All Chapters of Bukan Mantan Biasa: Chapter 261 - Chapter 270

Status Lambert memang cepat dihapus, tapi orang-orang di lingkaran pertemanannya yang harus tahu, tetap sudah melihatnya. Termasuk Devina dan Raline.Terutama Raline. Saat melihat status itu, kepalanya langsung kosong selama puluhan detik. Untuk siapa Lambert memasak mie? Siapa yang membuatnya merasa bahagia?Pesan itu diunggah pukul setengah sembilan malam. Artinya ... apakah orang itu malam ini menginap di rumah Lambert? Apakah mereka sedang menikmati malam yang indah bersama?Ketika pikiran Raline melayang terlalu jauh hingga nyaris membuatnya sulit bernapas, ponselnya tiba-tiba berdering. Nama Devina muncul di layar.Dia menarik napas dalam-dalam, mengangkat panggilan dengan suara rendah. "Halo ... Kak Devina.""Kamu juga lihat status Lambert tadi?" tanya Devina."Lihat. Aku memang follow dia.""Kalau begitu, kamu tahu dia masak mie itu untuk siapa?""Aku ... nggak tahu." Raline benar-benar tidak bisa menebak. Lambert begitu sempurna, di sekelilingnya selalu ada banyak wanita."Itu

Lambert memanggil staf laboratoriumnya yang terbaik untuk membantu Brielle menjalankan eksperimen. Penelitian itu berlangsung selama hampir dua jam, hingga akhirnya Brielle berhasil mendapatkan hasil yang dia harapkan.Matanya terasa sangat perih, dia mengusapnya berkali-kali sampai tampak memerah, seolah-olah baru saja menangis.Saat keluar dari laboratorium, Lambert sudah menunggunya di depan pintu. Begitu melihat mata Brielle yang kemerahan, hatinya langsung terenyuh. "Matamu sakit?" tanyanya."Nggak apa-apa, cukup istirahat sebentar," jawab Brielle."Ayo ke kantorku, minum secangkir teh dulu sebelum pulang.""Eh, nggak usah, aku ....""Minum teh nggak akan memakan waktu lama." Lambert tetap bersikeras. Dia tahu Brielle masih harus menyetir kembali ke universitas kedokteran dan dia tidak tenang membiarkan Brielle pergi dalam kondisi begitu.Brielle akhirnya mengangguk. "Kalau begitu, maaf merepotkan."Begitu masuk ke kantor Lambert, Brielle merasa agak canggung. Sementara Lambert se

Raline terkejut oleh aura Lambert, tetapi kata-kata penuh kekesalan itu tetap lolos dari bibirnya. "Brielle baru saja cerai dari kakakku, tapi sudah menggodamu. Wanita yang mudah berubah seperti dia sama sekali nggak pantas kamu sukai."Lambert menatap Raline dengan tenang. "Hubunganku dengan Brielle hanyalah hubungan antara orang yang mengejar dan yang dikejar."Raline mundur selangkah tak percaya, air mata memburamkan penglihatannya. Sesudah itu, dia berbalik dan berlari keluar dari kantor.Di koridor, beberapa rekan kerja terkejut melihatnya berlari dengan terburu-buru. Namun, tidak ada yang berani menghampiri.Raline masuk ke toilet dan menatap cermin. Melihat dirinya yang berantakan, rambut yang tadi pagi sudah ditata kini menjadi kusut, riasan mata luntur oleh air mata, benar-benar tampak seperti badut.Sepuluh menit kemudian, departemen HR mencetak laporan pemecatan. Raline resmi dipecat.Raline memeluk kardus dan keluar dari gedung laboratorium. Angin dingin menerpa, tetapi dia

Beberapa menit setelah Brielle dan Frederick melangkah masuk ke aula perjamuan, dari pintu utama di atas karpet merah masuklah sekelompok orang yang langsung menarik perhatian semua tamu.Yang berjalan paling depan adalah Devina dan Raline yang berdandan anggun, di belakang mereka menyusul tiga pria bertubuh tinggi tegap, yaitu Raka, Lambert, dan Jay.Mereka bertiga adalah simbol konglomerat Kota Amadeus.Seluruh mata di aula tertuju ke arah mereka, bisik-bisik terdengar di sana sini. Tak sedikit para putri keluarga terpandang yang langsung terpesona, penuh rasa kagum terhadap tiga pria itu.Brielle menggenggam segelas sampanye, menatap pemandangan itu dengan tenang. Frederick pun berbisik, "Bu Brielle, perlu kita ke balkon sebentar?""Nggak usah." Brielle menyesap sedikit sampanye, wajahnya tetap tenang.Tatapan Lambert langsung terkunci pada Brielle. Di matanya berkilat rasa kagum. Di bawah cahaya lampu kristal aula, Brielle tampak memesona, begitu menonjol.Aula perjamuan gemerlap i

Brielle baru saja berbalik ketika melihat Raka entah sejak kapan sudah berdiri di belakangnya. Sorot mata dalamnya dipenuhi emosi yang rumit."Kak!" seru Raline seolah-olah menemukan penyelamat.Devina segera mengganti ekspresinya dengan senyuman lembut. "Raka."Tatapan Raka langsung jatuh pada Brielle. "Pak Hubert ingin bertemu denganmu."Emosi Brielle tetap tampak datar. "Terima kasih sudah memberitahuku."Selesai berbicara, dia hendak pergi.Tiba-tiba, Raka mengulurkan tangan dan mengadangnya. "Aku temani kamu ke sana."Ucapan Raka membuat wajah Devina dan Raline seketika berubah."Nggak perlu." Brielle langsung menolak dengan dingin, lalu berjalan ke arah Hubert.Raka menarik kembali tangannya, menatap punggung Brielle yang menjauh dengan penuh pikiran.Brielle tersenyum saat menyapa Hubert.Hubert menatapnya dengan ramah, "Brielle, aku dan ayahmu dulu pernah jadi teman sekelas, bisa dibilang aku ini seniormu!""Kalau begitu, aku panggil Paman Hubert saja!" Brielle tersenyum.Huber