Tous les chapitres de : Chapitre 11 - Chapitre 20

Hari berikutnya, di atas halaman pelatihan sekunder — tempat yang biasanya dipakai untuk menaruh peralatan rusak, latihan remedial, dan... menyimpan boneka latihan yang kehilangan kepala.Hari itu, papan pengumuman besar dipasang dengan huruf mencolok:PROYEK BIMBINGAN ANTARKELASKELAS A → KELAS D(Program Resmi dari Direktur Akademi – Wajib)Tentu saja ini memicu kegemparan seisi akademi. Apalagi, tiga mentor yang ditugaskan adalah bintang utama Akademi:Nathaniel Wiratmaja, Valerie Anastasya, dan Reinaldo Pranata.---Di Lapangan Pelatihan Kelas D...Nathan berdiri paling depan, menatap empat murid kelas D di hadapannya dengan ekspresi seperti habis nonton tutorial hidup yang salah server.Zhiya, dengan ekspresi datar khasnya.Sekar, canggung sambil ngelus sandal bekas.Gilang... lagi tidur sambil meluk bantal koi.Tika sibuk coret-coret di buku "Strategi Mengusir Manusia Berisik."Valerie menepuk pelan pipinya dengan kipas kristal. “Astaga… aku kayak lagi syuting drama remaja trans

Sore itu, langit mulai memudar jadi ungu keabu-abuan.Setelah sesi latihan yang kacau balau, Zhiya tidak langsung kembali ke asrama. Langkahnya menyusuri lorong-lorong sisi timur Akademi, yang mulai sepi dan hanya dihiasi deretan lampu gantung berpendar redup. Bayangannya sendiri memanjang di lantai marmer, berjalan bersamanya, diam, sama seperti dirinya.Ia butuh waktu untuk menjernihkan kepala. Terlalu banyak suara di pelatihan tadi. Terlalu banyak tatapan yang menghakimi. Terlalu banyak... ocehan ketua OSIS yang begitu menusuk.Zhiya menghela napas pelan.Tapi saat belok di koridor menuju taman meditasi, langkahnya berhenti.Tiga gadis berdiri di tengah jalan. Seragam mereka rapi, ekspresi mereka tidak ramah. Dan di tengah mereka, dengan posisi dominan seperti bunga mawar beracun, berdiri Valerie Anastasya.Kipas kristal tak lagi di tangannya. Ia menyilangkan tangan di dada, dagu sedikit terangkat, tatapannya menilai Zhiya dari ujung kaki sampai ujung rambut. Dingin. Licin.“Oh. Te

Lorong asrama sore itu sunyi, hanya diisi bunyi langkah mereka dan derit lantai kayu tua. Cahaya matahari condong dari jendela panjang memantul di dinding cat krem pucat, menciptakan bayangan bergerigi seperti barisan gigi monster. Bau semprotan ruangan — murahan tapi ambisius — bercampur dengan aroma biskuit dari kantin yang tutup setengah jam lalu.Zhiya berjalan cepat, dengan wajah seperti habis kalah perang. Rambutnya yang biasanya lurus bergelombang dan rapi, kini terpotong tak karuan. Beberapa bagian terlihat seperti digunting pakai tutup botol, dan poni barunya menyedihkan, miring tajam seperti lereng longsor.Xiaohan mengekor di belakang dengan langkah ringan, sesekali melompat kecil seperti anak TK yang habis minum es teh manis. Tas pandanya bergoyang-goyang, dan mulutnya masih penuh biskuit dinosaurus.“Zhiyaaa~ jangan jalan cepat-cepat, Ayah pendek loh! Mana capek abis nge-charge aur—”Zhiya menoleh dengan ekspresi seperti penegak hukum yang nyaris kehilangan kesabaran. “Ka

Lorong masih sepi. Nathan berdiri tegap di depan pintu kamar Zhiya, wibawa ketua OSIS terpancar jelas.“...Kamu potong rambut?” tanyanya datar.Zhiya menoleh setengah, ekspresi dingin. Lalu dengan nada penuh sinis ia menjawab, “Tanya sendiri sama pacar jadi-jadianmu itu!”BRAK!Ia membanting pintu kamar hingga membentur tembok, lalu melengos lewat sisi Nathan tanpa menatap lagi. Sekar buru-buru mengekor sambil membawa sisir, wajahnya antara panik dan berusaha menahan tawa.Nathan tetap berdiri tegap. Tapi kali ini alisnya sedikit berkerut.“…Pacar… jadi-jadian?” gumamnya bingung.Krak krak!Suara kunyah terdengar di sampingnya.Xiaohan, dengan santai duduk di lantai sambil ngemil biskuit, menatap Nathan dengan polos, tapi matanya penuh usil.“Wih, Kakak Ipar selingkuh?”Nathan langsung menoleh cepat, tatapannya tajam.“…Apa?”Xiaohan menggoyang-goyangkan biskuitnya seperti mikrofon. “Pacar asli satu, pacar jadi-jadian satu. Wah, wah… Ketua OSIS ternyata punya life skill ganda juga ya~

Suasana kantin sudah seperti pasar malam. Murid-murid berdesakan, sebagian berdiri di kursi, sebagian lain sibuk merekam dengan kamera holografik. Semua mata terfokus pada Nathan dan Zhiya yang baru saja membuat satu akademi mendidih dengan percakapan singkat mereka.Zhiya masih duduk di kursinya, bersedekap, tatapannya dingin menusuk Nathan. Aura listrik tipis menjalar dari ujung jarinya, meski ia berusaha menahannya. Sekar di sampingnya tampak panik, tangannya meremas rok seakan ingin menghilang dari pandangan.Nathan berdiri tegap, wajahnya nyaris tanpa emosi, tapi rahangnya mengeras jelas. Kantin menahan napas. Satu detik, dua detik, waktu seperti melambat—“Wuih, rame banget ya di sini?”Suara cempreng tapi penuh kenakalan terdengar dari arah pintu.Semua kepala menoleh serentak.Di sana berdiri seorang bocah berusia tujuh tahun, rambut hitamnya acak-acakan, pipinya belepotan remah biskuit. Ia berjalan santai ke tengah kantin, mengunyah renyah, seolah seluruh ruangan bukan sedang