Pagi itu, di bawah langit Zurich yang kelabu, Rafael berdiri di depan sebuah pintu kayu sederhana di distrik pinggiran kota.Tangannya terangkat, nyaris mengetuk tapi ragu.Untuk ke sekian kalinya, dia bertarung dengan rasa takutnya sendiri.Takut ditolak.Takut dianggap menjijikkan.Takut kehilangan satu-satunya harapan baru dalam hidupnya.Dengan gemetar, akhirnya Rafael mengetuk pintu.Beberapa detik berlalu, lalu pintu itu terbuka perlahan.Nayla berdiri di sana, mengenakan sweater hangat warna abu-abu dan jeans sederhana.Wajahnya datar, tanpa ekspresi.Tatapannya menusuk, menembus dada Rafael.“Aku sudah bilang, jangan datang lagi, Rafael,” ucap Nayla tanpa basa-basi.Suara Nayla terdengar berat, tegas, penuh luka.Rafael menelan ludah, tetap berdiri di sana.“Aku cuma mau bicara. Lima menit saja. Kumohon,” katanya, suaranya parau.Nayla menghela napas keras, lalu menggeser tubuhnya sedikit memberi jalan.“Lima menit. Tidak lebih,” katanya dingin.Rafael melangk
Terakhir Diperbarui : 2025-05-31 Baca selengkapnya