“Ayah macam apa aku ini…” gumam Haris, nyaris tak terdengar. “Satu anak menangis minta aku tinggal. Satunya lagi, menutup pintu karena aku datang.”Esti mendekat. “Kalau Mas memang mau berjuang untuk anak-anak, jangan setengah-setengah. Jangan cuma datang waktu dibutuhkan.”Haris mengangguk. Kalimat itu menampar, tapi ia tahu itu kebenaran yang tak bisa dihindari.Malam itu, Haris tidur di kamar Ais, tepat di sebelah Ais yang memeluk boneka kesayangannya. Tapi pikirannya bukan pada Ais, melainkan pada Mei.Ia bangun lebih pagi dari biasanya, menyiapkan sarapan seadanya. Bukan demi Esti. Bukan untuk membuktikan apa pun. Hanya satu niat, ia ingin dilihat sebagai ayah yang hadir.Di depan pintu kamar Mei, ia kembali berdiri, kali ini tanpa mengetuk.“Mei…” ucapnya lirih. “Hari ini Ayah antar kamu sekolah, ya?”Tak ada jawaban.Namun kali ini, dari celah bawah pintu, Haris melihat bayangan kaki kecil yang mendekat, lalu menjauh lagi.Itu bukan "iya", tapi juga bukan "tidak". Dan itu cukup
Terakhir Diperbarui : 2025-05-08 Baca selengkapnya