All Chapters of Terpikat Pesona Mas Penyiar Radio: Chapter 11 - Chapter 20
73 Chapters
Trofi
Lelaki sombong dan cuek seperti Ilham memangnya bisa apa?Aku hendak mengambil trofi tersebut, tetapi pintu kamar terbuka. Kuurungkan niatku meski sangat penasaran. Faiha datang membawa dua selimut tebal. Kulihat jam beker di atas meja sudah menunjukkan pukul setengah sembilan. “Tidur, yuk! Ini kubawakan selimut untukmu.”Aku segera menerimanya dan merebahkan diri di samping Faiha. Dia berbaring menatapku lalu tersenyum.“Ada apa, Fai?” tanyaku penasaran. Aku malu dia melihatku sampai seperti itu.“Enggak apa-apa. Aku hanya ingin tahu kenapa kamu bisa mengalami kejadian seperti itu?”Duh, Faiha. Mengapa dia menanyakannya? Aku jadi kepingin nangis lagi, ‘kan? Padahal sejenak aku bisa melupakan kejadian itu setelah mendengarkan ocehan Bian. Haruskah aku katakan semuanya kepada Faiha? Padahal aku tidak sedekat itu sampai mau berbagi cerita dengannya. “Maaf, aku belum siap menceritakan semuanya, Fai.” Aku berbalik memunggunginya. Perlahan bulir air mata menetes membasahi bantal Ilham.
Read more
Radio
Aril Safir? Ilham selalu bekerja saat sore atau pun malam hari. Bisa jadi mereka adalah orang yang sama. Mas Aril hanya siaran di sore atau malam hari, kecuali weekend. Duh, membayangkannya saja membuatku tidak rela. Mereka sangat berbeda, bagaikan langit dan bumi. Ilham itu fakir senyum, sombong, dan sikapnya dingin seperti kulkas dua pintu. Sedangkan Mas Aril itu hangat, dia selalu menghibur semua orang dengan canda tawanya. Segera kukembalikan benda tersebut ke tempatnya. Nama kakaknya Faiha adalah Ilham, bukan Aril. Mungkin saja benda ini milik temannya. Namun, jika ini miliknya berarti aku punya peluang mendekatinya. Astaghfirullah, sadar, Ta! Kamu baru saja patah hati. Aku harus segera mengambil air wudu sebelum setan di kepalaku membisikkan hal yang tidak-tidak. Sesampainya di dapur kulihat Kak Syifa sedang memasak dibantu Faiha. Aku hendak masuk ke kamar mandi, tetapi suara merdu tadarus seseorang laki-laki mengalihkanku. Ilham? Aku menoleh ke musala kecil yang ada di sudut
Read more
Berbagi Cerita
Aku terbangun kala mendengar suara tangisan anak kecil. Perlahan kubuka mata yang terasa berat. Seorang perempuan muda berjilbab sedang tersenyum ramah kepadaku. Di sudut lain kulihat Kak Syifa dan Bian bersama seorang wanita tua. Sepertinya beliau adalah nenek Bian.“Bian mau teluar cama Nenek, Bian takut cama Putli Salju.” Anak itu menangis histeris. Sebenarnya apa yang terjadi? Mengapa dia mendadak takut denganku?“Kamu sudah sadar?” tanya wanita di sampingku. “Memangnya apa yang terjadi denganku? Kenapa aku ada di sini? Ini bukan rumah sakit, ‘kan?”Ruangan yang didominasi dengan warna putih ini sangat luas. Namun, aku yakin ini bukanlah rumah sakit. Tidak ada aroma obat-obatan. Kulihat Bian meringkuk di pangkuan ibunya. Mengapa dia ketakutan melihatku?“Bian, Putri Salju sudah bangun, sini ikut kakak!” Aku merasa tenang jika melihat tingkah lucu dan kepolosan Bian. Sejenak bisa melupakanku dari semua masalah yang sedang kuhadapi. “Bian takut denganmu, kamu baru saja mendorongny
Read more
Kolam Ikan
Siang ini udara di Kota Kretek terasa begitu panas. Aku mengenakan atasan kaos tiga per empat dan bawahan rok plisket milik Faiha. Baju ini terasa panas, panjang menutup tubuhku. Untung saja aku tidak memakai jilbab, bisa tambah gerah pasti. Diantar oleh Mbak Siti, aku pergi ke taman samping rumah menemui Bian. Taman bermain yang luas serta kolam ikan yang indah. Kulihat banyak ikan berenang ke sana ke mari berebut makanan yang diberikan oleh Bian. Di sana ada neneknya yang sedang membacakan buku. Menyadari keberadaanku, Bian bersembunyi di belakang neneknya. “Bian, kakak minta maaf, ya! Kakak tidak sengaja mendorongmu. Kakak janji tidak akan mengulanginya lagi.”Kutunjukkan senyuman mautku yang pasti akan membuat siapa pun terpana. Bian mulai menampakkan mukanya, dia tersenyum mengemaskan. Ingin rasanya aku mencium pipi gembulnya.Aku tidak tahu mengapa tadi aku tiba-tiba pingsan. Aku tidak meminum obat apa pun. Mendadak kepalaku pusing dan semuanya terasa berat kemudian hanya keg
Read more
Dompet
Aku masih punya waktu dua hari untuk bisa menyelesaikan masalahku dan pergi dari kota ini. Memang benar ucapan Kak Syifa, aku harus menghubungi keluargaku. Minimal aku berpamitan dengan Bibi Lia dan Isma. “Heh, kamu mau ke mana? Motorku di sini!”Aku berhenti dan berbalik arah. Ilham sudah duduk di motornya dan mengenakan helm. Namun, kenapa helmnya cuma satu?“Helmku mana?”“Memangnya kamu punya helm?” tanya Ilham. Menyebalkan sekali, ditanya malah balik nanya. “Kagak! Udah ayo cepetan pulang.” Aku segera mengangkat rokku tinggi-tinggi kemudian duduk di belakangnya.“Idih, kamu cewek jadi-jadian, ya? Wanita kok nggak ada anggun-anggunnya.” Aku mencubit pinggangnya, “Buruan jalan. Jangan banyak komentar. Nanti kamu naksir!”Motor melaju dengan pelan meninggalkan rumah Mas Arfan. Ilham tidak bicara sepatah kata pun. Tiba-tiba sampai di jalan raya dia melajukan motor dengan kecepatan tinggi. Apakah le
Read more
Kirim Salam
Malam ini aku membantu Faiha berjualan. Kepala sudah tidak pusing lagi dan badanku terasa lebih segar. Aku meminta Faiha menghidupkan radio supaya aku bisa mendengar suara Mas Aril. Sudah dua hari aku tidak mendengar suaranya, rasanya seperti ada sesuatu yang kurang.Aku tidak tahu bagaimana awalnya bisa kecanduan radio. Semasa SMP, aku dan Isma suka membantu Bibi Lia di toko. Bibi sering menghidupkan radio supaya suasana toko tidak sepi. Pelanggan bunga di toko Bibi sering berkirim salam di radio dan menyebut nama toko bunga milik Bibi sehingga membuat toko semakin ramai pelanggan.Awalnya aku hanya menikmati lagu yang diputar di radio tersebut hingga suatu hari aku mendengar seorang teman sekolahku berkirim salam. Aku yang penasaran langsung menemui dan memintanya untuk mengajarkan bagaimana cara berkirim salam di radio. “Ren, kemarin aku denger kamu kirim salam di radio. Ajarin aku, dong!” “Boleh, tapi jangan lupa kirim salam buat aku. Biar namaku makin mengudara di radio.”Rendy
Read more
Bidadari Cintaku
Aku mencoba menahan sekuat tenaga agar air mataku tidak luruh. Aku harus tegar menghadapi semua ini meskipun sebenarnya hatiku kacau. “Kamu enggak apa-apa, Ta?”“Enggak! Tenang saja, Fai. Aku wanita yang kuat. Kamu tahu ‘kan bagaimana aku di sekolah?”Di sekolah aku tidak pernah menampakkan kesedihanku meski keluargaku berantakan. Aku menjadi Gita yang ceria, kuat, galak dan disegani. Apalagi semenjak berpacaran dengan Erick. Tidak ada yang berani mengusikku. Resiko menjadi pacar anak konglomerat.Beberapa saat kemudian terdengar sebuah alunan lagu ‘Bidadari Cinta' yang dinyanyikan oleh Adibal Sahrul dan Novi Ayla. Lagu yang aku minta sudah diplay di radio.“Sampai ajal menjemputkuKu selalu mencintamuMenyayangmuEngkau tulang rusukkuHingga di surga-Nya AllahKuingin bersamamuDan menjadi bidadari cintamu.”Penulis lagu: Adi Sahrul HartonoAku terenyuh mendengar lagu ini. Pesanku belum dibaca tetapi lagunya sudah diputar. Itulah salah satu alasanku mengagumi Mas Aril, dia ter
Read more
Diari
“Kamu cari apa, Ta?” Faiha datang dengan membawa sajadah dan mukena di tangan. Aku sangat gugup hingga menjatuhkan beberapa buku. Faiha cepat sekali perginya, hingga membuatku kelabakan. Aku segera merapikan buku-buku yang jatuh di lantai. Faiha sudah di depanku, bagaimana ini?“Emmm ... aku sudah terbiasa nulis diari. Aku mau cari buku yang kosong.” Aku menggaruk kepalaku. Duh, nih mulut asal jeplak. Bukunya kan kosong semua, bakal ketahuan kalau bohong. Aku tidak sepenuhnya berbohong, aku suka menulis diari semenjak kelas 1 SMP. Orang tuaku pergi merantau waktu itu, membuatku menuliskan segala keluh kesahku di buku. Aku berharap mereka akan membaca semua catatanku saat pulang. Namun, sampai saat ini mereka belum pernah kembali ke tanah air. Aku sudah menghabiskan banyak buku, mungkin bisa menjadi novel jika aku tuliskan semua kisah hidupku. Namun, mungkin tidak akan ada yang membacanya karena bukan ala ikan terbang.Faiha membantu merapikan buku-buku kakaknya kemudian memberikank
Read more
Canggung
“Sorry!” Dia melotot dan langsung membanting pintunya. Aku kembali merapatkan piama. Semoga saja dia tidak melihatnya. Aku berjalan ke arah pintu dan bersandar dibaliknya memastikan dia sudah pergi. Kudengar langkah kakinya sudah menjauh. Aku bernapas lega. Astaga, jantungku kenapa ini? Ia seperti mau lompat dari tempatnya.“Buruan woy! Aku mau ambil baju,” teriak Ilham dari luar. Benar, kamar ini adalah milik Ilham. Faiha meletakkan bajunya di kamar kakaknya. Lagipula aku memang tidur di kamar ini. Ilham yang salah, dia ‘kan tidur di kamar Faiha? Seharusnya dia mengetuk pintu dahulu sebelum masuk karena ada gadis di kamarnya.Aku segera keluar setelah berganti pakaian. Duduk di kursi ruang tamu sembari menunggu Ilham mandi. Ternyata lelaki itu mandinya lama sekali. Menunggunya membuatku menguap hingga beberapa kali. Aku bisa ketiduran jika dia tidak segera keluar, apalagi semalam kurang tidur. “Lama nunggunya?” tanya Ilham
Read more
Pulang
Kecanggunganku dengan Ilham berlangsung lama hingga akhirnya dia membuka obrolan. Dia menanyakan kenapa aku mengaku sebagai adiknya. Karena rasa penasaranku, kutanyakan juga mengenai Mas Aril. Bukankah lebih baik bertanya daripada menduga-duga?“Kamu kenal Mas Aril?”Ilham mengerem motor secara mendadak hingga membuat helmku terbentur helmnya dengan keras. “Tuh, kan? Kepalaku sudah dua kali terbentur. Lama-lama bisa gagar otak.” Sepertinya dia terkejut mendengar pertanyaanku. aku yakin dia pasti menyembunyikan sesuatu. “Dari mana kamu tahu tentang Mas Aril?”“Aku ngefans sama dia. Aku melihat trofinya di kamarmu. Helm dan jaketmu juga ada logo di tempat dia siaran. Aku jadi penasaran, kamu temennya, ya?”Dia tidak menjawab dan kembali melajukan motornya. Padahal aku sungguh penasaran. Aku tidak ingin mati penasaran hanya karena menunggu jawaban darinya. “Atau jangan-jangan kamu itu Mas Aril?” Aku masih mengomel sepanjang perjalanan hingga sampailah di rumah Bibi Lia, tetapi tidak
Read more
PREV
123456
...
8
DMCA.com Protection Status