All Chapters of Bukan Mantan Biasa: Chapter 231 - Chapter 240

Cahaya di sisi Brielle agak redup, sehingga Raka dan Devina tidak menyadari keberadaannya. Mereka dibawa masuk ke ruang privat lain. Meskipun sudah bercerai, kenangan enam tahun bersama Raka terlalu dalam bagi Brielle.Dari jatuh cinta pada pandangan pertama, hingga enam tahun setelah pernikahan, Brielle selalu menjadi pihak yang lebih dulu mencintai. Sementara itu, Raka hanya menikmati cinta itu tanpa pernah benar-benar membalasnya.Selama enam tahun, perasaan Raka terhadap Brielle tidak pernah menolak, tapi juga tidak pernah benar-benar merespons.Kini, setelah melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Raka memperlakukan Devina dengan penuh kasih sayang, barulah Brielle sadar. Pria itu sebenarnya bisa hangat, lembut, dan penuh perhatian ... hanya saja, bukan untuknya.Hati yang selama ini tertutup rapat, bisa dimasuki Devina dengan mudah. Sedangkan dirinya, meski menghabiskan enam tahun penuh usaha, tetap saja tidak bisa masuk ke hati Raka.Dulu, Brielle bahkan pernah diam-diam

Setelah beristirahat di rumah selama dua hari, suasana hati Brielle membaik dan tenaganya pun telah kembali. Pada hari ketiga, dia sudah kembali ke laboratorium untuk bekerja.Setelah menuntaskan laporan risetnya, Madeline mengusulkan agar mereka terus memperkuat verifikasi eksperimen. Dengan demikian, mereka bisa segera memecahkan masalah medis yang sulit itu, menaklukkan penyakit, dan menyelamatkan lebih banyak nyawa.Seminggu kemudian, Brielle dan Syahira sama-sama menerima undangan makan malam dari Agnes, istri wali kota. Keduanya tidak berani menyepelekan sehingga mereka pun datang tepat waktu.Wali kota sendiri juga hadir, membawa serta keluarganya untuk menyampaikan terima kasih. Brielle dan Syahira sempat merasa agak sungkan karena dihormati sampai sedemikian rupa.Di meja makan, wali kota memberikan pujian khusus pada mereka berdua. Saat berbincang, dia menoleh ke arah Brielle. "Brielle? Nama ini sepertinya pernah kudengar sebelumnya?"Syahira langsung menyahut, "Brielle itu p

Agnes adalah pusat perhatian mutlak malam ini.Melihat Agnes masuk, Devina segera mengatur ekspresinya, bersiap maju untuk menyapa. Dalam acara seperti ini, siapa pun yang bisa menjadi orang pertama berbicara dengan Agnes, dialah yang akan unggul di lingkaran sosial.Jadi, Devina menyesuaikan senyuman terbaiknya, lalu melangkah ke depan.Di sisi lain, Agnes melirik sekilas ke arah aula, lalu tatapannya akhirnya tertuju pada Brielle dan Syahira. Dia menyunggingkan senyuman ramah dan berjalan menuju keduanya.Senyuman di sudut bibir Devina langsung kaku, tak percaya Agnes berjalan ke arah sana. Di sana, memang hanya ada Brielle dan Syahira. Dengan kata lain, Agnes menghampiri berdua untuk menyapa.Bagaimana mungkin?Para tamu yang hadir juga diam-diam melirik ke arah Brielle dan Syahira. Hati Devina terasa tak nyaman. Menurutnya, dengan identitas Brielle dan Syahira, mereka sama sekali belum pantas menerima perlakuan seperti itu.Agnes sampai di depan keduanya, tersenyum sambil menjabat

Saat turun dari panggung, langkah Devina sedikit goyah. Dia sempat mengira akan ada yang memuji permainannya, tetapi semua orang seakan-akan melupakan keberadaannya. Perhatian mereka sepenuhnya tertuju pada kelompok kecil di ujung lain aula.Itu adalah tempat Brielle berada."Bu Devina, permainanmu indah sekali. Mau sampanye?" tanya seorang pelayan pria yang lewat.Devina mengambil segelas sampanye, lalu berjalan menuju area sofa untuk beristirahat. Tatapannya mengarah pada Brielle yang dikelilingi banyak orang. Dia membenci kenyataan bahwa minuman di tangannya bukanlah minuman keras. Sampanye ini tidak sanggup memadamkan api cemburu yang membakar hatinya.Awalnya, Devina tak bisa menjelaskan perasaan tidak nyaman itu. Sampai akhirnya dia menunduk, menatap tangannya sendiri, barulah dia mengerti.Sepasang tangan yang bisa memainkan piano, jika dibandingkan dengan sepasang tangan yang bisa menyelamatkan nyawa, tangannya terlihat begitu lemah dan tak berarti.Wajah Devina tetap tenang ta

[ Halo, Bu Brielle, ini Niro. Aku boleh menyimpan nomormu, 'kan? ]Brielle membuka WhatsApp dan melihat ternyata Niro yang mengiriminya pesan. Dia pun menyimpan kontak Niro dan membalas boleh.Brielle masuk ke mobil Syahira. Tak lama kemudian, WhatsApp-nya berbunyi lagi. Dia membuka ponselnya untuk melihat.[ Bu Brielle, maaf mengganggumu. Izinkan aku memperkenalkan diri secara resmi. Namaku Niro, 27 tahun. Saat ini menjabat sebagai mayor jenderal di Distrik Militer Kesembilan. Aku belum menikah, nggak punya kebiasaan buruk. Senang sekali bisa mengenalmu. ]Brielle tertegun. Syahira melongok ke arah ponselnya, lalu tiba-tiba tertawa. "Lihat, 'kan? Kubilang juga apa. Kamu nggak percaya sih."Brielle agak canggung, sesaat tidak tahu harus menjawab apa. Dia akhirnya meletakkan ponselnya kembali ke dalam tas. Syahira pun terkejut, "Kok nggak balas?""Aku nggak tahu mau balas apa." Brielle menutup tasnya.Sambil mengemudi, Syahira menggeleng. "Hei, dia itu putra menteri lho! Masih muda suda