All Chapters of Menjadi Istri Kontrak Tuan Besar Meier: Chapter 41 - Chapter 50
118 Chapters
Tawaran
Setelah menatap Marten, Carlen mengalihkan perhatian sepenuhnya pada Anike. “Benarkah itu?” tanyanya. “Seperti yang anda dengar.” Anike mencoba untuk tersenyum, meskipun hatinya terasa tak karuan. “Aku sama sekali tidak mengerti, Anike.” Carlen menggeleng pelan. “Apa yang tidak anda mengerti?” balas Anike. “Di satu sisi, aku bisa merasakan sikapmu yang ….” Carlen menjeda kalimatnya, lalu menoleh pada Marten. “Aku ingin bicara berdua dengannya. Bisakah kau keluar?” Carlen menyuruh Marten seenaknya. “Apa kau lupa? Ini apartemenku. Seharusnya kau yang keluar.” Marten mendengkus kesal. “Baiklah kalau begitu.” Carlen tersenyum kalem. Dia kembali memusatkan perhatian pada Anike. “Ayo, kita bicara di luar. Apa sambil makan siang?” tawarnya lembut seraya menarik tangan Anike tanpa permisi. “Tunggu! Kau tak boleh membawanya pergi ke manapun!” sergah Marten. “Apa hakmu? Apa sekarang giliran kau yang ingin mengikat Anike dan membelenggu kebebasannya?” pancing Carlen. Sekilas dirinya melir
Read more
Hati Yang Patah
"Apa maumu, Anike?" Carlen mengempaskan napas pelan. Dia mencoba untuk bersabar terhadap sikap wanita cantik di hadapannya itu."Aku ingin kita kembali, sebagai pasangan suami istri yang sebenarnya. Tanpa kontrak," tegas Anike."Itu tidak mungkin." Carlen terbahak. "Apanya yang tidak mungkin? Tanpa perjanjian kontrak pun kita tetap bisa bersenang-senang. Mempunyai anak-anak yang lucu ....""Cukup, Anike. Jangan terlalu berlebihan," potong Carlen tak suka."Apanya yang berlebihan, Tuan?" Anike menggigit bibir demi menahan air mata agar tak jatuh."Jangan meminta sesuatu di luar batas!" tolak Carlen.Seketika Anike terdiam. Angan-angannya untuk dapat mereguk kebahagiaan dalam bahtera rumah tangga yang sebenarnya bersama Carlen, harus pupus."Bodohnya aku." Anike terkekeh pelan. "Kupikir anda memiliki perasaan yang sama denganku.""Memangnya apa yang kau pikirkan?" "Apa anda tidak bisa melihatny
Read more
Terbang Jauh
"Benarkah?" Mata biru Marten terbelalak sempurna. "Ini keputusan yang sangat bagus, Anike! Kujamin itu!" serunya antusias."Kuharap ini pilihan yang tepat," gumam Anike."Aku juga berharap, kau tidak mengubah pilihanmu, atau aku akan marah," ancam Marten dengan raut serius.Anike hanya tertawa menanggapinya. Namun dia bersungguh-sungguh dengan keputusannya. Terbukti, Anike bersemangat mengurus paspor hingga selesai beberapa hari kemudian.Dari kantor imigrasi, Anike sengaja mampir ke kontrakan Tiara untuk menunjukkan paspornya yang sudah selesai dibuat."Jadi, kamu benar-benar mau berangkat ke Jerman, Ke?" tanya Tiara lesu."Maafkan aku ya, Teh. Aku janji akan pulang di pesta pernikahan Teteh nanti," jawab Anike."Aku hanya khawatir Marten tidak bertanggung jawab dan kamu terlunta-lunta di negeri orang," tutur Tiara resah."Tenang, Teh. Aku sudah dewasa dan bisa menjaga diri. Jangan khawatir, ya," bujuk Anike untuk sedikit menenangkan Tiara."Aku hanya bisa mendoakan yang terbaik untu
Read more
Tak Tergapai
Anike terdiam. Dia tak mampu membalas pernyataan Marten."Apa dia tahu kalau aku berangkat ke Jerman?" tanya Anike lirih."Tidak," Marten menggeleng yakin."Jadi dia tidak tahu, ya?" ulang Anike lesu."Mungkin lebih baik begitu. Jadi kau tidak perlu berharap terlalu banyak padanya. Dengan demikian, kau tak akan terlalu tersakiti," tutur Marten bijak.Anike mengangguk. Akan tetapi dalam hati, dia tetap memberikan kesempatan pada Carlen untuk hadir di tempat itu.Namun, hingga setengah jam berlalu, tak juga terdapat tanda-tanda Carlen datang."Kenapa lama sekali sih, panggilannya?" Anike mulai resah. Perutnya terasa melilit."Sabar dulu, baru juga setengah jam," tutur Marten.Anike menanggapinya dengan tersenyum masam. Dirinya tak tahu bahwa ternyata Carlen mengejarnya sampai ke bandara. Dia melewati bagian pemeriksaan dengan begitu mudah setelah menunjukkan kartu identitasnya.Carlen lalu berlari menuju ke pusat informasi dan menanyakan tujuan penerbangan atas nama Marten kepada seorang
Read more
Sah?
Mobil yang ditumpangi Anike berhenti di sebuah rumah dua lantai. Sopir dari maskapai turut membantu menurunkan barang-barang bawaan Marten dan Anike. "Selamat datang di rumahku, Anike." Marten merentangkan tangan di depan pintu rumahnya yang bergaya minimalis, tapi tetap terkesan mewah dan modern.Anike mendongak menatap bangunan dua lantai bercat putih itu, lalu tersenyum. "Rumah anda besar sekali, Tuan," ujarnya dengan sorot mata terpana.“Untuk sementara, kau akan tinggal di sini,” tutur Marten seraya membuka pintu. Dia menunjukkan pada Anike, bagian dalam rumah yang tampak begitu rapi dan bersih.“Aku menyewa seorang pelayan untuk membersihkan rumah selama aku tinggal di Indonesia,” jelas Marten tanpa diminta.“Bagaimana dengan kedua orang tua anda, Tuan?” Anike memberanikan diri untuk bertanya.“Mereka sudah tiada, beberapa tahun yang lalu. Ayah dan ibuku adalah bukti nyata dari sebuah cinta sejati. Mereka sakit di waktu yang sama, dan meninggal pada hari yang sama pula. Cinta m
Read more
Rencana Baru
"Tidak masuk akal," gumam Anike. "Apanya?" "Untuk apa Tuan Carlen begitu bernafsu menjadikanku istri kontrak sampai-sampai harus mengakali semuanya?" tanya Anike curiga. "Entahlah, mungkin anda meninggalkan kesan pertama yang tak biasa bagi atasan saya itu," jawab Pandu ragu. "Malangnya nasibku," keluh Anike seraya mengempaskan napas pelan. "Jadi, tetap mengikatku sebagai seorang istri siri, apakah juga menjadi bagian dari rencananya?" "Sepertinya dia juga tidak sadar kalau anda masih sah menjadi istrinya. Seperti yang saya katakan tadi, ijab kabul dengan anda adalah pengalaman pertama bagi Tuan Carlen," papar Pandu. "Ah, bagaimana ini?" Anike menggigit bibir. Sisi hatinya kembali berperang, antara berjuang merebut cinta Carlen atau melepaskannya. "Ah, ini sudah terlalu siang. Saya harus segera berangkat ke kantor," cetus Pandu. Dia berdiri, lalu beringsut mendekat pada Anike. "Jangan sungkan-sungkan menghubungi saya kalau anda butuh sesuatu," bisiknya, seolah tak ingin Marten
Read more
Masalah Baru
Baru kali ini Anike melihat gedung perkantoran semewah milik Marten. Terdiri dari tujuh lantai dengan arsitektur modern, gedung itu terletak di tengah-tengah kota. "Sepertinya saya akan kerasan kalau bekerja di tempat sebagus ini," celetuk Anike sambil terus mengekor Marten. Namun, tiba-tiba saja Marten segera menghentikan langkahnya. "Sepertinya aku melupakan satu hal," ujarnya seraya menoleh pada Anike. "Apa itu?" tanya Anike tak mengerti. "Kau sama sekali tidak menguasai bahasa Jerman," jawab Marten ragu. "Itu artinya, kau harus belajar dulu!" "Jadi, aku harus mengikuti kursus dulu, Tuan?" "Iya, aku yang akan mengajarimu," Marten mengedipkan sebelah matanya. "Les privat, hanya kau dan aku," ujarnya seraya mendekatkan wajah dan menyentuh ujung rambut Anike. "Oh, kurasa itu ide yang bagus," timpal Anike gugup sambil memaksakan senyum. "Kita mulai kursusnya hari ini, setelah kita sampai di ruanganku." Marten menarik tangan Anike pelan, lalu mengarahkannya masuk ke dalam lift. A
Read more
Berkhianat
"Berani juga rupanya kau, ya," desis Marten seraya mengamati wanita cantik nan seksi di hadapannya itu. Sesaat kemudian, dia beralih pada Anike. "Bagaimana pertemuannya?" "Em ...." Anike melirik ke arah Bertha sebelum menjawab. "Tidak berjalan lancar. Anak buah anda tidak ada yang menyukaiku," jawabnya ragu-ragu. "Apa maksudnya?" Marten tak menghiraukan Bertha yang masih menunggu keputusannya. Dia berfokus sepenuhnya pada Anike. Diam-diam, Bertha mengawasi interaksi keduanya sambil tersenyum penuh arti. "Mereka mengolok-olok dan menghinaku, Tuan," keluh Anike. "Benarkah yang kau katakan itu?" Seketika raut wajah Marten berubah. Dia lalu menoleh pada Bertha dan berkata, "Kita lanjutkan perbincangan ini nanti malam. Datanglah ke rumahku. Kau pasti sudah mengetahui alamatnya." "Tidak bisa. Kau yang datang ke rumahku, atau kau akan kehilangan informasi yang sangat berharga," tolak Bertha. Tanpa sungkan, dia merogoh sesuatu di balik blazer ketat yang membungkus tubuh bagian atas. Sec
Read more
Rindu Tapi Gengsi
"Jujur saja, aku sangat menyukai kakakmu. Dia begitu galak dan sedikit misterius, membuatku tertantang untuk menaklukkannya," jelas Bertha dengan santainya."Apa kau serius atau hanya sekadar bermain-main denganku?" Marten mendorong pelan tubuh Bertha agar berdiri dari pangkuannya. Marten lalu ikut berdiri dan memandang Bertha tajam."Tentu saja aku serius. Bertha jarang sekali bercanda. Apalagi kalau itu menyangkut uang," seloroh wanita cantik nan seksi tersebut."Lalu, apa yang ingin kau rencanakan selanjutnya?" pancing Marten."Aku ...." Bertha maju dengan sikapnya yang begitu menggoda. Dia lalu memainkan ujung jarinya di dagu dan leher Marten. "Beri aku sedikit lebih banyak dari yang sudah Carlen berikan, maka aku akan menjadi pelayanmu sepenuhnya." "Berapa yang kau minta?" tanya Marten. "Entahlah, mungkin tiga ratus ribu Euro?" cetus Bertha. "Dengan harga sebanyak itu, kau harus siap menjadi pesuruhku. Apapun yang kuminta, kau harus menurutinya," tegas Marten. "Oh, tentu saja
Read more
Foto-foto Kemesraan
Hari itu adalah pagi kedua Anike menghirup udara kota Berlin. Dia bangun tidur dengan penuh semangat. Anike langsung bergegas ke kamar mandi dan membersihkan diri. Setengah jam kemudian, Anike yang sudah tampil rapi dengan busana formal, duduk manis di meja makan. Dia mengamati Marten yang asyik menyiapkan sarapan. Pria itu tak memperbolehkan Anike untuk membantunya. "Karena ini rumahku, maka aku wajib menyuguhkan yang terbaik untukmu, sama seperti kau yang memberikan masakan terbaikmu untukku sewaktu di rumah kakakmu." Begitu alasan Marten. "Tapi masakan anda jauh lebih mewah dari yang kubuat saat itu," kilah Anike. "Bukan masalah mewah tidaknya. Namun, semua dinilai dari ketulusan ketika kau memasak dan memberikan makananmu pada orang lain," sahut Marten sambil membawa dua piring makanan beraroma lezat. "Guten appetit," ucapnya. "Apa itu artinya?" Kening Anike berkerut. "Masa kau tidak tahu? Sampai mana pelajaranmu kemarin?" Marten balik bertanya. "Masih di tahap menghafalkan
Read more
PREV
1
...
34567
...
12
DMCA.com Protection Status