Mahesa hanya mengangguk pelan, nyaris tak terlihat, seperti embusan angin sore yang malu-malu menyentuh dedaunan.“Buat saya, beneran?” tanya Pak Wira, setengah tak percaya. Ada kilau yang tak biasa di matanya, seperti anak kecil yang baru saja ditawari mainan impian.Mahesa mengangguk lagi, tanpa kata, tapi cukup kuat untuk menjawab keraguan yang menggantung di udara.Pak Wira menurunkan tubuhnya dengan hati-hati ke kursi kayu berpelitur pudar itu. Ia menutup mata sejenak, mengusap lengan sandaran dengan ujung jarinya, seolah mencoba menangkap kenangan yang terkurung dalam serat kayu tua itu.“Tapi… tumben banget kamu ngasih beginian,” gumamnya, lalu tertawa kecil, pelan dan serak. “Pasti ada maunya. Kalau butuh bantuan, bilang aja.”Tanpa banyak basa-basi, Mahesa langsung menyuarakan maksud kedatangannya. “Saya pengin tanya soal Master Mardhiyah.”Ekspresi Pak Wira berubah, dari santai menjadi waspada. Alisnya naik, mata menyipit. “Master
Last Updated : 2025-08-24 Read more