All Chapters of Terpaksa Menikahi Atasanku: Chapter 11 - Chapter 20

Setelah menempuh perjalanan udara selama kurang lebih satu jam, pesawat yang mereka tumpangi akhirnya mendarat mulus di Bandar Udara Ahmad Yani, Semarang. Sejak beberapa waktu lalu, Latisha mulai merasakan perutnya kosong—keroncongan yang semakin memekik seiring waktu. Ia melewatkan makan siang, dan kini rasa lapar itu berubah menjadi nyeri yang menyesak.Keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya, sementara pandangannya sempat mengabur sejenak. Perutnya melilit seperti diperas, namun ia masih berusaha tegar, menahan rasa tak nyaman itu di perutnya.Latisha nyaris kehilangan keseimbangan saat langkahnya melemah—tubuhnya sudah terlalu lemas karena menahan lapar. Untung saja Sagara sigap menggandeng lengannya, menuntunnya dengan tenang hingga mereka keluar dari pesawat.“Tunggu di sini. Saya ambil bagasi dulu.” Suara bariton Sagara memecah kesadarannya. Tatapan pria itu sempat singgah di wajah Latisha, memperhatikan rona pucat yang mulai muncul di pipinya, lalu tanpa banyak kata, ia b

Latisha melangkah pelan-pelan menuruni anak tangga, suara-suara pelan terdengar, dan ia mencoba menenangkan diri. Ini pertama kalinya ia bermalam di rumah mertuanya, dan ia ingin memberi kesan baik.Saat baru saja melewati ruang tengah menuju dapur, terdengar suara lembut tapi tegas memanggil, "Sudah bangun?"Latisha sedikit terlonjak kaget. Ia menoleh, melihat Rianti berdiri di dekat meja dapur, tangannya sibuk memeriksa bahan makanan."I-Iya, Buk," jawab Latisha gugup sambil mempercepat langkahnya. Jangan-jangan ia kesiangan?"Suamimu?" tanya Rianti sambil setengah menoleh, lalu kembali sibuk membuka kulkas."Katanya mau jogging, Buk," sahut Latisha canggung. Bahkan untuk sekadar berdiri pun, rasanya tubuhnya kaku - ia takut salah bicara atau salah gerak."Nggak ikut?" Rianti meliriknya singkat."Enggak, Buk. Ibu mau masak apa?" tanya Latisha, mencoba membantu dengan mengambil bahan yang sudah dikeluarkan Rianti."Soto. Sagara suka soto daging," jawab Rianti sambil mulai menyiapkan

"Ibu itu sering kesepian," ucap Rianti pelan, matanya fokus pada gunting yang perlahan memotong daun kering dari tanaman hias yang menjalar di pagar kayu kecil taman."Anak-anak sudah sibuk dengan hidup masing-masing. Ayahmu juga masih aktif mengajar, jadi seringnya Ibu sendirian di rumah."Ia tersenyum tipis, lalu melanjutkan, "Jadi Ibu sibukkan diri dengan berkebun. Hitung-hitung olahraga juga, biar nggak jenuh."Latisha tersenyum, matanya memperhatikan cara Rianti dengan telaten merawat tanaman. Ada ketenangan dalam gerakan-gerakannya, dan pagi ini, Latisha merasakan kehangatan berbeda dari ibu mertuanya-lebih ramah, lebih terbuka, dan sangat keibuan."Maaf ya, kalau kemarin Ibu terkesan dingin ke kamu..." ujar Rianti tiba-tiba, menghentikan aktivitasnya lalu menatap Latisha dengan lembut. Tangan tuanya terulur, mengelus pelan lengan Latisha.Latisha menggeleng pelan, tersenyum tulus. "Nggak apa-apa kok, Buk. Saya ngerti... mungkin Ibu cuma butuh waktu buat mengenal saya."Rianti t

"Apa alasan Mas menikah dengan Latisha?" tanya Daniel pelan, memecah keheningan pagi yang diliputi kabut tipis. Mereka duduk di teras belakang rumah, ditemani secangkir kopi hangat dan kicauan burung yang bersahutan dari kejauhan.Sagara menoleh perlahan, alisnya terangkat sedikit. “Apa maksudmu?” suaranya tenang, datar seperti biasanya—terlalu tenang, hingga terasa seperti dinding yang tak bisa ditembus.Daniel menatap kakaknya tanpa berkedip. “Mau Mas bungkus sebagus apa pun, Ayah dan Ibu mungkin nggak sadar. Tapi aku? Aku tahu. Mas nggak bisa nutupin itu dariku.”Sagara menarik napas panjang, lalu menyesap kopinya perlahan, mencoba menenangkan diri—atau mungkin, mencoba menyusun jawaban.“Nggak ada yang aku tutupin,” ujarnya akhirnya, singkat.Tapi Daniel tahu, itu bukan jawaban. Itu penghindaran. Dan ia terlalu mengenal kakaknya untuk tertipu oleh kalimat seadanya.“Jadi kenapa? Karena permintaan Ibu?” tebak Daniel lagi, suaranya meninggi sedikit, sarat dengan emosi yang tertahan.

Sagara terdiam. Kata-kata ibunya menggema dalam benaknya, menggoyahkan dinding yang selama ini ia bangun rapat-rapat. Ia pikir ia sudah cukup kuat. Ia pikir dengan menikahi Latisha, semua akan perlahan luruh dan berganti arah. Tapi hari itu, tatapan ibunya memaksa dirinya untuk jujur—kalau bukan pada orang lain, setidaknya pada dirinya sendiri.Sebelum ia sempat menjawab, langkah-langkah ringan terdengar mendekat. Latisha muncul dari arah dapur membawa dua gelas teh hangat di tangan."Teh jahe, buat Ibu dan Mas," ucapnya, menyuguhkan senyum kecil. "Tadi lihat Ibu pucat, jadi Tisha bikin yang anget."Rianti menyambut gelas itu, matanya menyiratkan haru. Sagara hanya menatapnya dalam diam, lalu mengangguk pelan."Terima kasih, Tisha," ujar Rianti lembut. "Kamu perhatian sekali."Latisha hanya tersenyum, lalu duduk di sisi yang lain, menyendok nasi ke piring-piring kecil sambil sesekali mencicipi masakannya. Ruang makan dipenuhi aroma ayam kecap dan tumisan buncis yang menggoda.Sesekali