Keesokan harinya.Di dalam ruangan VIP yang dijaga ketat itu, hanya suara pelan mesin monitor dan detak jarum infus yang menemani seorang pria yang terbaring tak berdaya—Michael Nathaniel.Sahira duduk di kursi samping ranjang, mengenakan gaun panjang berwarna krem lembut, rambutnya disanggul sederhana, tanpa riasan, namun tetap memesona. Matanya sembab, tapi sorotnya lembut, penuh harap. Di tangannya, tergenggam erat tangan Michael yang dingin dan kaku. Seolah sedang berusaha memindahkan setengah jiwanya agar pria itu tetap bertahan.Dengan perlahan, Sahira membungkuk, menempelkan keningnya pada tangan Michael.“Michael …” bisiknya lirih, hampir tak terdengar, “kamu tahu aku benci menangis, tapi aku tidak tahu lagi harus bagimana …”Air mata mulai jatuh satu-satu, membasahi tangan Michael. Sahira mencium jemari itu pelan, lalu menariknya ke dadanya yang bergetar menahan isak.“Aku ada di sini, sayang. Aku tak akan ke mana-mana. Kamu cukup buka matamu, genggam tanganku lagi ... sepert
Terakhir Diperbarui : 2025-06-04 Baca selengkapnya