Semua Bab Terjebak Cinta dan Gairah Mantan Suami : Bab 21 - Bab 30

Nazharina berusaha fokus pada pekerjaan, meski pikirannya masih dipenuhi interaksi aneh dengan Arian sepanjang hari. Entah sejak kapan pria itu berubah menjadi atasan yang lebih sering memanggilnya dibanding pegawai lain.Sore mulai menjelang, dan kantor mulai terasa lebih tenang. Tapi sebelum ia benar-benar bisa bernapas lega, suara telepon kantornya kembali berdering.Tidak perlu menebak. Sudah jelas siapa yang menelepon.Nazharina mendesah sebelum mengangkatnya. “Ya, Tuan Arian?”Ada jeda singkat di seberang sana, sebelum akhirnya terdengar suara rendah pria itu. “Masuk sebentar.”Nazharina menghela napas, lalu bangkit. Namun, kali ini ia tak terburu-buru. Jika memang ada hal mendesak, Arian pasti akan langsung mengatakannya lewat telepon, bukan hanya memintanya datang lagi dan lagi.Begitu ia masuk ke ruangan, Arian sedang berdiri di belakang meja, ekspresinya tak bisa ditebak.“Ada yang bisa saya bantu, Tuan Arian?”Mata pria itu menyipit

Nazharina melangkah masuk ke ruangan Arian dengan membawa beberapa berkas di tangan. Wajahnya tampak seperti biasa, tenang dan profesional, tapi Arian bisa merasakan sesuatu yang berbeda. Gestur Nazharina lebih kaku, suaranya lebih datar, dan matanya tampak lebih enggan menatapnya lama-lama.Arian menyandarkan tubuhnya ke kursi, meneliti wajah wanita itu dengan seksama. "Ada sesuatu yang mengganggumu?" tanyanya.Nazharina menggeleng, meletakkan berkas di meja dengan hati-hati. "Tidak ada, semuanya baik-baik saja."Arian tidak percaya begitu saja. Ia menyilangkan tangan di dada, menunggu seakan memberi kesempatan agar wanita itu mau bicara.Nazharina menghela napas sebelum akhirnya berkata, "Aku hanya berpikir… bagaimana kalau aku berhenti bekerja di sini?"Arian menegang. Matanya mengamati wanita di depannya, berusaha mencari kepastian dalam ekspresinya. “Kau ingin mengundurkan diri? Ini karena gosip itu, bukan?”Nazharina tersenyum kecil, meski t

Siang itu, Nazharina baru saja kembali dari pantry dengan segelas kopi di tangan. Ia menghela napas panjang sebelum melangkah ke mejanya, siap melanjutkan pekerjaan. Namun, saat ia sampai di sana, langkahnya langsung terhenti.“Apa-apaan ini?” gumamnya.Mejanya yang tadi ditinggalkan masih rapi kini berantakan total. Dokumen-dokumen yang sudah ia susun tersebar, pena dan sticky notes berhamburan, bahkan ada beberapa kertas yang tampaknya sengaja diselipkan di tempat yang tidak seharusnya.Nazharina berbalik dan menemukan Arian berdiri tak jauh dari sana, tampak sangat tidak bersalah.“Kau.” Nazharina menunjuknya dengan mata menyipit. “Apa yang kau lakukan dengan mejaku?”Arian mengangkat bahu santai. “Aku tidak melakukan apa-apa.”“Jangan bohong, Arian.” Nazharina melangkah mendekat dengan tatapan tajam. “Mejaku tidak mungkin tiba-tiba berantakan sendiri.”Arian menatapnya sebentar, lalu tersenyum tipis. “Mungkin ada gempa kecil yang hanya terjadi

Satu detik.Dua detik.Hanya beberapa milimeter lagi bibir mereka akan bertemu.Namun, tepat sebelum itu terjadi, Nazharina sadar. Ia menahan napas, lalu dengan cepat mendorong dada Arian. “Lepaskan aku!”Arian seakan tersadar dari lamunannya. Matanya berkedip, lalu tanpa banyak bicara, ia segera bergeser, memberikan ruang bagi Nazharina untuk bangkit.Nazharina buru-buru berdiri, merapikan rambutnya yang berantakan, lalu berjalan ke pintu. Ia membuka kunci yang tadi dipasang Arian tanpa melihat ke arahnya.“Aku harus kembali bekerja,” ucapnya dengan suara yang sedikit bergetar.Tanpa menunggu jawaban, ia keluar dari ruangan, meninggalkan Arian yang masih terduduk di lantai. Lelaki itu memejamkan mata sejenak, lalu menghela napas panjang.Sial.Kenapa baru sekarang ia begitu menginginkannya?Sementara itu di sisi lain, Nazharina berjalan cepat menyusuri koridor, seolah ingin pergi sejauh mungkin dari ruangan itu—dari lelaki itu.

Meja makan sudut dekat jendela sudah ditempati oleh Nazharina, Ethan, dan dua karyawan lain. Tawa ringan terdengar di antara suapan makanan dan obrolan santai. Kinoshita duduk di seberang Nazharina, memutar sedotan dalam gelas plastiknya."Aku kira Anda tidak pernah makan siang di sini, Ethan," ujar Nazharina dengan senyum sopan. "Biasanya Anda menghilang setiap jam makan.""Sekali-sekali mencoba suasana baru," jawab Ethan, tenang namun ramah. Tatapannya sesekali mengarah kepada Nazharina.Tak lama kemudian, Arian memasuki kafetaria. Pandangannya langsung tertuju pada meja tempat Nazharina duduk. Ketika melihat Ethan di sana, rahangnya mengeras sejenak. Ia berjalan perlahan, mengambil nampan makan siangnya, dan tanpa banyak bicara, langsung duduk di sebelah Nazharina."Permisi."Suaranya tenang, namun cukup tegas untuk menarik perhatian seluruh meja. Ia duduk tanpa bertanya, membuat Kinoshita dan Ethan saling berpandangan.Nazharina menoleh, tidak menye