All Chapters of Tukang Pijat Tampan: Chapter 111 - Chapter 120

Adit berdiri mematung di depan cermin kamar mandi kecilnya, menatap pantulan dirinya dengan perasaan rumit. Rambutnya sudah ia sisir rapi, wajahnya sudah ia cuci berkali-kali, dan parfum murah yang jarang ia pakai kini menguar dari tubuhnya. Tangannya masih memegang botol parfum itu sambil bertanya-tanya dalam hati.‘Kenapa sih aku harus begini?’ gumamnya pelan sambil meletakkan botol parfum di rak kecil. ‘Kenapa aku merapikan diri, pakai parfum, dan gugup seperti ini? Apakah ini artinya, sebenarnya aku…’Tapi pertanyaan itu seolah tidak bisa dijawab dengan mudah. Bagaimana pun juga, Renata adalah wanita pertama yang memberikan pengalaman bercinta kepadanya. Wanita yang membuka mata Adit terhadap dunia yang sama sekali asing baginya. Bagi Adit, sosok Renata masih memiliki tempat khusus dalam pikirannya; sebuah kesan mendalam yang sulit dihapus, meski ia sangat sadar bahwa wanita itu adalah istri orang lain.Ia masih ingat dengan jelas malam pertama mereka. Sentuhan lembut tangan Renat

Pagi pun tiba dengan cahaya matahari yang menyusup melalui celah-celah jendela kamar Adit. Tangannya meraba-raba kasur mencari ponsel sambil mata masih enggan terbuka sepenuhnya.Setelah menemukannya di bawah bantal, Adit memicingkan mata menatap layar yang menyilaukan. Jam menunjukkan pukul 7 pagi. Matanya yang masih buram perlahan fokus pada notifikasi yang bertebaran di layar. Dua pesan masuk dan satu panggilan tak terjawab. Semua dari Larasati."Aduh," gumamnya sambil menepuk dahi. Sejak semalam ponselnya memang ia atur dalam mode silent karena tidak ingin diganggu setelah seharian yang melelahkan.Dengan mata yang masih separo terbuka, ia membuka pesan pertama yang masuk jam 6 pagi: "Adit, udah bangun belum? Aku mau berangkat nih."Pesan kedua jam setengah 7: "Aku udah di perjalanan ya. Sampai sana kira-kira jam 7 lebih dikit."Seketika mata Adit terbuka lebar. Rasa kantuk langsung sirna digantikan kepanikan. "Gila, dia udah di jalan!"Adit melompat dari kasur dan berlari ke kama

Bagaimana pun juga, Tia sudah terlanjur datang. Gadis itu berdiri canggung di ambang pintu, kantong plastik berisi makanan masih tergenggam erat di tangannya. Mata cokelatnya menatap bergantian antara Adit dan sosok wanita yang duduk santai di meja makan; sosok yang sangat dikenalinya.Perasaan Tia berkecamuk seperti badai. Jantungnya berdentum keras ketika menyadari siapa wanita itu. Larasati. Wanita kaya raya yang pernah datang ke klinik dengan sikap angkuh, mencari Adit dengan nada menuntut. Saat itu, Tia mengira Adit sedang bermasalah dengan wanita mewah tersebut. Namun kini, pemandangan di hadapannya bercerita lain; mereka berdua duduk akrab, berbagi makanan dalam suasana yang begitu intim.Tia merasakan dadanya sesak. Betapa bodohnya dia. Bagaimana bisa seorang karyawan biasa seperti dirinya bersaing dengan wanita seperti Larasati? Di luar sana, sebuah mobil mewah terparkir anggun; mungkin lebih mahal dari harga rumah orang tuanya. Sementara dia? Dia bahkan harus naik ojek untuk

Suasana sore itu sangat mendukung intimasi mereka. Rumah kosong, hanya ada mereka berdua di kamar yang redup dengan tirai setengah tertutup. Cahaya matahari sore yang meredup masuk samar-samar, menciptakan atmosfer hangat yang nyaman. Adit dan Laras berciuman mesra, panas, dan lama, seolah dunia di luar tidak ada.Sebenarnya Adit hanya tak ingin melukai perasaan Larasati yang sudah terlanjur terbuka padanya. Itu sebabnya ia menyambut ciuman itu dengan seluruh jiwa, meski bukan ia yang memulainya. Hatinya bergolak antara keinginan dan rasa tidak layak. Bahkan ia tak berani berbuat lebih jauh; tangannya hanya berpegangan pada pinggang Laras dengan hati-hati, seolah takut merusak sesuatu yang berharga.Tapi tangan Larasati justru lebih berani. Jari-jarinya yang lentik menelusuri dada bidang Adit, lalu turun ke perut yang berotot, dan akhirnya nakal mencari sesuatu yang sudah mengeras sempurna di balik kain celana."Laras..." ujar Adit dengan suara parau, nafasnya terengah-engah. Ia seten

"Laras, nenek mau pulang sekarang juga! Nenek nggak betah di sini," kata Nenek Delima dengan nada tegas sambil berusaha turun dari ranjang rumah sakit. Meski berusia 70 tahun, semangat dan kekuatan tubuhnya seolah kembali seperti saat masih muda."Tapi Bu, sebaiknya kita tunggu dokter dulu. Hasil lab belum keluar..." Nyonya Sukmasari berkata dengan nada khawatir, tangannya mencoba menahan mertuanya agar tidak bergerak terlalu cepat."Mama, nenek sudah bilang mau pulang. Kita turuti saja," kata Laras sambil menatap ibunya dengan pandangan yang memohon agar tidak mempersulit situasi.Nyonya Sukmasari menghela napas panjang, merasa tak bisa apa-apa lagi kecuali patuh menurutinya. Ia tahu sifat keras kepala ibu mertuanya, sekali sudah memutuskan sesuatu, tidak ada yang bisa mengubah keputusannya."Baiklah, tapi saya minta perawat untuk memastikan kondisi Ibu sekali lagi," kata Sang Mama sambil menekan tombol panggilan perawat.Beberapa menit kemudian, seorang perawat senior bernama Suster