Ibu Tini memeluk putrinya erat-erat. "Ya sudahlah, Tin. Kata Mbah Kiai semua pasti ada hikmahnya." Sang ibu mengelus punggung Tini seperti saat ia masih kecil. "Yang penting sekarang hati-hati sama laki-laki mana pun. Lihat Genduk, cantik sekali. Kalau tidak ada dia, pasti kita kesepian."Dari ayunan sarung lusuh, terdengar dengkuran halus bayi. Tini menyeka air mata dengan ujung kain jarik, tersenyum pilu melihat putrinya—kulit kuning langsat, hidung mancung, dahi lebar. Mirip sekali dengan pria yang merenggut kehormatannya di Jakarta."Genduk sudah tidur, Mbok," bisik Tini, mengecup kening bayinya yang berkeringat. "Saya balik ke rumah Nyonya Arini dulu.""Iya, hati-hati di jalan."Sang ibu bangkit, mengambil kain jarik bekas pembungkus makanan tadi. Kain batik tua bermotif parang rusak, warnanya pudar tapi masih tebal."Ini buat kerudungan, Tin. Tutup juga mukamu. Kamu tambah cantik, takut ada laki-laki nakal di jalan. Jangan tinggal sholat, ya.""Iya, Mbok."Tini mencium punggung t
Last Updated : 2023-10-08 Read more