"Sepertinya hubunganmu dengan Mas Haris mulai membaik. Aku lihat dia sering kesini," kata Mita, teman sekaligus tetangga Esti yang sudah seperti saudara.Esti tidak punya teman dekat, di sekolah hubungan Esti dengan rekan-rekan guru biasa saja, tidak ada yang sangat dekat. Dengan Mita, Esti bisa berbagi cerita apa saja, begitu juga sebaliknya."Semua demi Mei dan Ais," sahut Esti. Mereka berdua sedang jalan-jalan mall."Kamu nggak jadi mengurus perceraian?""Bukan nggak jadi, tapi belum.""Kenapa? Dulu kamu ngotot ingin bercerai dengan Mas Haris. Apakah sekarang sudah mulai tumbuh lagi benih-benih cinta?" goda Mita."Kamu ini ada-ada saja, bukan begitu Mita. Aku ingin Indah merasakan apa yang dulu aku rasakan.""Maksudmu?" Mita mengernyitkan dahinya."Aku sengaja mengulur semua ini, supaya nanti anaknya lahir tidak memiliki identitas resmi. Karena mereka menikah siri." Esti berkata dengan tegas.Mita hanya geleng-geleng kepala."Apakah aku jahat?" tanya Esti."Enggak, kamu sudah melak
“Istri Anda sedang hamil,” kata dokter dengan nada serius, “tapi janin dalam kandungannya beratnya jauh dari normal. Sepertinya asupan gizinya kurang. Kami khawatir, jika tidak ditangani, bayi bisa mengalami kekurangan gizi atau komplikasi lain saat lahir.”Haris terpaku. Kata-kata dokter itu menghantamnya lebih keras dari apa pun yang pernah ia dengar malam ini.“Gimana bisa…” gumamnya, matanya menatap kosong ke lantai. “Saya… saya nggak tahu…”Dokter menepuk bahunya. “Sekarang yang paling penting adalah fokus ke pemulihan istrinya dan mulai memperhatikan nutrisi ibu hamil secara serius. Kami akan pantau perkembangannya. Tapi tolong, jangan sampai tekanan emosional ini berlanjut. Itu sangat berpengaruh.”Haris mengangguk, tapi pikirannya sudah melayang entah ke mana. Ia duduk di kursi lorong rumah sakit, wajah tertunduk, tangan mengepal.Tak lama kemudian Esti datang menghampiri. Ia membawa air minum dan duduk di samping Haris tanpa berkata apa-apa.“Anak kami mungkin tidak sehat,” k
“Ayah macam apa aku ini…” gumam Haris, nyaris tak terdengar. “Satu anak menangis minta aku tinggal. Satunya lagi, menutup pintu karena aku datang.”Esti mendekat. “Kalau Mas memang mau berjuang untuk anak-anak, jangan setengah-setengah. Jangan cuma datang waktu dibutuhkan.”Haris mengangguk. Kalimat itu menampar, tapi ia tahu itu kebenaran yang tak bisa dihindari.Malam itu, Haris tidur di kamar Ais, tepat di sebelah Ais yang memeluk boneka kesayangannya. Tapi pikirannya bukan pada Ais, melainkan pada Mei.Ia bangun lebih pagi dari biasanya, menyiapkan sarapan seadanya. Bukan demi Esti. Bukan untuk membuktikan apa pun. Hanya satu niat, ia ingin dilihat sebagai ayah yang hadir.Di depan pintu kamar Mei, ia kembali berdiri, kali ini tanpa mengetuk.“Mei…” ucapnya lirih. “Hari ini Ayah antar kamu sekolah, ya?”Tak ada jawaban.Namun kali ini, dari celah bawah pintu, Haris melihat bayangan kaki kecil yang mendekat, lalu menjauh lagi.Itu bukan "iya", tapi juga bukan "tidak". Dan itu cukup
“Ayah jangan pergi dulu,” ucap Ais lirih sambil menggenggam tangan Haris erat.Haris terdiam. Ia menoleh ke arah Esti yang sedang membereskan sisa peralatan musik. Esti hanya mengangguk pelan, memberi isyarat bahwa ia tak keberatan.“Ayah temani ya sampai Ais tidur,” bisik Haris sambil menggendong Ais ke kamar.Kamar kecil itu hangat dan rapi. Dindingnya penuh dengan gambar dan coretan tangan Ais, gambar keluarga, rumah, pelangi, dan boneka kelinci favoritnya. Haris duduk di tepi ranjang, sementara Ais meringkuk di dalam selimut.“Ayah, kenapa Ayah jarang ke sini?”tanya Ais dengan polos, matanya menatap langit-langit.Pertanyaan itu seperti duri kecil yang menusuk hati Haris.“Maaf ya, Sayang... Ayah sibuk.”“Sama Tante Indah?”Haris tak menjawab langsung. Ia hanya mengelus kepala Ais dan mencium keningnya.“Ais tahu nggak? Ayah kangen banget sama Ais. Tiap malam Ayah mikirin kamu.”Ais tersenyum kecil. “Ais juga kangen Ayah. Tapi Ibu bilang, kalau Ayah sayang, Ayah pasti datang.”Kal
Hari ini Haris menemani Indah periksa kehamilan, disebuah rumah yang ada di daerah mereka. Haris dan Indah sedang menunggu di ruang tunggu poli kebidanan. Tanpa sengaja, Haris melihat ke arah poli anak. Ia melihat Ais yang tertidur dipangkuan Esti.Haris terdiam. Jantungnya berdetak lebih cepat saat melihat Ais tertidur di pangkuan Esti, putri kecilnya yang sudah berminggu-minggu tidak ia temui. Rambut Ais sedikit berantakan, pipinya merah karena demam, dan tubuh mungilnya terlihat lemas.Ia ingin berdiri, ingin mendekat, ingin menyentuh kepala anaknya, tapi tangan Indah menggenggam erat lengannya, seolah tahu apa yang ada di dalam pikirannya."Aisyah Farhana," suara perawat memanggil. Esti pelan-pelan membangunkan Ais, membisikkan sesuatu di telinganya sambil membelai pipinya. Lalu ia berdiri dengan tubuh letih dan langkah perlahan, ia memapah Ais masuk ke ruang periksa.Dan di momen itulah pandangan mereka bersinggungan.Esti melihat Haris. Matanya menangkap sosok yang dulu ia cinta
“Apa Esti sudah mengurus perceraian?” tanya Dewi tiba-tiba, nadanya datar tapi menusuk.Haris menggeleng pelan. “Belum.”“Mungkin Esti malas mengurusnya,” lanjut Dewi, “atau... mungkin juga dia sengaja. Dia ingin menggantung pernikahanmu dengan Indah. Supaya nggak bisa dicatat negara. Biar kamu dan Indah tetap dalam bayang-bayang.”Haris terdiam. Kalimat itu seperti membangunkan kecemasan yang selama ini ia abaikan. Ia tahu Esti bukan tipe perempuan yang melakukan sesuatu secara gegabah. Tapi... menggantung pernikahan? Bisa jadi itu bentuk perlawanan paling sunyi dari istri sahnya.“Lalu bagaimana nasib anak yang dikandung Indah?” tanya Haris lirih, suaranya nyaris putus.Dewi hanya mengangkat bahu. “Itu risiko yang kamu pilih, Haris. Kamu yang bawa Indah ke jalan ini, kamu juga yang harus pikirkan bagaimana dia dan anaknya akan hidup. Jangan harap semuanya bisa beres hanya dengan niat baik.”“Tapi aku ingin mengurus semuanya. Bertanggung jawab.”“Dengan status nggak jelas? Kamu pikir
"Gimana keadaan Indah?" tanya Bu Ratna begitu masuk ke ruang rawat, ditemani oleh Pak Burhan yang menyusul di belakang."Sudah membaik, Bu," jawab Haris pelan. Suaranya terdengar letih, seolah ia menyimpan beban yang tak habis-habis.Bu Ratna langsung menghampiri ranjang Indah. Perempuan paruh baya itu duduk di tepi ranjang, lalu mengelus pelan kepala Indah yang sedang tertidur.Tak lama, Indah membuka matanya. Samar-samar ia melihat sosok yang begitu ia kenal."Ibu...?" suaranya lirih, nyaris tercekat.Bu Ratna mengangguk, ekspresinya mencampur antara sayang dan khawatir. “Ibu sudah bilang kamu harus makan. Tapi kamu tetap ngeyel. Kamu nggak kasihan sama bayi dalam kandunganmu?”Indah menunduk, matanya berkaca-kaca, tak sanggup menjawab."Bu, sudahlah," potong Pak Burhan dengan nada tenang tapi tegas. "Indah sudah tahu mana yang benar, mana yang salah. Kalau dia masih memilih yang salah, ya dia juga yang akan merasakan akibatnya."Haris hanya bisa menghela napas panjang. Rasanya ingi
Haris menatap Indah dengan tatapan tajam, suasana di kamar terasa semakin tegang. "Seharusnya kamu nggak usah lagi memprovokasi Esti. Esti itu lebih cerdas dari yang kamu kira." Indah mendengus, matanya merah karena menahan emosi. “Oh, Mas membela Esti ya?” suaranya penuh sindiran. “Mas masih mau kembali dengannya?” Haris menghela napas panjang, mencoba meredam gejolak dalam dirinya. “Indah, aku dan Esti belum resmi bercerai. Ingat itu!” Wajah Indah langsung berubah. Matanya membelalak, hatinya mencelos mendengar pernyataan itu. “Mas…” suara Indah melemah, ketakutan mulai menyelimuti hatinya. “Kenapa… kenapa Mas ngomong seperti itu? Jadi Mas masih menganggap Esti istri Mas?” Haris menatapnya dalam-dalam. Ia tidak menjawab dengan cepat. Karena ia sendiri tidak tahu jawabannya. Indah mencengkeram lengan Haris, matanya penuh rasa cemas. “Mas, bilang sama aku kalau Mas nggak akan kembali ke Esti.” Haris diam. Dan bagi Indah, diamnya Haris lebih menyakitkan daripada kata-kata apa p
Malam semakin larut. Indah masih duduk termenung di sudut kamarnya, tidak bergerak, tidak bicara, tidak melakukan apa pun. Ponselnya tergeletak di sampingnya, kosong tanpa pesan, tanpa panggilan. Haris tidak mencarinya. Di luar kamar, Bu Ratna mondar-mandir dengan wajah penuh kekhawatiran. Sejak pulang tadi siang, Indah tidak mau makan, tidak mau bicara. Ibunya sudah mencoba membujuk, tapi anaknya hanya diam, tatapannya kosong seolah jiwanya telah pergi entah ke mana.Tadi ketika sampai di rumah, ia menjatuhkan tubuhnya di sofa. Tangannya gemetar saat membuka ponsel. Tidak ada pesan dari Haris ataupun panggilan. Air matanya kembali jatuh. Air matanya terus mengalir tanpa bisa ia hentikan. Dulu, ia selalu merasa di atas merasa menjadi pusat perhatian, merasa diinginkan. Tapi kini, tidak ada yang tersisa.Indah menatap langit-langit, dadanya terasa begitu sesak. Selama ini, ia hanya tahu cara merebut, tapi tidak tahu cara mempertahankan. Dan kini, semuanya telah terlepas dari genggama