All Chapters of Perjanjian Panas dengan Kakak Muridku: Chapter 341 - Chapter 350

Eve berhenti sejenak. Inilah akar dari masalahnya. Dokter Monica yang cantik sekali. Dokter yang menggunakan riasan tebal itu tersenyum pada Bastian. “Halo. Saya teman dokter Eve. saya dengar anda adalah teman dokter Eve juga.” Mengulurkan tangannya. Eve melepaskan tangannya dari lengan Bastian. Melirik Bastian yang berada di sampingnya. Sesuai dugaannya, Bastian menyambut uluran tangan Monica dengan senang hati. “Bastian, teman ‘dekat’ dokter Eve.” Bastian tersenyum dengan ramah. “Dokter Monica, nama yang cantik.” mengangguk pelan. Eve berdecih dalam hati. ‘Dia benar-benar berubah menjadi pria yang pintar merayu!’ Eve harus menyudahi perkenalan yang tidak ada artinya ini. Ia menarik lagi lengan Bastian. “Sudah cukup perkenalannya ya. Saya harus membawa teman ‘dekat’ saya ini pergi.” Eve menatap dokter Monica. Demi apapun, ia malas sekali berhadapan dengan dokter ini. “Saya akan menggantikan anda besok. Jadi, anda bisa ikut ke acara keluarga dengan tenang.

Hari-hari terus berlanjut. Grey menyelesaikan pertandingan sebagai pemain cadangan. Meski hanya bermain tidak lebih dari lima menit. Namun permainannya bisa menyumbang skor untuk timnya. Ada dua pertandingan yang ia tidak bisa masuk sama sekali. Kemampuan teman-temannya yang sangat bagus sehingga tidak membutuhkan pemain pengganti lagi. Namun bocah itu menerimanya dengan lapang dada. Ikut bermain bersama timnya sampai membawa kejuaraan adalah impiannya. Mengangkat piala yang begitu besar dan tersenyum ke arah kemera. “Senyum!” Eve memotret adiknya dengan bahagia. Grey tersenyum sumringah pada kamera yang dibawa oleh kakaknya. Kamera yang terus memotret dirinya. Eve mundur ketika Bastian datang. Dia sebagai pemilik Akademi memberikan selamat yang simbolis pada tim junior yang berhasil membawa juara. Mempertahankan nama BMJ Hoops sebagai akademi terbaik di negeri ini. “Bagus.” Bastian berhigh five dengan Grey. Grey tersenyum riang. “Om Bastian. apa Om Basti

“Aku dengar kau ingin bertemu denganku?” tanya Bastian langsugn to the point. Seperti yang dikatakan oleh Eve. Mereka berada dibangku yang berada lebih jauh dari bangku teman-teman-temanya. Bastian berhadapan dengan Monica, perempuan cantik yang berprofesi sebagai dokter. Wanita cantik yang selalu tersenyum itu mengangguk. “Iya, karena aku ingin mengenalmu lebih dalam.” Sembari mengusap helaian rambutnya ke belakang. “Sebenarnya…” Bastian terdiam sebentar. “Aku kurang suka pertemuan seperti ini. maksudku, aku leibh suka pertemuan yang alami.” “Kalau begitu kamu tidak tertarik denganku?” tanya Monica. “Hmm.” Bastian menyipitkan mata. “Bukannya tidak tertarik. Siapa yang tidak suka dengan perempuan cantik sepertimu. Tapi alih-alih hanya melihat tampilan fisik saja. Aku lebih suka mengenalnya perlahan dan membiarkan perasaan tumbuh sendirinya.” Bastian menyeruput minumannya. Stroberry latte. Minuman yang sudah ada di meja semenjak ia duduk di bangku. Siapa yang memesan m

Kriiing! Bunyi alarm itu membuat wanita yang masih berada di dalam selimut terbangun. Eve membuka mata—pinggangnya sangat berat oleh tangan. Ia bangkit sebentar untuk sekedar mematikan alarm. Lalu memutar tubuhnya—memandang kekasihnya yang masih tidur. Mengenai semalam…. Mereka tidak melakukan apapun. Nicholas berhenti—pria itu tetap dengan pendiriannya. Tidak mau menyentuh Eve terlalu dalam sampai pernikahan mereka. Meski sebenarnya gairah mereka juga sama-sama membara dan sangat sulit untuk ditahan. Tangan Eve terangkat mengusap pipi Nicholas. “Kamu sudah bangun?” tanya Nicholas. Ia menarik pinggang Eve—memeluk Eve seperti guling. “Sebentar lagi.” Nicholas menaruh wajahnya di ceruk leher Eve. “Aku masih mengantuk.” “Hari ini kamu tidak ada jadwal ke rumah sakit?” tanya Nicholas. “Ada. Tapi sore. kita bisa bersama sampai sore.” Eve mengusap helaian rambut Nicholas pelan. Tangannya mengusap punggung telanjang Nicholas. Lembut sekali—mungkin lebih lembut k

Eve menguap dengan panjang.Jam berapa ini…. Tunggu, kenapa nyaman sekali? mengusap sprai yang terasa sangat lembut. Eve membuka mata—menatap sekitar. Ruangan yang nyaman. Ia melotot—langsung bangkit. “Di mana aku?” meraba tubuhnya yang masih lengkap menggunakan pakaian. Dia kebingungan sendiri. sampai…“Di pulauku.” Eve terperanjat kecil. Di sana—di pojok ruangan, Bastian sedang membaca buku. Sebuah kacamata yang menempel di hidung mancung pria itu. “Kenapa aku—” Eve benar-benar kebingungan. “Bagaimana kau—” “Tidak usah banyak berpikir.” Bastian bangkit—melepaskan kacamatanya. Menaruh buku di atas meja. “Kita masih punya waktu untuk bersenang-senang.” Bastian tersenyum miring. “Oh ya aku tidak menghitung waktu tidurmu sebagai waktu kencan kita.” Eve menyipitkan mata. “Dasar!” Bastian mengulurkan tangannya. “Ikut denganku.” Menatap uluran tangan Bastian. Eve melengos—mengacuhkan tangan Bastian dan memilih untuk bangkit sendiri. “Mau ke mana?” Bastian berjalan lebih du