All Chapters of Bukan Mantan Biasa: Chapter 401 - Chapter 410

"Nggak ganggu kamu lagi, sampai jumpa.""Sampai jumpa." Brielle menunggu sampai pihak sana menutup telepon lebih dulu, tapi siapa sangka Niro juga menunggu dia yang menutup lebih dulu. Akhirnya, pria itu terkekeh pelan. "Kamu duluan tutup."Brielle tertegun sejenak, lalu kemudian menutup telepon.Cahaya matahari pagi menembus jendela besar dan menyinari ruang kerja. Brielle duduk di depan komputer, jemarinya menari cepat di atas papan ketik. Di layar, deretan laporan proyek terpampang rapat.Luka di pergelangan kakinya sudah tidak terlalu bengkak, tapi setiap kali berjalan masih terasa sedikit nyeri. Dia menunduk memijat lembut pergelangan kakinya, lalu kembali fokus bekerja.Sudut kanan bawah layar komputer terus berkedip.Sebuah email dari Jared muncul.[ Pihak militer menambah permintaan uji coba, coba lihat apakah kamu bisa menyesuaikan rencananya. ][ Brody: Kak Brielle, hasil uji stabilitas sudah keluar, ada sedikit kejanggalan, perlu kamu konfirmasi. ][ Levi: Kak Brielle, notul

Telepon dari Frederick masuk, menanyakan apakah Brielle bisa meluangkan waktu sore ini untuk datang ke Hotel Muse menghadiri rapat.Brielle melirik jam, lalu membalas, "Bisa nggak rapatnya dijadwalkan malam saja?""Baik, Bu Brielle. Saya atur mulai pukul tujuh malam. Anda bisa makan malam di Hotel Muse dulu sebelum rapat dimulai," jawab Frederick dengan pengaturan yang rapi."Baik," kata Brielle singkat.Libur panjang akan segera tiba, tapi bagi tim riset Jared di MD, ini justru masa-masa tersibuk. Waktu istirahat mereka harus dikorbankan demi menyelesaikan uji terakhir. Namun karena gaji dihitung tiga kali lipat, semua orang pun tetap bekerja dengan semangat.Brielle sendiri sudah lama tidak memeriksa slip gajinya. Dia tidak kekurangan uang, juga bukan tipe yang suka berfoya-foya. Mobilnya masih yang dibeli lima tahun lalu, pakaian yang dikenakan pun sederhana, dan jam tangannya model lama.Pukul setengah lima sore, Brielle datang menjemput putrinya. Saat dia memberi tahu bahwa malam

"Papa!"Suara anak kecil tiba-tiba menggema di dalam aula pesta. Raka spontan menoleh dan matanya langsung menangkap sosok mungil di samping menara sampanye.Wajahnya seketika berubah kaget. Dia segera meletakkan gelas sampanye dan bergegas menghampiri. "Anya, kenapa kamu ada di sini?"Senyum di wajah Devina langsung membeku. Anya? Kenapa anak itu bisa muncul di sini? Apa jangan-jangan ... Brielle juga datang?Sementara itu di luar ruangan, Syahira sudah menyalakan ponselnya dan menekan nomor Brielle. Begitu pintu ruang pesta terbuka, pemandangan di depannya membuatnya terpaku. Benar saja, Anya tidak salah lihat. Raka memang ada di sini dan dia sedang menghadiri pesta perayaan Devina."Syahira, kamu bilang Anya di mana?" Suara Brielle terdengar panik di seberang.Syahira menarik napas pelan dan menjawab, "Brielle, tenang, Anya lagi sama papanya. Kami di aula lantai sepuluh. Kamu naik ke sini, ya."Setelah menutup telepon, Syahira melangkah masuk dan menyapa, "Pak Raka.""Brielle di man

Saat itu, ponsel Raka berdering. Brielle langsung memanfaatkan kesempatan itu untuk berbalik dan melangkah cepat menjauh. Dia meminta pada seorang pelayan untuk mengirimkan sebuah kue kecil ke ruang istirahat.Ketika dia kembali, Raka sudah tidak ada di sana.Begitu pintu ruang istirahat terbuka, Syahira refleks menepuk dadanya. "Astaga, aku kira dia yang datang," bisiknya lega.Brielle menenangkan, "Tenang, dia sudah pergi.""Mama, Papa ke mana? Aku tadi lihat Papa jalan bareng kita," tanya Anya polos.Brielle mengusap kepala putrinya lembut. "Papa ada urusan, jadi harus pergi dulu.""Oh!" Anya berkedip, lalu tersenyum kecil. Tak lama kemudian, pelayan mengantarkan kue kecil dan beberapa potong buah. Brielle menemani Syahira dan putrinya menikmati makanan ringan itu sambil berbincang santai.Rapat malam itu diserahkan pada Frederick untuk memimpin dan dia akan mengirimkan laporan lengkap ke Brielle setelah selesai."Mama, malam ini kita boleh nginap di sini nggak?" tanya Anya penuh ha

Pukul setengah tujuh malam di sebuah restoran.Faye duduk di ruang privat yang remang dan tenang. Suasana di tempat ini sangat eksklusif, cocok untuk membicarakan hal-hal pribadi.Tak lama kemudian, pintu digeser pelan dan Zondi masuk. Dahi pria itu masih berkeringat tipis, tampak jelas bahwa dia baru saja keluar dari laboratorium. Dia mengenakan kemeja kotak sederhana dan celana jeans, kacamatanya bertengger di hidungnya, dan matanya menyiratkan sedikit kelelahan."Maaf, aku agak telat. Tadi penyelesaian eksperimen makan waktu," katanya sambil duduk dan tersenyum sedikit canggung.Melihat Faye yang tampil anggun dengan gaun seksi dan riasan lembut, dia tampak kikuk. Tangannya sempat menggaruk belakang kepala dengan gugup.Semasa kuliah dulu, Faye dikenal sebagai gadis cantik berkepribadian dingin. Dengan latar belakang keluarga biasa seperti dirinya, Zondi tahu kalau bukan karena prestasi akademiknya, Faye mungkin tak akan pernah menoleh padanya. Karena itu, undangan makan malam yang