บททั้งหมดของ Menjadi Ibu Susu untuk Anak Presdir: บทที่ 611 - บทที่ 620

Rizky duduk tenang di kursinya, menikmati makan malam sederhana bersama keluarga yang ia cintai. Sesekali ia mengangkat kepala, menatap tiga perempuan cantik yang selalu membuat hatinya penuh rasa syukur, dan cinta. Kiara, Aishwa, dan Yura. Di rumah ini, dokter berwajah manis itu merasa dirinya lelaki paling beruntung dan paling tampan, karena dikelilingi cinta mereka.“Ais, bagaimana sekolahmu tadi?” tanya Rizky dengan nada ringan, kebiasaan yang selalu ia lakukan setiap kali makan malam bersama.“Semuanya berjalan aman terkendali, Ded.” Aishwa menjawab sambil mengacungkan jempol, wajahnya cerah.Rizky menyipitkan mata penuh selidik. “Apa hari ini kamu tidak membuat masalah?”Gadis remaja itu cepat-cepat menggeleng. “Kalau ada masalah di sekolah, guru pasti langsung hubungi Deddy, kan?” katanya polos, membuat Kiara tersenyum kecil.Tanpa banyak bicara, Kiara mengambil sepotong daging dan meletakkannya ke piring Aishwa, lalu menyendokkan lagi ke piring suaminya. Senyum tipis menghiasi

Di kamar penuh boneka dan buku-buku gambar, Violet duduk bersila di atas tempat tidurnya. Rambutnya dikuncir dua, wajahnya berseri-seri sambil menunggu layar ponsel menyala. Begitu panggilan tersambung, wajah Samuel muncul.Samuel tampak mengenakan jas kerja rapi, di belakangnya terlihat ruangan kantor modern dengan dinding kaca besar yang menampilkan pemandangan kota Paris malam hari. Wajahnya dingin, lelah, namun begitu melihat Violet, senyumnya langsung mengembang.“Samuel!” Violet berseru girang, melambai dengan tangan mungilnya.Samuel mengangkat alis, bibirnya melengkung tipis. “Violet… apa kamu sudah makan malam?” suaranya terdengar dalam, penuh ketenangan.“Sudah. Oma masak sup ayam, tapi aku simpan sebagian di kulkas. Nanti kalau kamu pulang, aku bisa panasin lagi buat kamu,” jawab Violet polos.Samuel terkekeh kecil. “Itu butuh pesawat 15 jam, Violet kecil. Supnya bisa basi sebelum aku sampai.”Violet manyun, lalu meraih salah satu bonekanya. “Tapi aku mau kamu makan juga.

Suasana sarapan masih hangat ketika tiba-tiba terdengar suara cempreng dari depan rumah.“Permisi! Halo! Aku masuk yaa!”Pintu terbuka, dan muncullah Aishwa dengan seragam putih-biru SMP, helm masih nangkring di kepalanya seperti topi. Rambutnya berantakan, tapi senyum lebarnya membuat semua orang di meja makan terkejut sekaligus geli.“Lho, Aishwa?” Elizabeth memandang heran. “Kamu kenapa belum berangkat ke sekolah?”Gadis itu terkekeh, lalu langsung duduk di kursi kosong di sebelah Noah. Mansion ini sudah seperti rumahnya sendiri. Ia datang dan masuk ke rumah ini dengan bebas. “Hehe, maaf Tante, aku buru-buru. Aku mau bareng mas Noah berangkat sekolah hari ini.”Noah yang sedang minum susu langsung hampir memuntahkannya. “Hah?! Kenapa harus bareng aku?”Aishwa menepuk meja dengan gaya dramatis. “Karena… karena mobil Daddy, hari ini nggak bisa dipakai.”Nathan menatapnya bingung. “Kenapa nggak bisa dipakai?”Aishwa menghela napas panjang, lalu dengan wajah serius ia menjawab, “Soalny

Suara itu begitu jelas di telinga Yura. Lembut, manja, dan penuh kedekatan. “Michael… ayo cepat, aku tunggu.”Detik berikutnya, layar ponsel langsung gelap. Sambungan video call terputus begitu saja.“Tidak…” bisik Yura dengan suara bergetar. Tangannya berusaha menekan tombol merahial, memanggil ulang Michael, tapi tidak ada respons. Statusnya hanya online, tanpa balasan apa pun.Dadanya sesak. Tangisnya pecah seketika. Air matanya jatuh deras, membasahi pipi dan ponsel yang masih ia genggam erat.“Siapa dia…?” suaranya serak, penuh kepedihan.Yura memukul dadanya sendiri dengan lemah. “Kenapa aku harus sebodoh ini… Kenapa aku selalu berharap pada dia… padahal jelas-jelas dia nggak pernah benar-benar milik aku.”Ia memeluk ponsel itu erat, seolah dengan begitu bisa menahan Michael untuk tidak pergi. Bayangan peristiwa 10 tahun lalu kembali hadir di benaknya. Saat Michael memeluknya erat, menyelamatkannya dari penculikan. Saat itu, Yura merasa pria itu adalah pahlawannya, satu-satunya

Anisa akhirnya sampai di gerbang sekolah dengan napas masih agak tersengal. Ia mengatur langkahnya perlahan, tak ingin terlihat lemah meski kakinya terasa berat setelah perjalanan tadi. Senyum tipis ia paksakan, menutupi semua rasa lelah di balik wajah mungilnya. Rok panjang semata kaki, mampu menyembunyikan kaki besinya. Begitu masuk ke kelas, matanya langsung mencari seseorang. Dan benar saja, di barisan tengah, Noah sudah duduk rapi di kursinya. Pemuda tampan itu tampak serius, menunduk dengan dahi sedikit berkerut, jemarinya menyusuri halaman buku kimia yang tebal. Seakan dunia di sekitarnya lenyap, hanya ada rumus dan reaksi kimia di pikirannya. Sementara itu, tepat di depan Noah, duduklah Leo. Pemuda ceria itu tidak pernah bisa diam. Mulutnya terus saja berceloteh, entah tentang film baru yang ia tonton, atau tentang gosip anak kelas sebelah. Tangannya bahkan ikut bergerak heboh, seolah sedang bercerita di panggung teater. “Noah, kau dengerin nggak sih? Hei, aku bilang… terny