping Rega. Lelaki yang seharian ini seolah menjadi satpam yang tak henti mengawasi kami. “Mahe, Daffa … Papa pulang dulu, ya ….” Aku mencium pipi mereka satu per satu. Hal yang jarang sekali kulakukan ketika kami masih tinggal seatap dulu. “Papapapapa ….” Kedua anakku yang tengah duduk di atas karpet dan memainkan mainannya mengoceh. Tawanya sesekali berderai ketika Ibu yang masih anteng duduk dengan mereka menggodanya. “Bu, ayo … sudah sore.” Aku menatap Ibu. Perempuan itu tampak enggan dan menoleh ke arahku. “Sebentar
"Oke, mari kita buktikan ke dokter kandungan! Kita lihat, berapa usia kandunganmu sekarang! Dan kapan hari naas yang kamu jadikan alasan jika aku berbuat hal itu padamu!” Aku menarik tangan Meli dan setengah menyeretnya keluar. Risna yang berada di belakangku mengejar. Aku sangat yakin, jika mereka hanya tengah menjebakku. Meli tak tahu jika aku sudah tahu isi percakapannya dengan Risna malam itu. Bahkan yang begitu mengejutkanku, ternyata semua ide gila memberiku obat tidur dan menelanjangiku adalah dari Risna dan Meli hanya mengikuti arahannya. “Mas Ramdan!” Tarikan tangan Risna terasa keras di bahuku. Dia memaksa agar tarikan tanganku lepas dari tangan Meli. Aku menolah padanya yang bahkan memaksa melepaskan cekalan tanganku dari pergelangan tangan Meli. Namun, tak seucapun kalimat terlontar dari mulutku. Tak habis pikir, kenapa Risna selalu mendukung Meli sampai tak memikirkan nasib rumah tangga kakaknya sendiri. Apakah ada yang mereka sembunyikan dariku ataukah memang persahab
Kusobek sembarang amplop cokelat itu. Di dalam bungkusan tersebut rupanya sebuah kartu undangan berwarna gold. Kubolak-balik untuk mencari tahu siapa pengirimnya. Seketika debum jantung bertalu lebih cepat melihat nama yang tertera di sana. Dunia rasanya berhenti berputar dan semua asa yang kupupuk biar subur menguap begitu saja. Secepat inikah aku harus mengubur semuanya? Kulempar kertas undangan dengan kualitas premium itu sembarang. Ada yang terbakar di dalam sini dan rasanya mau meledak. Bercampur antara harapan yang patah, kecewa dan penyesalan yang menggunung tiada tara. Aku segera mengambil gawai dan menelpon Ibu. Rasanya selera kerjaku sudah hancur. “Hallo! Assalamu’alaikum, Bu!” “Wa’alaikumsalam, Dan!”Aku menarik napas panjang, rasanya tenggorokan tercekat dan sulit sekali untuk mengucap kalimat berikutnya. “Bu!” tukasku setelah beberapa detik menekan pedih. Lalu, tak ada kalimat lagi, bersambung dengan sedu yang tak bisa lagi kukendalikan. Rasa sesak memenuhi rongga d
Sudah hampir tengah malam, akhirnya aku memutuskan untuk pulang. Kutitipkan satu tas besar itu pada security. Aku pulang dengan hati kosong. Bayangan memeluk dan menciumi Mahe dan Daffa hilang sudah. Malam ini adalah malam terakhirku di sini. Satu tahun aku akan menjauhkan diri dari semua, mengobati luka yang kuciptakan sendiri. Rumah besar, mobil nyaman dan karir cemerlang mendadak terasa bukan apa-apa. Asaku kini bahkan seperti selembar kapas yang terkena hujan. Andai aku punya nomor Hanum, ingin sekali kutelpon dia, kutanyakan keadaannya, memberikan perhatian padanya agar dia tahu kalau aku memang sungguh-sungguh menyesal. Setibanya di rumah, aku langsung membersihkan diri, lalu bermunajat lagi dan memanjatkan doa pada sang pemilik kehidupan. Meminta ampun padanya karena aku telah salah melangkah dan menyia-nyiakan keluarga, hal yang ternyata kini kusadari sangat berharga.Memang benar ketika orang bilang, jika titik terberat dari mencintai adalah merelakan. Perasaan yang datan
Aku turun tergesa dari mobil Avanza berwarna silver metalik milik kantor yang baru saja berhenti di depan rumah. Kuucapkan terima kasih dan mengepalkan satu lembar berwarna merah ke dalam genggaman tangan Pak Bowo yang sudah setia menemani perjalanan kami. “Makasih, ya, Pak.” “Sama-sama, Pak Ramdan! Pamit dulu, ya, Pak. Mau antar Pak Rozak.” Aku mengangguk dan melambaikan tangan pada Rozak dan Pak Bowo, lantas membuka pintu gerbang dan masuk ke dalam rumah. Kunyalakan lampu dan bergegas membersihkan diri. Hanya menumpang mandi dan ganti baju sebentar. Lalu aku segera mengambil kunci mobil dan melajukannya menuju ke rumah Ibu. Hanya saja, niatan awal sejenak berubah. Rasa rindu pada kampung halaman membuatku melajukan mobil menyusuri jalanan tanpa tujuan. Lelah, memang terasa padahal. Hanya saja naluri menuntunku menyusuri ruas-ruas jalan yang dipadati keramaian. “Ah, rindu … semua yang ada di sini kurindukan ….” Tiba-tiba bayangan wajah Hanum melintas. Senyumnya yang dulu malu-ma
Pov MeliSelamat membaca! Selamat weekend semuanya. Yang mau tegur sapa sama othor boleh follow IG/FB aku ya, Evie Yuzuma. Harapan yang kembali kandas membuatku benar-benar meradang. Mas Ramdan bahkan benar-benar tak lagi peduli padaku. Dia tak memandang meski sebelah mata. “Ris, ayo dong bantuin! Ada ide lagi gak?” Aku menatap Risna malam itu. Biasanya dari otak Risna lah ide ide itu bermunculan. “Bentar dong, Mel. Buntu, nih! Mas Ramdan otaknya lagi lurus keknya. Kalau dulu pas masih ada Mbak Hanum di rumahnya, dia malah cepet banget geser otaknya. Sekarang giliran udah pisah, malah lempeng, aneh!"Risna tampak menggaruk-garuk kepala. “Ck! Ide lo semuanya nol! Sebel, lah!” Aku mendelik. Ya, aku tak bisa berpikir lagi. Rasa cinta yang sudah sekian lama kusimpan dalam kesendirian, rupanya tak juga bermuara pada seseorang. Setiap kali aku mencoba menjalin hubungan, hanya Mas Ramdan yang ada di dalam otakku. Ah, dagu belahnya, rambut curlynya, dan kedua mata yang dulu pernah memand