Semua Bab Duchess : Terlahir Kembali Demi Dendam: Bab 41 - Bab 50

Bree tidak tahu apa yang salah. Dia hanya menendang dengan ringan perut Briar, tidak berlebihan. Bree bahkan belum sempat menarik tali kekang untuk menghela. Briar menjadi aneh tanpa penyebab yang jelas. “Aku mohon tenang dulu,” bisik Bree. Bree berusaha sekuat tenaga untuk tenang, mengingat dia tidak boleh panik. Ini tantangan karena sungai besar mulai terlihat jelas di depan matanya. Briar sama sekali tidak memelankan langkah, bergerak maju tanpa peduli apapun. “Aku mohon jangan seperti ini.” Bree menepuk leher Briar dengan sedikit keras, seperti ajaran Rad kemarin, dan menarik kekang dengan lebih kuat. Tetapi tidak berguna, Briar hanya mendengus dan meringkik, tanpa mengurangi kecepatan. “Lepaskan kekangnya!” Terdengar seruan dari samping, dan Bree melihat Rad mengejar dengan Mir yang juga dipacu dengan kecepatan tinggi. “Apa maksudmu?!” Bree berteriak karena suara derap dua ekor kuda begitu memekakkan telinga. “Lepaskan tali kekang itu!” Rad mengulang. “Apa

“Kau sudah bisa berdiri? Apa kau baik-baik saja? Bagaimana lukamu?” Trey berdiri dari kursi yang ada di sebelah ranjang Bree, dan memandang Rad. “Aku? Aku baik-baik saja.” Rad heran mendengar pertanyaan itu, karena seharusnya Trey tidak melihat wajahnya terluka. Hanya Brice yang ditemuinya tadi. “Kau yakin? Aku mengerti jika kau membutuhkan waktu istirahat lebih banyak lagi. Aku saja yang menjaga Bree. Aku lihat kau tadi jatuh dengan cukup keras. Tidak mungkin kau baik-baik saja.” Trey masih memandang Rad dengan khawatir. “Oh.. Itu..” Rad baru menyadari jika di mata Trey, tentu saja dirinya pasti terluka ketika terbanting ke tanah bersama Bree. Tubuhnya seharusnya cedera saat itu. Trey tidak mungkin menyangka dia akan terluka karena matahari. “Tidak masalah. Aku hanya butuh istirahat saja. Dan sekarang sudah jauh lebih baik,” kata Rad, sambil menyentuh bahu kirinya. Berpura-pura jika itu adalah bagian yang sakit. Rad cukup senang Trey menganggapnya terluka, dengan begitu dia ta

Tapi tentu saja menurut Bree hal itu tidak wajar, dan sama sekali tidak terduga. “Edmond akan membunuh siapa?” tanya Bree, berharap salah mendengar. “Briar. Dia tidak bisa lagi digunakan, karena kakinya patah jadi harus dibunuh.” Rad mengulang dengan nada datar yang biasa. “Kau tidak bisa membunuhnya! Auw!” Bree bangun dari ranjang dengan mendadak, dan kepalanya berdenyut menyakitkan. Sejak tadi dia berdebat dalam posisi berbaring, dan saat mencoba bangun, ternyata kepalanya tidak mampu untuk menahan rasa sakit itu. Bree kembali berbaring, tapi dia masih menatap Rad dengan mata nanar. “Tidak ada yang boleh membunuh Briar!” Bree melanjutkan teriakannya, sambil melotot pada Rad, yang kebingungan dengan reaksi Bree. “Aku rasa kau salah mengerti. Briar harus dibunuh karena ini jalan satu-satunya. Dia kuda, saat kakinya patah seperti ini, cara terbaik merawatnya adanya adalah dengan dibunuh. Untuk mengakhiri penderitaannya.” “TIDAK!” Bree menggeleng. Menolak untuk percaya. “Kau

“Tapi ini mustahil, Bree!” Trey masih mencoba untuk membantah, tapi Bree menggeleng tegas. “Ini kesimpulannya satu-satunya yang masuk akal ayah. Satu-satunya orang yang ada dalam rombongan dan ingin mencelakaiku hanya Amber. Dia tidak puas karena gagal untuk merebut Rad, dan kau memarahinya. Karena itu sekarang dia mengambil langkah untuk mencelakaiku!” Bree menunjuk Amber tepat di wajahnya. “Aku mengerti kau akan curiga padanya, tapi apa tidak berlebihan? Amber kakakmu, Bree. Dia tidak…” Bree kembali menggeleng, menolak argumen ayahnya yang hanya berdasar perasaan. “Jarum yang melukai Briar biasa dipakai untuk merajut. Ini adalah bukti kuat. Aku yakin Amber memakai jarum dari perlengkapannya merajut.” Begitu Bree menyebut soal perlengkapan merajut, mata Amber membocorkan rahasia. Dengan otomatis, mata itu bergerak memandang peti yang ada di samping ranjang Amber. Sebelum Amber sempat bergerak, Bree sudah berlari menghampiri peti itu. “HEI! Apa yang kau lakukan?!” Amber terlih

Merepotkan adalah kata yang sejak tadi bergaung di kepala Rad, saat dia membaringkan Bree di atas ranjang. Pemikiran yang tentu saja muncul akibat Bree yang dengan seenaknya saja melawan teguran dan larangan. Jika dia lebih tenang, mungkin penyakitnya tidak akan bertambah. Jika tadi Bree hanya terluka kepalanya, saat ini suhu tubuhnya meninggi karena demam. Hujan dan tubuh yang terluka tentu bukan kombinasi yang baik untuk menjadi lebih sehat. Tubuh Bree menggigil, sampai Aima kesulitan untuk mengganti bajunya. Tapi kali ini Rad sudah belajar. Dia menjauh, tidak mendekati ranjang tempat Bree berada, setelah membaringkannya. Rad berdiri di dekat jendela, mencari angin untuk tetap bernapas. Namun matanya, tidak semudah dibujuk. Mata itu tetap memandang ke arah ranjang. Awalnya hanya memperhatikan kesulitan yang dialami Aima saat mengganti baju Bree. Hanya awalnya saja, karena berikutnya, mata Rad dengan mudah menemukan pemandangan lain untuk dinikmati. Pemandangan tubuh Bree tentun